Mendengar kata-kata orang, kebimbangan tampak makin menyelimuti wajah Nenek Cabul. Dadanya yang besar namun sudah kendor itu naik turun pertanda tak tenang. Matanya berkali-kali memandangi tangan kirinya sebatas pergelangan tangan yang memerah. Dan dia surut satu tindak tatkala dilihatnya warna merah itu mulai naik menjalar hingga batas siku!
"Gila!" serunya tersentak.
Sementara itu, Peri Gelang Rantai yang selesai bersemadi dan kini berdiri tegak dengan kaki sedikit dipentangkan di atas tanah, membatin, "Tak kusangka kalau Trisula Mata Empat memiliki satu kesaktian lain bila yang memegangnya tak dapat mengendalikan senjata mustika itu!"
"Raja Dewa! Aku tak percaya dengan segala omongan busukmu itu!" terdengar seruan Nenek Cabul seperti menjerit.
"Aku tidak menyalahkan! Tetapi, itu semua tergantung padamu sendiri! Bila kau...."
"Tutup mulutmu, lelaki tua keparatt!" !
Rupanya, saking kalap dan bimbang, Nenek Cabul memutuskan untuk menyerang R
Sesaat Manggala terdiam dengan kening dikernyitkan. Otaknya berpikir keras. Dan begitu tiba pada satu pikiran, dia melonjak. "Garaga! Ya, di mana Garaga sekarang!" serunya cukup keras. "ada apa sebenarnya? Apakah dia baik-baik saja? Hmmm... sebaiknya kupanggil saja dia!"Tak mau membuang waktu lagi, pendekar kita ini bermaksud segera ingin memanggil Garaga. Namun, belum lagi dia melakukan, mendadak saja terdengar suara, "Manggala!"Seketika Manggala mengalihkan pandangan ke arah kanan. Dilihatnya satu sosok tubuh ramping mengenakan pakaian hijau muda sedang berlari ke arahnya dengan wajah cerah. Sesaat Manggala tertegun sebelum menyadari kalau gadis yang di kedua lengan bajunya terdapat renda warna putih itu sudah mendekat. '"Ken Zuraidah....," sebutnya pelan.Sosok yang tak lain Ken Zuraidah alias Putri Lebah tersenyum. "Maafkan aku yang meninggalkanmu, Manggala. Tetapi... aku benar-benar tak punya jalan lain. Datuk Jubah Merah begitu tangguh...." '
Lalu dengan pandangan yang seperti keheranan, Putri Lebah berkata, "Aku tidak mengerti, Manggala. Apa maksudmu dengan aroma wangi yang menyengat? Lalu, mengapa kau merasakan pikiranmu seperti kosong...."Pemuda dari Sungai Ular ini memegang kepalanya. Dengan tubuh agak sempoyongan dia berkata, "Aku tidak tahu. Tetapi... ah, aku merasa seperti berada di padang yang dipenuhi bunga-bunga yang menebarkan aroma wangi memabukkan.... Oh! Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi...."Dengan cekatan Ratu Kegelapan yang merasa keinginannya akan berhasil, buru-buru memegang lengan kanan Manggala. Dan seperti tak sengaja, kakinya terantuk batu hingga mau tak mau tubuhnya jatuh ke dada Manggala."Maafkan aku...," desisnya dengan senyuman bertambah lebar tanpa mengangkat kepalanya dari dada bidang si pemuda.Tetapi mendadak Manggala mendorongnya."Jangan... jangan...."Memasang wajah heran dengan pandangan terbeliak, Putri Lebah memandangnya, "Mengapa, Mangga
"Setan laknat!" menggeram Ratu Kegelapan dalam hati dengan wajah mengkelap. "Semuanya sudah diketahuinya sejak lama! Gila! Mengapa aku tidak menyadarinya! Huh! Kini tak ada lagi yang perlu ditutupi!"Lalu perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke wajah. Diusap-usap wajahnya beberapa kali. Saat kedua telapak tangannya diturunkan, wajah Putri Lebah lenyap. Yang terpampang kini adalah wajah Ratu Kegelapan yang dikenal Manggala di Puncak Kalimuntu. Di kejap Iain, Ratu Kegelapan meniup telapak tangannya. Getah pepohonan yang dipergunakan untuk menyamarkan wajahnya, meleleh jatuh dan mengering tanpa sisa sedikit pun pada telapak tangannya.Manggala berkata penuh ejekan, "Luar biasa!""Keparat! Katakan, bagaimana kau bisa menghindari 'Uap Kembang Surga' yang kulepaskan!" seru Ratu Kegelapan dengan suara menyentak."Wah! Jadi aroma wangi memabukkan itu kau namakan 'Uap Kembang Surga'? Ya... karena kau terlalu memaksa dan aku tidak tega melihat kau penasaran sepe
"Setan laknat!" geramnya sengit.Si Buta dari Sungai Ular hanya tersenyum saja."Apakah kau sekarang masih mempunyai alasan untuk tidak menyerahkan diri pada Keraton Wedok Mulyo?""Jahanam betul! Kesaktian pemuda ini benar-benar di luar batas dugaanku! Bahkan kali ini dia dengan mudah mengalahkanku! Keparat jahanam'! Biar bagaimanapun juga, tak sudi aku untuk menyerahkan diri pada Keraton Wedok Mulyo!" maki Ratu Kegelapan dalam hati."Tetapi ya... rasanya aku rela mengantarmu ke Keraton Wedok Mulyo.... Atau... ya, ya! Lebih baik kau kugantung saja dulu dengan kedua kaki di atas dan kepala dibawah! Bagaimana? Atau kau punya usul yang lain!"Tubuh Ratu Kegelapan bergetar karena marah. Dengan susah payah dia akhirnya berhasil berdiri kendati agak goyah."Jangan harap aku melakukan apa yang kau inginkan, Pemuda Keparat! Kau harus mampus di tanganku!""Wadaaaaoouuuu!" seru Si Buta dari Sungai Ular tiba-tiba seraya mundur dua tindak. Kedua
Namun mendadak saja kelebatan si nenek terhenti dengan cara menyentak tatkala kedua kakinya sudah menginjak bagian tengah dari padang rumput luas yang dilaluinya. Kepalanya seketika menengadah dengan kedua tangan dibuka lebar-lebar."Gila! Apakah telingaku tak salah menangkap gerakan orang!" desis si nenek mengernyitkan keningnya. "Hmm... nampaknya dua orang yang sedang berkelebat dan bercakap-cakap. Aku ingin tahu siapa orang itu...."Tanpa bergeser dari tempatnya, Siluman Kawah Api membalikkan tubuh. Kedua tangan kurusnya disedekapkan di depan dada. Rambutnya yang hitam panjang, bertambah acak-acakan dipermainkan angin sore. Suara dua kelebatan tubuh itu semakin jelas terdengar seiring percakapan yang makin kentara."Kakang Wulung! Apakah benar ini jalan menuju ke Bukit Watu Hatur!""Aku tidak tahu pasti! Beberapa orang yang kita tanyakan tak satu pun memberikan jawaban yang memuaskan! Hanya seorang bapak di dusun yang kita lewati tadi, yang kendati aga
"Kalian lebih pantas menjadi badut-badut kota praja!" serunya sambil tertawa keras.Padang rumput yang tadi sunyi dan nyaman itu, kini mulai diusik oleh keributan. Beberapa bagian tanah di sana pecah dan membentuk lubang yang keluarkan asap. Rumput-rumput berhamburan di udara dan luruh kembali.Seraya menghindari gempuran itu, Wulung Seta menggeram, "Keparat! Bila keadaan terus menerus seperti ini, justru akan menguras tenagaku dan tenaga Sri Kunting! Ini tak boleh dibiarkan! Aku harus nekat menerobos!"Berpikir demikian, saat membuang tubuh menghindari pukulan jarak jauh si nenek, pemuda berpakaian abu-abu terbuka di dada ini segera menggerakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan 'Gerbang Marakahyangan'!Namun justru terdengar seruan Wulung Seta sendiri. Karena begitu dikerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya, terasa ada satu kekuatan yang luar biasa besar menjalari sekujur tubuhnya, yang menggebrak terlebih dahulu dan menghantam pukulan jarak jauh s
"Kalian benar-benar harus diajar adat! Mengapa tidak Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang yang datang sendiri ke Bukit Watu Hatur!"Tatkala dari tangan kiri si nenek menghampar hawa panas yang tinggi, Sri Kunting langsung membuang tubuh. Namun hawa panas itu telah melingkup sepasang pedangnya dan membuat Sri Kunting tersentak. Mengaduh keras dilepaskan kedua pedangnya karena dia laksana memegang bara. Namun sosok Siluman Kawah Api yang menderu ke depan, rasanya sulit untuk dihindari si gadis. Sri Kunting seperti termangu melihat maut yang datang padanya. Napasnya seolah terhenti dengan dada bergemuruh kuat.Namun bersamaan dengan itu, mendadak saja satu bayangan raksasa seperti menghampar di atas rumput. Menyusul deru angin laksana topan badai mengarah pada sosok Siluman Kawah Api yang menjerit keras...."Heeeiiii!"Si nenek berdagu lancip ini segera menyentakkan tubuh ke belakang, mengurungkan niat menghajar Sri Kunting. Belum lagi si nenek menyadari apa
"Sungguh luar biasa serangan api ular raksasa itu! Tetapi ini justru membuatku penasaran dan tak bisa tinggal diam!"Habis membatin begitu, perlahan-lahan dialirkan kembali jurus 'Bencana Kawah Api'. Kendati siap untuk menyerang, si nenek masih terdiam seolah menimbang apa yang akan terjadi."Mudah-mudahan ular raksasa itu menyerangku lagi tanpa bergeser dari tempatnya. Kalau memang begitu, kemungkinan besar aku masih bisa mengimbanginya...."Setelah menimbang beberapa kali, si nenek segera menahan napasnya. Di lain kejap, tubuhnya sudah menyentak ke depan dengan kedua tangan didorong! Wulung Seta dan Sri Kunting yang merasakan kembali hawa panas menderu ke arah mereka, segera palingkan kepala. Kejap itu pula masing-masing orang hendak memapaki serangan itu. Namun justru keduanya yang terpental ke samping, tatkala dengan tiba-tiba Garaga menggeram keras."Ghraaghhhhh! Hsss...!"Tiba-tiba saja dari dalam mulut Garaga keluar semburan api dahsyat yang