MALAM sudah demikian larut. Kegelapan kini menyelimuti seluruh Desa Gampil. Keadaan seluruh pelosok desa itu sunyi senyap. Angin bertiup agak keras malam ini, dan menebarkan hawa dingin seperti menusuk kulit. Namun suasana malam itu tidak mempengaruhi keadaan di dalam sebuah rumah besar di desa itu.
Pada salah satu kamar di rumah itu, tampak seorang gadis cantik tengah duduk merenung di tepi pembaringan. Gadis itu tidak menyadari kalau ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Seorang laki-laki gemuk berkepala gundul dan berjubah kuning gading. Gadis itu baru sadar setelah laki-laki itu duduk di sampingnya.
"Mau apa kau?" sentak gadis itu sengit. Dia segera menggeser duduknya menjauh.
"He he he...," laki-laki yang ternyata adalah Pendeta Pasanta itu hanya terkekeh. Matanya yang liar terus merayapi wajah gadis itu. Dan gadis cantik itu semakin menggeser duduknya menjauh. Tapi pendeta gundul itu segera bangkit, dan melangkah pelan-pelan menghampiri. Senyumnya
"Mampus kau, bocah setan" bentak Pendeta Pasanta. Bersamaan dengan itu, Pendeta Pasanta mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan langsung mengebutkan senjatanya dengan kuat. Namun pada saat itu, dia jadi tersentak. Pecut di tangannya tiba-tiba terbetot, sepertinya ada tangan yang menariknya. Sejenak Pendeta Pasanta mendongak ke atas. Dan tubuhnya langsung gemetaran. Manggala sendiri juga terpana melihatnya. Di atas kepala Pendeta Pasanta, melayanglah seorang laki-laki muda dan tampan, serta berbaju putih bersih. Tangan kanannya tampak menggenggam ujung cambuk dengan kuat. Dan dengan sekali tarik saja, pegangan Pendeta Pasanta pada cambuk itu langsung terlepas. Seketika Pendeta Pasanta melompat mundur. Wajahnya kini jadi berubah pucat, melihat pemuda itu melayang turun dan hinggap di atap. Sementara Manggala masih terpana melihat kedatangan Prabu Dewata Cengkar yang begitu tiba-tiba, dan bisa melayang bagai burung. Sementara pertarungan di halaman depan
Dan tanpa membuang-buang kesempatan, Manggala langsung melompat dan mengirimkan tendangan geledeknya ke arah tubuh Pendeta Pasanta. Kontan saja tubuh gemuk itu terjungkal keras menghantam tanah. Lalu sekali lagi Si Buta dari Sungai Ular itu mengebutkan tangan kanannya, dan senjatanya itu kembali menghantam deras ke arah tubuh yang sudah menggeletak itu.Dagghh!Seketika Tulang Ekor Naga Emas menghantam perut lawannya. Dan hampir bersamaan pula, Manggala segera melompat dengan tangan bergerak cepat merampas sabuk yang sudah terpotong senjatanya. Dengan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, kali ini dia berhasil mencopot sabuk itu dari pinggang Pendeta Pasanta."Mampus kau..., hih..."Sekali lagi Manggala menghantamkan pukulan mautnya ke arah dada. Sebentar Pendeta Pasanta masih berkelojotan, lalu diam dan tak bergerak lagi.Manggala masih berdiri tegak sambil memandangi mayat lawannya. Lalu dia mendongakkan kepalanya ke atas. Tampak bayangan tubu
PAGI itu langit kelihatan cerah. Matahari bersinar penuh, tanpa sedikit pun awan yang menghalangi. Burung-burung berkicau riang sambil berlompatan dari dahan ke dahan. Sementara anak-anak pun tampak ceria bermain air di sungai yang mengalir jernih, membawa berkah kehidupan dan kemakmuran. Gadis-gadis desa juga bergembira merendam tubuhnya sambil mencuci. Di sepanjang sungai Desa Galuhung tak seorang pun yang berwajah murung. Tidak jauh dari sungai itu, tampak seorang pemuda gagah dan berbaju kulit ular tengah berdiri tegak sambil memandang ke arah sungai. Tatapan mata putihnya terus tertuju pada seorang gadis yang tengah bercanda ria bersama gadis-gadis lain. Kain basah yang membelit tubuhnya, hampir melorot turun, sehingga menampakkan kulit dadanya yang putih halus. Dua gundukan di dadanya menyembul hampir keluar. Tak lama kemudian, gadis itu pun membetulkan kainnya, dan mengangkat keranjang cuciannya. "Aku duluan, ya...!" seru gadis itu dengan nada ceria. Sedang ga
Dan masih dengan hati ragu-ragu, gadis itu pun berbalik dan langsung berlari cepat. Namun baru saja dia berlari, laki-laki berbaju kulit ular yang mengaku Si Buta dari Sungai Ular itu, langsung melompat mengejar. Pemuda gagah dengan dada telanjang, segera melompat memapaknya."Hiya...!" Teriak pemuda itu seraya melancarkan dua kali pukulan yang beruntun, namun dengan manis sekali laki-laki berbaju kulit ular bisa mengelakkannya. Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya mendadak bergerak cepat menyepak. Tentu saja pemuda itu terperangah, buru-buru dia berkelit, namun sepakan kaki laki-laki berbaju kulit ular berhasil bersarang di pundaknya."Akh!" pemuda itu langsung memekik tertahan. Tubuhnya terjungkal ke tanah."Kakang Saka...!" jerit Murti terkejut melihat pemuda yang menolongnya bergulingan di tanah."Cepat pergi, Murti!" bentak pemuda bernama Saka itu. Dia segera melompat bangkit. Bibirnya tampak menyeringai merasakan sakit pada pundaknya.Namun
Si Buta dari Sungai Ular melangkah semakin dekat, dan tangannya sudah terkepal erat. Saka Dipta tampak pasrah, namun matanya bersorot tajam penuh kebencian. Tiba-tiba dengan satu teriakan melengking tinggi, Si Buta dari Sungai Ular melompat deras, dan menghajar kepala Saka Dipta dengan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.Prak!"Aaa...!" seketika Saka Dipta menjerit melengking tinggi. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam dengan kepala retak.Si Buta dari Sungai Ular masih memandangi mayat lawannya. Bibirnya segera menyunggingkan senyum sinis dan dingin. Tapi mendadak kepalanya terangkat ke atas. Dia mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju kulit ular itu melesat cepat.Tidak lama setelah pemuda itu pergi, tampak Ki Sandak berlari-lari diikuti oleh beberapa orang dibelakangnya. Mereka semua memegang senjata bermacam-macam. Malah ada di antaranya yang memegang cangkul. Mereka memang rata-r
"Saudaraku, Pendekar Pedang Emas. Aku juga belum pernah bentrok dengan Si Buta dari Sungai Ular, tapi aku punya bukti kuat, kalau semua kekacauan yang terjadi akibat ulahnya!" kata Ki Sandak.Kembali terdengar suara menggumam bagai lebah diusik sarangnya."Orang-orang yang selamat dari cengkeraman mautnya. Mereka semua mengatakan, bahwa orang itu Si Buta dari Sungai Ular. Seorang pemuda yang mengenakan baju dari kulit ular. Kedua matanya buta. Bukankah itu ciri-ciri Si Buta dari Sungai Ular ?" sambut Ki Sandak mantap.“Saudara Pendekar Pedang Emas, kami semua juga punya bukti kuat, kalau tindakan Si Buta dari Sungai Ular sudah melampaui batas kemanusiaan. Sejak kemunculannya di Pesisir Pantai Selatan, dia sudah meminta banyak korban!" celetuk seorang laki-laki tua yang memegang sebatang tongkat berbentuk ular.Pendekar Pedang Emas kembali duduk. Dia tidak bisa berkala apa-apa lagi. Semua bukti memang menyatakan, kalau semua perbuatan dan kejadian ya
"Ayo, Pendekar Pedang Emas. Kita buktikan bahwa bukan Si Buta dari Sungai Ular yang telah berbuat itu!"Pendekar Pedang Emas jadi bimbang hatinya. Dia masih berdiri diam dengan bingung. Sementara Pengemis Tongkat Hitam sudah melesat pergi, melompati pagar tembok yang tinggi dan tebal itu. Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam barusan membuat semua orang yang ada di Padepokan Galuhung jadi terdiam dengan pikiran masing-masing."Ki Sandak, maaf. Bukannya aku tidak mendukung keputusan itu. Tapi kupikir kata-kata Pengemis Tongkat Hitam harus dipertimbangkan. Dan aku akan bersama kalian semua, jika memang terbukti bahwa Si Buta dari Sungai Ular-lah yang melakukan perbuatan keji itu," kata Pendekar Pedang Emas.Setelah berkata demikian, Pendekar Pedang Emas segera menjura memberi hormat, lalu dengan satu Iesatan saja, tubuhnya sudah lenyap di balik tembok yang mengelilingi padepokan itu. Suasana kini jadi hening, masing-masing jadi sibuk dengan pikirannya
Dengan penuh emosi gadis cantik itu pun melompat menerjang pada Si Buta dari Sungai Ular. Serangannya sangat dahsyat, dan bertenaga dalam cukup tinggi. Sedang Si Buta dari Sungai Ular hanya berkelit ke kiri dan ke kanan menghindari setiap serangan gadis itu. Dewi Ranti jadi geram, karena serangannya selalu luput membawa hasil."Kau terlalu cantik untuk mati, Gadis Ayu," kata Si Buta dari Sungai Ular seraya berkelit menghindari pukulan Dewi Ranti.Pada saat itu, tangan kiri Si Buta dari Sungai Ular segera meluncur ke arah dada. Seketika Dewi Ranti memekik tertahan, buru-buru dia melompat mundur! Namun jari tangan Si Buta dari Sungai Ular Neiaka sempat menyentuh dadanya. Merah padamlah wajah gadis itu."Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Dewi Ranti menahan malu dan marah luar biasa."Ah, kau semakin cantik bila marah begitu, Gadis Ayu," goda Si Buta dari Sungai Ular.Sementara Ki Sandak yang sudah bisa bangkit kembali, langsung melompat menerjang ke a
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana