Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya. Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah.
Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka. Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang singkat.
Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya. Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Sakawuni jadi geram. Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak.
"Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!"
"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih Giling Wesi.Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan Sakawuni begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin berkobar-kobar."hey! Uts!"Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga tepukan tangan Sakawuni berhasil dihindari. Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya. Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas menyebar. Seketika dia tersentak kaget."Racun...!" desisnya. Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat dirasa. Mendadak kepala
SEORANG pemuda berpakaian kulit ular berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil bersiul-siul. Dari tongkat yang ada ditangannya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah Manggala, Si Buta dari Sungai Ular. Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Manggala terus melenggang. Kepalanya tergeleng-geleng begitu mendengar suara berkeresek. Suara siulannya berhenti. Bibirnya menyungging senyum."1... 2... 3... Ah, hanya 15," gumam Manggala menghitung. Manggala masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya telah memasuki daerah markas Kembang Lembah Hantu. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya."Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali Manggala bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya. Rumah beratap rumbia itu bertengger di kaki lereng yang cukup terjal. Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan, mendadak dari rimbunan semak-semak bermunculan orang-orang berpakaian serba biru dengan
Rara Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu, terkejut. Wajahnya tampak berubah merah. Dia tidak kenal dengan pemuda itu. Mendengar namanya saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Rara Kemuning tertarik juga. Lebih-lebih setelah menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-ulang terus.Bukan hanya Rara Kemuning yang terkejut Ternyata Bayangan Hitam pun kaget setengah mati. Tak disangka-sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak-kakak laki-lakinya. Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau anak muda ini dapat membunuh Bajing Ireng dan Siluman Lembah Hantu, pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali."Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang nyawa padaku!" ujar Bayangan Hitam."Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku berhutang nyawa padamu?""Kau membunuh kedua saudara laki-lakiku! Kau harus bayar dengan nyawamu!""Siapa saudaramu?""Bajing Ireng dan G
Sakawuni segera melompat keluar dari pertarungan ketika ada kesempatan. Dengan cepat dia berlari menggunakan ilmu peringan tubuh.Pengemis Sakti Tongkat Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring. Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di samping Patih Giling Wesi."Cepat Selamatkan putrimu!" perintah Kakek Pengemis itu. "Biar orang-orang ini aku yang hadapi!"Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di udara. Begitu kakinya menginjak tanah, langsung dikeluarkannya ilmu lari cepat. Bagaikan kilat tubuh patih itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar tongkat saktinya. Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan. Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tongkatnya seperti hidup menyambar-nyambar mencari mangsa."Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada para prajurit."Tapi,
Dari telapak tangan Manggala, meluncur sinar kuning keemasan bergulung-gulung. Inilah ajian dahsyat yang didapatnya dari Raja Siluman Ular Putih, ajian 'Batara Shiwa'Blar...!Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar kuning keemasan. Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat bersamaan dengan hancurnya pohon itu."Paman Nambi...!" seru Sakawuni.Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama Setan Jubah Merah. Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan Hitam. Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan. Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok. Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.
RARA KEMUNING makin kaget ketika orang itu telah menubruk dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu menyeretnya masuk ke pondok. Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan Hitam menarik perhatian empat orang lainnya. Mereka kini tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka berlarian ke pondok.Di dalam pondok, Rara Kemuning terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki kasar yang telah menindihnya. Rara Kemuning jadi lupa kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia lupa segalanya."Auh! Lepaskan...!" jerit Rara Kemuning.Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Rara Kemuning. Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya telah mengelilingi serta menatap wajah dan tubuh yang indah itu.Bret!"Auuuh...!" Rara Kemuning memekik ketika tangan laki-laki yang menindihnya, merobek bajunya
"Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia," gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah. Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian itu. Ironis sekali.Tempat yang indah dan menyejukkan itu, kini jadi mengerikan. Bau anyir darah telah mengundang anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak luput, burung bangkai pun telah berkeliling di angkasa minta bagian. Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur. Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar saja kakek tua itu telah jauh melangkah. Kakinya seperti tidak menapak tanah.Itulah ilmu Sayiti Angin yang dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat meminjam hembusan angin untuk mendorong tubuhnya. Layaknya kapas yang dihembus angin."Mudah-mudahan Si Buta dari Sungai Ular bisa mengatasi keadaan," gumam Aki Lungkur pelan."He he he...!"Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur menghentikan langkahnya. Suara itu jelas me
Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya. Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli. Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur. Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat..."Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang. Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak, disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol."Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!" desis Pradya Dagma."Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur tersendat."Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan s
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana