"Ibuuu...!" pekik Gayatri menyayat.
Namun serangan-serangan pukulan murid Perguruan Elang Putih membuat gadis berpakaian putih-putih itu tetap berada di tempatnya. Jangankan untuk menolong. Untuk keluar dari kepungan pun rasanya sulit Sementara itu, Elang Emas hanya tertawa sumbang melihat Bidadari Putih roboh dengan punggung hangus terbakar.
Bukan main murkanya Si Buta dari Sungai Ular melihat kejadian itu. Saking tidak dapat mengendalikan gelegak amarahnya, pemuda buta murid Raja Siluman Ular Putih itu sampai tidak dapat berkata-kata lagi. Wajahnya menegang. Rahangnya bergemeletuk.
Trakhh!
Manggala menancapkan Tulang Ekor Naga Emasnya ke tanah, sementara itu kedua tangan Manggala kini dengan cepat mengatup di depan dada. Kedua Manggala terpejam.
Brett...!
Tiba-tiba saja sosok Manggala berubah, tubuhnya yang kekar semakin bertambah kekar besar, otot-otot diseluruh tubuhnya terlihat seakan ingin keluar. Tubuh Manggala seakan mengembang 2x li
Dan kesempatan itu akhirnya ditemukan Setan Cantik juga. Di saat ketiga orang murid utama Bagaskara menerjang dengan senjata di tangan, Setan Cantik cepat mengibaskan tangan kirinya. Dan....Serrr! Serer!Seketika itu juga, puluhan jarum-jarum emas Setan Cantik yang berkeredepan melesat menyerang ketiga orang murid utama Bagaskara. Ketiga orang yang jadi sasaran cepat menggerakkan pedangnya menangkis rontok jarum-jarum emas Setan Cantik. Dan kesempatan itu pun digunakan Setan Cantik untuk berkelebat cepat meninggalkan arena pertarungan. Naroko menggeram penuh kemarahan.Sekali menjejak tanah, tahu-tahu, tubuh tinggi besarnya cepat berkelebat mengejar Setan Cantik. Namun sayangnya, bayangan wanita tadi telah lenyap di balik tembok Pekarangan Terlarang. Naroko cepat meloncat ke atas tembok Pekarangan Terlarang. Sedang bayangan Setan Cantik telah jauh meninggalkan lereng barat Gunung Sumbing. Dengan sangat terpaksa Naroko yang berwatak kasar menghentikan peng
"Ah...! Mengapa repot-repot. Teruskan saja Perguruan Elang Putih ini seperti biasanya. Dan biarkan Bagaskara atau Bidadari Putih sendiri yang memimpin," kata Lelaki Berkumis Kucing."Tak mungkin. Tak mungkin kami memimpin Perguruan Elang Putih ini. Kami sudah enggan untuk berkecimpung dalam urusan padepokan. Malah, kami ingin menghabiskan masa tua di dalam Lubang Kematian," tolak Bidadari Putih, halus."Kalau begitu, suruh saja putri mu yang ayu itu memimpin. Kan beres! Cuma sebelumnya, kalau kau tidak keberatan, aku..., aku ingin sekali menjadi sua..., eh, salah! Maksud-ku, su... sudilah kau membagi Daun Lontar Merah itu padaku, Bidadari Putih!" tutur Lelaki Berkumis Kucing kacau-balau."Setan alas! Jadi, ini ya maksud kedatanganmu yang sebenarnya! Ingin merebut Daun Lontar Merah dari tangan kami! Apa matamu buta, Orang Tua! Ibuku sendiri masih membutuhkannya. Jadi, mana sudi kami membagi-bagikannya!" hardik Gayatri garang.Tangan kanannya cepat melolos
SUARA gamelan mengalun merdu mengiringi langkah-langkah rombongan manusia yang berjalan pelahan-lahan, menyusuri jalan setapak di sebuah bukit batu. Tampak delapan orang laki-laki bertubuh kekar, menggotong tandu berhiaskan kain warna-warni dan bunga-bunga indah. Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki yang mengenakan jubah kuning gading dan berkepala gundul. Di tangan kanan laki-laki itu, tergenggam seuntai tasbih dari rangkaian batu hitam pekat dan berkilat.Di belakang orang berjubah kuning gading itu, berjalan dengan rapi sekitar tiga puluh orang pemuda tampan yang mengenakan jubah warna putih. Mereka terus berjalan pelahan-lahan dengan tangan melipat di dada. Lengan baju mereka yang panjang dan longgar, tergulung sampai ke siku. Pada bagian belakang tandu, tampak orang-orang dari berbagai golongan. Laki-laki, perempuan, tua dan muda, bahkan juga anak-anak. Mereka terus mengikuti dengan wajah tertunduk, tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.Para nayaga ter
Ki Sudra dan Nyi Sudra tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dalam hati mereka memang membenarkan kata-kata anak gadisnya itu. Bagaimanapun kuatnya mereka berusaha memendam perasaan, namun tidak mungkin bisa berlangsung lama. Selama ini mereka selalu menunjukkan wajah gembira di depan Lastri, namun dalam hati mereka sebenarnya tidak gembira. Sudah beberapa kali Lastri memergoki kedua orang tuanya duduk termenung, dengan pandangan kosong dan mata berkaca-kaca. Dan Lastri sendiri bisa merasakan, apa yang tengah dirasakan oleh kedua orang tuanya. Lalu dia memutuskan untuk segera meninggalkan desa itu."Bagaimanapun juga, aku harus pergi" kata Lastri seraya bangkit dari duduknya."Lastri..." Nyi Sudra bergegas berdiri dan menahan langkah gadis itu. Dia memegangi tangan Lastri dengan mata berkaca-kaca."Biarkan aku pergi, Mak," pinta Lastri memohon."Lastri, pikirkan dulu niatmu itu. Sebenarnya aku tidak keberatan jika kau mau pergi juga, tapi Pendeta Pasanta sudah
Pada saat mereka berdua tengah terdiam itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Sejenak pasangan tua itu saling berpandangan, lalu hampir bersamaan mereka menoleh ke arah pintu yang tertutup. Ketukan itu terdengar kembali, kali ini ketukannya lebih keras dan yang pertama."Siapa...?" tanya Ki Sudra seraya bangkit dari duduknya.Namun tak ada sahutan dari luar. Ki Sudra melangkah mendekati pintu rumahnya. Sejenak dia ragu-ragu untuk membuka pintu. Matanya melirik istrinya."Ah..." Ki Sudra tersentak ketika dia membuka pintu.Tampak laki-laki gemuk dan berperut buncit sudah berdiri di depannya. Jubahnya yang berwarna kuning gading, terus berkibar-kibar tertiup angin. Sedang di belakangnya tampak berdiri empat orang berpakaian serba putih, dengan tangan yang terlipat di depan dada. Sejenak Ki Sudra melangkah mundur dengan wajah yang pucat pasi."Tuan Pendeta..., ada apa gerangan hingga malam-malam begini datang ke rumahku?" tanya Ki Sudra, aga
Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya begitu sampai di tepi sungai yang berair jernih. Begitu jernihnya, sehingga dasar sungai itu tampak jelas seperti dalam kaca. Dengan pelahan tangan yang kecil halus itu terulur berusaha menarik tubuhnya untuk lebih ke tepi. Seperti seorang musafir yang sudah tiga hari tidak bertemu air, gadis itu segera membasuh muka dan tubuhnya. Lalu tanpa menghiraukan dinginnya air itu, dia pun meneguknya sepuas-puasnya."Ohhh...," gadis itu mendesah lirih, dan menggelimpangkan tubuhnya kembali menjauh dari tepi sungai. Kelopak matanya yang dihiasi bulu mata lentik, terpejam rapat. Buru-buru gadis itu membuka matanya ketika mendengar suara ranting patah. Dia langsung membeliak kaget dan segera bangkit berdiri."Maaf, kalau aku telah mengejutkanmu," terdengar sebuah suara lembut.Gadis itu memperhatikan seorang pemuda dan tegap yang sudah berdiri di depannya. Senyum pemuda itu begitu memikat, tapi Gadis itu terhenyak saat melihat kedua ma
"Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?" tanya Lastri agak ragu-ragu."'Untuk apa kau tanyakan itu?" pemuda itu malah balik bertanya."Aku..., eh, tidak. Maaf, memang tidak sepantasnya aku bertanya begitu," kata Lastri semakin tergagap."Aku hanya seorang pengembara yang tidak menentu tujuannya. Ke mana kakiku melangkah, ke sanalah aku menuju," kata pemuda itu menjelaskan."Boleh aku ikut?" tanya Lastri memberanikan diri."Ikut...?" pemuda itu tersentak heran."Aku tahu, kau pasti keberatan. Tapi aku merasa bahwa kau bukan orang jahat. Dan aku hanyalah seorang wanita lemah yang tentunya akan membuatmu kerepotan. Ah, sudahlah. Kita berpisah saja di sini," kata Lastri lesu."Sebentar...," cegah pemuda itu saat gadis di depannya mau pergi.Kini ganti Lastri yang mengurungkan niatnya. Sebentar mereka berdiri saling berpandangan. Namun baru sejenak, kepala gadis itu sudah tertunduk dengan wajah bersemu merah dadu. Kedua mata putih pemuda
"Kau pernah belajar ilmu olah kanuragan?" tanya Manggala tertarik juga."Tidak," sahut Lastri."Kenapa?""Ayah tidak pernah mengijinkan.""Tentu ada alasannya, kan?""Entahlah, yang jelas aku tidak diperbolehkan untuk belajar ilmu olah kanuragan. Padahal itu kan penting, apalagi kalau dalam keadaan seperti ini. Yaaah..., seandainya aku dulu sempat belajar, pasti tidak akan melarikan diri seperti ini," agak pelan suara Lastri."Aku yakin, ayahmu pasti punya alasan atas tindakannya itu," Manggala membesarkan hati gadis itu."Mungkin," desah Lastri. "Oh, ya. Siapa sebenarnya nama julukanmu?" tanya Lastri kembali teringat dengan pertanyaannya yang belum terjawab."Si Buta dari Sungai Ular," sahut Manggala berterus terang."Ihhh..." mendadak Lastri bergidik."Kenapa?""Seram. Kenapa memilih nama julukan itu? Kan masih banyak nama julukan yang baik. Siapa yang telah memberimu nama julukan seperti itu?" tanya Last
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana