Gak terasa tahun ini Shintya sudah duduk di bangku kelas IX. Tahunnya yang berganti, tapi keadaannya masih sama. Bukannya Shintya tidak peduli, tapi dia juga ingin bahagia seperti yang lain. Dia akan menjalani hari-harinya seperti yg temannya lain, meski selalu menampilkan raut wajah yang berpura-pura.
Siang ini, kelas Shintya sedang mengerjakan tugas mandiri Matematika. Tidak diijinkan bicara, bergerak, apalagi kerjasama. Sehingga kelas itupun sejak 20 menit yang lalu mendadak hening.
'tokk..tokk..tokk..' ketukan pintu memecahkan keheningan di kelas itu.
"Permisi, Pak." sapa siswa yang menjabat sebagai ketua Osis.
"Silahkan masuk. Ada apa?"
"Saya mau memberitahukan kalau siang ini akan ada rapat para guru di ruang kepala sekolah."
"Sekarang?"
"Iya, Pak."
"Apa seluruh siswa di suruh pulang?"
"Sepertinya tidak Pak. Ini atas perintah pak Kasek."
"Baiklah. Saya akan segera kesana."
"Permisi, pak." Ucap ketua Osis sembari keluar kelas.
"Baik, tugasnya silahkan di serahkan. Saya ada rapat sebentar, jangan ada yang pulang. Masih ada 3 les kedepan."
"Baik, Paaaakkkkkk." Ucap para siswa serempak.
"Aaaahhh... Akhirnya." Ucap Dedi setelah gurunya keluar kelas.
"Huufffttt.... Menegangkan juga ya." Sahut Shintya.
"Guyz... Main yuk..." Ajak Nining, perempuan paling malas belajar di kelas.
"Elllaaahhh... Giliran main, cepat banget." Cibir Shintya.
"Iya tuh, coba kalo di suruh ngerjakan tugas. Paling, minta copy paste." Ujar Leli ikutan.
"Ampun deh. Punya teman gini amat ya, selalu aku yang ternistakan." Sahut Nining dramatis.
"Jadi, gk?" Lanjutnya.
"Main apa emang?" Tanya Shintya.
"Emmm... Ah, main Jurnet aja" Nining memberi idenya.
"Yoklah, enak main beginian." Ujar Leli penuh semangat.
"Nah, tadi nyindir. Sekarang mah tertarik." Sinis Nining.
"Hahahah... Masbuloh?"
"Ya..masbuge lah. Hahahaha..." Ucap mereka serempak.
"Ning, mana botolnya?"
"Sabar Shin, biar ku cariin dulu."
"Nah, ini aja. Pake penggaris."
"Tumben Leli pintar."
"Jangan ngajak brantem deh."
"Ayo, kapan mulai nih."
"Ciieee yg gk sabaran..."
Nining mulai memutar penggarisnya, dan bertepatan di hadapan Leli.
"Ok, pilih mana, Jujur atau Nekat?"tantang Nining.
Sejenak berpikir, akhirnya Leli memutuskan untuk jujur.
"Yakin, nih?" Ujar Shintya.
"100% yakin." Sahut Leli dengan penuh semangat.
"Ok, biar aku yang beri tantangannya." Nining mulai memutar otaknya.
"Aha. Jujur, kamu suka sama Tony apa gk, nih?" Ujar Nining sambil mengedipkan matanya.
"Nah, aku setuju nih. Ayookkk jujur." Timpal Shintya. "Biasanya juga nih, kalo suka brantem, berarti sama-sama suka." Lanjutnya.
"Cuman tingkahnya aja yg suka brantem, tapi hatinya, ada lope-lope. Hahaha." Tak habis-habisnya mereka menggoda teman mereka itu.
Leli memutar bola matanya dengan malez.
"Ok..ok.. aku jujur nih, tapi janji dulu." Memberhentikan ucapannya.
"Janji apa?" Tanya kedua temannya serempak.
"Janji, kalo aku jujur, kalian saja yang tau. No..bocor..bocor."
"Ok. Jadi gimana?" Ucap berdua kembali serempak.
"Sebernanya nihh... Dari awal tuh, aku mank gak suka sama dia. Nyebelin banget sih. Cuman, kali ini, gak tau mulai dari mana, aku tuh mulai suka samanya. Tapi maunya di pendam aja deh. Mustahil kalo aku nyatain perasaan. Mau taroh di mana muka ku?" Bisik Leli kepada kedua temannya.
"Aciiiiieeeee..."
"Serempak mulu. Tumben amat..." Ujar Leli merasa jengah dengan tingkah kedua temannya.
Sedangkan yang di cibir hanya tertawa terbahak-bahak. Membuat sang teman tambah kesal.
"Berarti, udah mulai jatuh cinta niiieee.." ujar Shintya.
"B aja lah. Ya udh nih, aku udh jujur, sekarang biar aku yang muter penggarisnya."
Sejanak menunggu, penggarisnya berhenti tepat di depan Shintya.
"Nah, kena. Ayo Shintya, pilih mana? Jujur apa nekat?" Leli tampak ingin balas dendam.
Shintya mulai menimbang-nimbang keputusannya, sungguh ini membuatnya rumit, tidak tahu harus milih apa. Jika milih jujur pasti di cerca dengan pertanyaan mengenai pribadi keluarganya, tapi kalo nekat, ahhh.. membuatnya frustasi.
"Ah, kelamaan deh." Nining mulai merasa bosan.
"Ayoo..apa?" Pepet Leli.
"Emmm... Nekat aja deh." Dengan penuh ketegangan, Shintya memutuskan. Dia sudah mulai was-was, hal gila apa yang di rencanakan temannya.
"Ok, sebentar. Dipikir dulu." Nining mulai berpikir.
"Yups aku dapat." Ujar Leli penuh semangat, membuat Shintya deg degan sendiri.
"Gimana kalo, kamu nembak si Robertino." Lanjutnya. Membuat jantung Shintya hampir berhenti.
"Whaaattt??" Teriak Shintya. Membuat seisi kelas memandangnya heran.
"Gak deh,, pliiisss" lanjutnya memohon.
"Aelahh, gimana, sih.. lagian kamu kan suka samanya sejak kelas VIII." Ujar Leli sedikit memaksa.
"Iya nih, masa itu aja gak bisa. Dari pada berjamur tuh perasaan,mending di ungkapin." Timpal Nining.
"Yayayayaya. Dengar ya, aku tuh emang suka sama dia, tapi bukan berarti harga diriku yang jadi taruhannya. Pliisss deh, ini norak banget tau."
"Ayolah Shin, masa iya tadi kamu udah milih nekat loh. Ah, cemen." Ujar Leli dengan sedikit merasa bosan. Membujuk temannya itu untuk melakukan tantangan sudah memakan waktu lama. "Bentar lagi bel, loh." Lanjutnya.
"Atau gini aja. Jangan ungkapin langsung, tapi melalui surat aja, gimana?" Nining mengungkapkan idenya kesekian kali.
"Udah mau bel lo, Shin. Masa iya kagak siap-siap nih permainan." Lanjutnya.
Shintya semakin berpikir keras, ini tentang masalah harga dirinya, dia memang menyukai anak kelas sebelah, tapi bukan berarti dia mesti melakukan hal konyol. Tapi tidak ada pilihan lagi, dia sangat menyesal memilih tantangan bodoh ini.
"Huuuffftttt... Yaudah deh. Ok, aku akan ungkapin melalui surat. Tapi, jangan aku yang kasihkan langsung." Putus Shintya.
"Truz siapa dong?" Tanya Nining.
"Ya kalian lah. Masa kalian tega lihat aku pingsan di depannya."
"Ok, biar kita berdua yang kasih, tenang aja. Sekarang silahkan tulis isi suratnya."
Shintya mengambil secarik kertas, dengan mengumpulkan keberanian, dan menghela napas berkali-kali, dia mulai menuliskan isi dan perasaannya, dengan kedua temannya mengawalnya dari samping.
Butuh waktu kurang lebih 10 menit menuliskan surat konyol bagi Shintya.
"Nah siap." Katanya sembari menyerahkan kepada kedua temannya.
"Tapi ingat, cuman kita yang tau. Truz ngasihnya jangan yang ada orang." Lanjutnya.
Kedua temannya menunjukan jempolnya. Dan setelah itu mereka mulai melakukan aksi mereka, menuju kelas Robertino.
Shintya merasa deg degan sendiri, dan mondar-mandir di depan kelasnya.
"Woi Shin, kamu kenapa sih? Macam orang stres tau gk." Teriak Tino, sang ketua kelas.
"Eh, kambing. Bikin aku jantungan aja. Diem aja napa, ini urusan cewek tau." Ujar Shintya dengan kesalnya.
Tidak lama kemudian kedua temannya kembali. Segera Shintya menyambut mereka dengan hati was-was.
"Jadi, gimana?" Tanyanya.
"Aman bre. Katanya ntar di rumah di balasnya." Jawab Leli.
"Jadi besok tunggu aja jawabannya, ok." Nining ikut menimpali.
Shintya hanya mampu mengangguk. Tidak lama kemudian bel berbunyi. Seluruh siswa segera keluar kelas menuju rumah masing-masing.
Saat Shintya hendak keluar kelas, tidak sengaja matanya dia melihat Robertino dari jauh, yang semakin mendekat di posisinya. Dengan jantung yang hampir melompat, Shintya segera memalingkan mukanya, dan segera berlari.
"Oh bidadari dari langit ke tujuh. Tolong hamba segera hilang dari bumi ini." Ucapnya dalam hati.
Seperti malam-malam biasanya, keluarga kecil ini melahap makanan yang terlihat sederhana itu, sambil sesekali bertukar cerita."Shintya, bentar lagi akan ada pengumuman kelulusan, apakah kamu yakin lulus nak? ", ujar wanita paruh bayah, yang mengawali pembicaraan di sela-sela makan malam mereka."Yakin dong bu, Shintya 100% pasti LULUS," jawab Shintya dengan senyum khasnya.Ibunya tersenyum mendengarnya."Yakin lulus, nih? ", goda Bapak nya."Iya dong pak, Shintya kan anak yang pintar, trus baik, gak bandel, terus selalu rajin belajar," lagi-lagi Shintya berujar.Dan akhirnya mereka semua tertawa mendengar ocehan Shintya yang terbilang sangat cerewet."Shintya, nanti lanjutnya di mana nak? ", tanya ibu nya lagi."Bu, nanti Shintya SMP nya di tempat Mak Tua ya, biar bisa punya teman banyak, lagian Shintya bosan di kampung melulu, pengen tin
*Esok pagi nya,"Shintya, bangun nak, udah pagi nih..", ibu nya membangunkannya sambil menggoyang-goyangkan lengan Shintya. Berharap gadis itu cepat bangun dari tidur lelapnya."Heemmm... bentar lagi bu, Shintya masih ngantuk," ujarnya, sambil menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya."Astaagaa... Ini sudah pukul 06.30 loh, masa iya anak gadis belum bangun?" kembali ibunya menarik paksa selimut dan tangan anak gadisnya itu."Adduuhhh... Buu.. Iihhh sakit tangan Shintya... " rengek nya."Makanya cepat bangun. Jadi gak, ikut ibu sama bapak ke kebun?" tanya sang ibu.Ketika mendengar hal itu, mata Shintya langsung terbuka lebar, dia baru ingat, kalau semalam dia meminta ibu nya agar di ijinkan ikut ke kebun."Yaampun, kenapa gak bilang dari tadi sih?" omel Shintya."Lah, dari tadi juga ibu udah bangunin, kamu sendiri yang gak mau bangun," ujar ibu nya, tak mau di salahkan."
**Malam Hari**Setelah selesai makan malam,"Gimana, ikut ke kebun nya, senang, gk?", tanya sang ibu."Ya, senang banget dong. Sering-sering ajak Shintya ya, bu?", mohon Shintya sambil mengedipkan matanya, ibu nya mengangguk dan tersenyum."Alllaahhh.. paling tau nya tidur doang di gubuk," ujar Bapaknya."Namanya aja capek lah, pak!" sahut Shintya.Lalu, ibunya menyuruhnya untuk tidur."Udah jam sembilan, sana tidur.""Iya, deh bu.""Jangan lupa cuci kaki, lalu berdoa!""Ok, Ibu negara."Lalu dia bergegas untuk tidur, dan tidak lupa juga melakukan apa yang di perintahkan ibunya.**Di pertengahan malam**Kala itu, hanya suara jangkrik yang sedang bernyanyi, mengiringi angin malam. Dan bulan yang tetap setia menemani bintang, yang sedang menatap gubuk kecil milik keluarga Shintya.Tepatnya, di kamar tidur kedua orangtuany
"Bahkan, aku tidak tahu, jika hari itu adalah hari terakhir kita pergi bersama." Shintya.Pagi pun telah datang, dengan segera bapak, Shintya, dan beserta keluarganya yang lain, membawa ibu Shintya ke Rumah sakit terdekat.Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya pintu kamar pasien terbuka.memperlihatkan seorang dokter keluar, di ikuti beberapa perawat yang lain."Keluarga pasien?" tanya dokter."Ya, Dok. Kami keluarga nya." jawab bapak Shintya."Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, dikarenakan pasien mengidap penyakit darah tinggi, dan berkontraksi dengan penyakit komplikasi lainnya, maka pasien, mengalami cacat lumpuh, dan kemungkinan besar tidak dapat berbicara." papar dokter.Bagaikan di sambar petir di siang bolong. Semua yang mendengarkan hal tersebut merasa nyilu, dan sekejap, jantung mereka menciut.Tanpa menunggu, Shintya sudah menangis sesegukkan di pelukan budehnya.
*Di sekolah*Sebelum menuju ke ruang kepala sekolah, Shintya menemui bu Dian terlebih dahulu, untuk memastikan, apakah benar informasi yang dia dengar kemarin."Permisi Bu." sapanya."Eh, Shintya. Sini, nak!""Iya, Bu. Gini nih bu, apa benar, saya harus jumpai kepala sekolah, hari ini?""Ah, iya, benar sekali. Silahkan langsung ke ruangan beliau.""Terimakasih Bu, permisi."**Sepulang dari sekolah**Shintya berjalan dengan girangnya, sambil tetap tersenyum, semangat. Sampai tidak sadar, jika dirinya sudah sampai di depan rumahnya."Loh, senyum-senyum sendiri. Gak sakit, dek?" tanya kakaknya keheranan."Hehehe... si kakak bisa aja.""Lah, stres ku rasa lama-lama dirimu.""Eh, sembarangan. Kakak pengen aku gila?""Ya, lagian, kenapa pake acara senyum-senyum sendiri?""Nah, gini nih, kak. Tadi itu, aku habis dari sekolah, jadi aku LULUS."
"Seperti yang di terbangkan jauh ke awan-awan, tetapi di jatuh kan kembali. Sesakit itukah?" Shintya.Setelah mendengar info ikut program beasiswa dua hari yang lalu, Shintya fokus mempersiapkan diri. Bahkan, sampe membongkar buku-buku lamanya.**Malam Hari saat sedang belajar**"Shin.. Shintya..." panggil kakaknya."Iya kak, kenapa?" sahut Shintya dari dalam kamar."Bikin teh dulu untuk tamu!""Iya, iya."Segera Shintya ke dapur. Setelah siap, dia langsung mengantarnya di ruang tamu. Tapi, dia dikejutkan dengan kedatangan tamu mereka."Eh, bu Dian. Tumben kemari," sapanya"Hai Shin, ada yang mau ibu omongin sama bapakmu, nak." ujarnya."Oh begitu." Shintya mengambil posisi duduk di samping kakaknya."Silahkan di minum, bu.""Terimakasih." meminum teh buatan Shintya. "Begini Pak, saya datang kesini mau memberitahu satu hal." dia memulai pembicaraan.&nbs
***Ini adalah hari pertama Shintya bersekolah, dengan seragam SMP***Shintya agak ragu melangkah menuju pintu gerbang sekolahnya. Dia merasa tidak percaya diri untuk sekolah. Bagaimana tidak, semua yang di kenakan nya hari ini, adalah pakain bekas pemberian Mak Tua nya. Sedangkan tas dan sepatu nya, bekas semasih dia SD.Dia kembali teringat percakapannya dengan kakaknya.**Flashback on**"Dek, udah, di pakai aja. Daripada gak bisa lanjut sekolah." ujar kakaknya."Kalo di suruh pakai baju bekas kakak ya gapapa, ini mah bekas anak nya Mak Tua." ucap Shintya dengan sedikit murung."Yang penting, bukan bekas pemulung." sahut kakaknya, sambil tertawa. Mencoba memberikan lelucon, berharap Shintya tidak terlalu sedih."Ya, kalo itu mah, gak sudi kali kak." Shintya berdiri sambil mencoba pakaian seragam putih biru itu."Wiss, pas banget. Adek kakak nyatanya udah SMP." kakaknya mencoba memberi semang
Setelah beberapa minggu bersekolah. Shintya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Dia sudah mempunyai banyak teman, apa lagi, di kelasnya, hampir semuanya akrab dengannya. Ya, teman-teman Shintya ternyata ramah, baik, dan tidak sombong. Tapi sayangnya, Shintya pisah kelas dengan Deslich.Di kediaman Shintya juga, dia sudah mengalami perubahan, hari-harinya yang dulu indah, sekarang berubah jadi suram. Bapaknya tiba-tiba berubah, menjadi dingin. Sudah berapa kali Shintya bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Bapaknya selalu bersikap kasar padanya. Seperti sekarang ini, saat Shintya sedang menyapu rumah, tiba-tiba Bapaknya, memanggilnya, dengan suara keras, membuat jantung Shintya hampir copot."Shintya!" bentak bapaknya."Kenapa, pak?" tanya Shintya hati-hati."Kenapa, kenapa, sudah mau sejam kamu menyapu, tapi belum selesai juga. Piring di sana belum kamu cuci. Dasar lamban!" bentak bapaknya kasar.Shin
Gak terasa tahun ini Shintya sudah duduk di bangku kelas IX. Tahunnya yang berganti, tapi keadaannya masih sama. Bukannya Shintya tidak peduli, tapi dia juga ingin bahagia seperti yang lain. Dia akan menjalani hari-harinya seperti yg temannya lain, meski selalu menampilkan raut wajah yang berpura-pura. Siang ini, kelas Shintya sedang mengerjakan tugas mandiri Matematika. Tidak diijinkan bicara, bergerak, apalagi kerjasama. Sehingga kelas itupun sejak 20 menit yang lalu mendadak hening. 'tokk..tokk..tokk..' ketukan pintu memecahkan keheningan di kelas itu. "Permisi, Pak." sapa siswa yang menjabat sebagai ketua Osis. "Silahkan masuk. Ada apa?" "Saya mau memberitahukan kalau siang ini akan ada rapat para guru di ruang kepala sekolah." "Sekarang?" "Iya, Pak." "Apa seluruh siswa di suruh pulang?" "Sepertinya tidak Pak. Ini atas perintah pak Kasek." "Baiklah. Saya akan segera kesana." "P
Sudah dua minggu semenjak kembali nya Selia ke kota. Kini, hari-hari Shintya hanya meratapi nasib saja. Tapi berbeda saat di sekolah, dia akan terlihat orang yang ceria tanpa beban."Hai, gaeess.. " sapa Shintya, pagi itu."Hei, tumben banget ceria. Ada sesuatu nih kayaknya." goda Felisia, temannya."Ellaahh, biasa aja.""Shin, tau gak..." belum selesai bicara, Shintya sudah memotongnya."Gak." ujarnya,"Kan, lom selesai juga ngomong." ucap Felisia dengan nada kesal."Truz apa?""Aku tuh, emmm... Udaahhh... Jadiaaaaannnn." ujar Shintya pelan lalu di akhiri dengan berteriak."Serius??" tanya Shintya heboh. Felisia mengangguk dengan tersenyum. "Sama siapa?""Sama pangeran dong." sahut Felisia dengan bangganya."Sama Timo, eh, namanya siapa dulu?""Tommy Shin, Tommy. Bukan timo." Felisia memutar mata nya malas. Shintya hanya nyengir kuda.
Hari ini sekolah mengadakan rapat. Para peserta didik di ijinkan pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Untuk menghabiskan waktu yang membosankan, Shintya belajar masak bareng kakaknya. Mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Shintya memperhatikan dengan serius, setiap kakaknya menjelaskan, langsung saja di praktekannya. Meski terkadang meleset dari apa yang telah di perintahkan kakaknya, tapi tidak masalah, menjadikan sempurna itu, perlu membutuhkan banyak waktu. "Ya ampun Shin, minyaknya sedikit aja, tuh tengok telurnya, jadi ikut berendam." ujar Selia. "Hehehe. Ya abis, biar cepat masak loh kak." "Gak gitu juga kali. Malahan yang ada makan minyak nantinya." Shintya hanya nyegir kuda. "Kak, kapan kakak balek ke kota?" "Minggu depan. Soalnya masih banyak yang perlu kakak urus di kampus." "Ya, berarti Shintya sendiri lagi donk." "Kan, ada ibu sama bapak, dek." "Ibu kan g
"Shintya...!!!"Panggilan dengan membentak itu mengagetkan Shintya dari tidurnya. Belum sempat menyahut panggilan nya, di kejutkan lagi dengan gebrakkan pintu kamar yang sangat kasar.Brrraaaakkk..."Kamu tau ini sudah jam berapa? Haa?" tanya bapaknya, sambil menarik kasar tangan Shintya."Sana, ke dapur. Kerjaanmu belum selesai. Jangan kesekolah sebelum rumah ini beres. Ngerti!"Shintya hanya menganggukan kepala, lalu segera ke dapur."Kenapa sih, Pak?" tanya Selia. "Pagi-pagi udah marah-marah. Lagian kerjaan rumah, sudah Selia kerjakan." lanjutnya."Diam."Selia hanya geleng-geleng kepala melihat bapaknya yang semakin hari semakin menjadi.Tepatnya di dapur. Shintya menyuci piring sambil terisak. Dia sudah berusaha menahan agar tidak menangis, tetapi rasa sakit di hatinya tidak bisa di tahan, mengundang cairan bening dari matanya.Setelah selesai menyuci piring,
Setelah beberapa minggu bersekolah. Shintya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Dia sudah mempunyai banyak teman, apa lagi, di kelasnya, hampir semuanya akrab dengannya. Ya, teman-teman Shintya ternyata ramah, baik, dan tidak sombong. Tapi sayangnya, Shintya pisah kelas dengan Deslich.Di kediaman Shintya juga, dia sudah mengalami perubahan, hari-harinya yang dulu indah, sekarang berubah jadi suram. Bapaknya tiba-tiba berubah, menjadi dingin. Sudah berapa kali Shintya bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Bapaknya selalu bersikap kasar padanya. Seperti sekarang ini, saat Shintya sedang menyapu rumah, tiba-tiba Bapaknya, memanggilnya, dengan suara keras, membuat jantung Shintya hampir copot."Shintya!" bentak bapaknya."Kenapa, pak?" tanya Shintya hati-hati."Kenapa, kenapa, sudah mau sejam kamu menyapu, tapi belum selesai juga. Piring di sana belum kamu cuci. Dasar lamban!" bentak bapaknya kasar.Shin
***Ini adalah hari pertama Shintya bersekolah, dengan seragam SMP***Shintya agak ragu melangkah menuju pintu gerbang sekolahnya. Dia merasa tidak percaya diri untuk sekolah. Bagaimana tidak, semua yang di kenakan nya hari ini, adalah pakain bekas pemberian Mak Tua nya. Sedangkan tas dan sepatu nya, bekas semasih dia SD.Dia kembali teringat percakapannya dengan kakaknya.**Flashback on**"Dek, udah, di pakai aja. Daripada gak bisa lanjut sekolah." ujar kakaknya."Kalo di suruh pakai baju bekas kakak ya gapapa, ini mah bekas anak nya Mak Tua." ucap Shintya dengan sedikit murung."Yang penting, bukan bekas pemulung." sahut kakaknya, sambil tertawa. Mencoba memberikan lelucon, berharap Shintya tidak terlalu sedih."Ya, kalo itu mah, gak sudi kali kak." Shintya berdiri sambil mencoba pakaian seragam putih biru itu."Wiss, pas banget. Adek kakak nyatanya udah SMP." kakaknya mencoba memberi semang
"Seperti yang di terbangkan jauh ke awan-awan, tetapi di jatuh kan kembali. Sesakit itukah?" Shintya.Setelah mendengar info ikut program beasiswa dua hari yang lalu, Shintya fokus mempersiapkan diri. Bahkan, sampe membongkar buku-buku lamanya.**Malam Hari saat sedang belajar**"Shin.. Shintya..." panggil kakaknya."Iya kak, kenapa?" sahut Shintya dari dalam kamar."Bikin teh dulu untuk tamu!""Iya, iya."Segera Shintya ke dapur. Setelah siap, dia langsung mengantarnya di ruang tamu. Tapi, dia dikejutkan dengan kedatangan tamu mereka."Eh, bu Dian. Tumben kemari," sapanya"Hai Shin, ada yang mau ibu omongin sama bapakmu, nak." ujarnya."Oh begitu." Shintya mengambil posisi duduk di samping kakaknya."Silahkan di minum, bu.""Terimakasih." meminum teh buatan Shintya. "Begini Pak, saya datang kesini mau memberitahu satu hal." dia memulai pembicaraan.&nbs
*Di sekolah*Sebelum menuju ke ruang kepala sekolah, Shintya menemui bu Dian terlebih dahulu, untuk memastikan, apakah benar informasi yang dia dengar kemarin."Permisi Bu." sapanya."Eh, Shintya. Sini, nak!""Iya, Bu. Gini nih bu, apa benar, saya harus jumpai kepala sekolah, hari ini?""Ah, iya, benar sekali. Silahkan langsung ke ruangan beliau.""Terimakasih Bu, permisi."**Sepulang dari sekolah**Shintya berjalan dengan girangnya, sambil tetap tersenyum, semangat. Sampai tidak sadar, jika dirinya sudah sampai di depan rumahnya."Loh, senyum-senyum sendiri. Gak sakit, dek?" tanya kakaknya keheranan."Hehehe... si kakak bisa aja.""Lah, stres ku rasa lama-lama dirimu.""Eh, sembarangan. Kakak pengen aku gila?""Ya, lagian, kenapa pake acara senyum-senyum sendiri?""Nah, gini nih, kak. Tadi itu, aku habis dari sekolah, jadi aku LULUS."
"Bahkan, aku tidak tahu, jika hari itu adalah hari terakhir kita pergi bersama." Shintya.Pagi pun telah datang, dengan segera bapak, Shintya, dan beserta keluarganya yang lain, membawa ibu Shintya ke Rumah sakit terdekat.Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya pintu kamar pasien terbuka.memperlihatkan seorang dokter keluar, di ikuti beberapa perawat yang lain."Keluarga pasien?" tanya dokter."Ya, Dok. Kami keluarga nya." jawab bapak Shintya."Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, dikarenakan pasien mengidap penyakit darah tinggi, dan berkontraksi dengan penyakit komplikasi lainnya, maka pasien, mengalami cacat lumpuh, dan kemungkinan besar tidak dapat berbicara." papar dokter.Bagaikan di sambar petir di siang bolong. Semua yang mendengarkan hal tersebut merasa nyilu, dan sekejap, jantung mereka menciut.Tanpa menunggu, Shintya sudah menangis sesegukkan di pelukan budehnya.