**Malam Hari**
Setelah selesai makan malam,
"Gimana, ikut ke kebun nya, senang, gk?", tanya sang ibu.
"Ya, senang banget dong. Sering-sering ajak Shintya ya, bu?", mohon Shintya sambil mengedipkan matanya, ibu nya mengangguk dan tersenyum.
"Alllaahhh.. paling tau nya tidur doang di gubuk," ujar Bapaknya.
"Namanya aja capek lah, pak!" sahut Shintya.
Lalu, ibunya menyuruhnya untuk tidur.
"Udah jam sembilan, sana tidur."
"Iya, deh bu."
"Jangan lupa cuci kaki, lalu berdoa!"
"Ok, Ibu negara."
Lalu dia bergegas untuk tidur, dan tidak lupa juga melakukan apa yang di perintahkan ibunya.
**Di pertengahan malam**
Kala itu, hanya suara jangkrik yang sedang bernyanyi, mengiringi angin malam. Dan bulan yang tetap setia menemani bintang, yang sedang menatap gubuk kecil milik keluarga Shintya.
Tepatnya, di kamar tidur kedua orangtuanya, di ranjang kecil, beralaskan tikar, tiba-tiba ibu Shintya menggeliat, ke kanan, dan ke kiri, sehingga membangunkan sang suami.
Suami nya terbangun, dan menatap heran, di kegelapan malam, tanpa lampu penerang, ibu Shintya bergerak tanpa berhenti, menggerakkan seluruh anggota tubuhnya, tanpa bicara. Suaminya terkejut, lalu mencoba membangunkannya.
"Bu, ada apa?" tanya suaminya. "Apakah, Ibu sedang bermimpi?", lanjutnya lagi.
Tapi, tidak ada jawaban. Sang suami kembali mencoba membangunkannya, sambil menggoyang-goyangkan badan sang istri.
"Bu, bangun! Ayo.. bangun!" Tapi karena tidak ada jawaban, sang suami mencoba mengambilkan alat penerang, ya, senter Hp pemberian anak perempuan nya.
Saat itu, dia terkejut melihat sang istri, dengan mata yang tertutup, tetapi tubuhnya yang sudah kejang-kejang. Dengan segera, dia memanggil putri nya.
"Shintya.. Shintya.. Shintya..!" teriaknya.
Setelah sekian lama memanggil, akhirnya Shintya terbangun.
"Iya pak, ada apa?" sahutnya setengah sadar, sambil mendekati ayahnya.
Butuh beberapa detik bagi Shintya untuk bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di kamar orangtuanya.
Dengan mata terbelalak kaget, dia berkata, "Pak, ibu kenapa?"
"Bapak juga gk tahu, nak."
"Bu, bangun. Ibu, kenapa?"
"Pergilah kerumah tetehmu, ketuk pintunya, dan beritahu, ibumu sedang sakit. Sekarang, nak!" perintah ayahnya.
Dengan segera Shintya berlari kerumah tetehnya, di sebelah rumahnya.
"Teh, buka pintunya!" teriak Shintya sambil menggedor pintu.
Butuh beberapa menit, akhirnya ada sahutan dari dalam.
"Iya, kenapa? Lah.. Shintya, ada apa larut malam begini, bangunin teteh?" tanya tetehnya, dengan keheranan.
"Ibu teh, lagi sakit."
"Apa! Sakit apa, nak?"
"Gak tau teh, ayo ke rumah!"
Tetehnya mengangguk, dengan segera mereka berlari menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, tetehnya terkejut melihat keadaan ibu Shintya.
"Yaampun, Mono, kamu kenapa?" tanyanya dengan kepanikkan yang luar biasa.
"Panggil budeh mu, nak! Jangan lupa sekalian ibu bidan nya. " pinta tetehnya, dan segera mungkin Shintya berlari keluar rumah.
Setelah satu jam kemudian, ibunya di periksa oleh bidan desa. Dengan tidak sabar menunggu, bercampur rasa panik, mereka menunggu bidan itu berbicara.
Bidan desa itu menatap mereka satu persatu, lalu berkata, "maaf, saya belum tahu pasti penyakit ibu ini. Saya hanya bisa beri obat penenang, agar ibu ini bisa istrahat sebentar. Mengingat, beberapa jam lagi akan pagi, tolong ibu ini di antar langsung nanti nya, ke rumah sakit terdekat." jelasnya, panjang lebar.
Semuanya menghela nafas pelan, sambil menatap sendu ibu Shintya.
Terlebih Shintya yang sudah dari tadi terisak.
Ntahlah, apa yang akan terjadi pada ibu nya ini. Dia sangat kwatir, bahkan memutuskan akan tidur di samping ibunya sementara waktu.
"Bahkan, aku tidak tahu, jika hari itu adalah hari terakhir kita pergi bersama." Shintya.Pagi pun telah datang, dengan segera bapak, Shintya, dan beserta keluarganya yang lain, membawa ibu Shintya ke Rumah sakit terdekat.Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya pintu kamar pasien terbuka.memperlihatkan seorang dokter keluar, di ikuti beberapa perawat yang lain."Keluarga pasien?" tanya dokter."Ya, Dok. Kami keluarga nya." jawab bapak Shintya."Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, dikarenakan pasien mengidap penyakit darah tinggi, dan berkontraksi dengan penyakit komplikasi lainnya, maka pasien, mengalami cacat lumpuh, dan kemungkinan besar tidak dapat berbicara." papar dokter.Bagaikan di sambar petir di siang bolong. Semua yang mendengarkan hal tersebut merasa nyilu, dan sekejap, jantung mereka menciut.Tanpa menunggu, Shintya sudah menangis sesegukkan di pelukan budehnya.
*Di sekolah*Sebelum menuju ke ruang kepala sekolah, Shintya menemui bu Dian terlebih dahulu, untuk memastikan, apakah benar informasi yang dia dengar kemarin."Permisi Bu." sapanya."Eh, Shintya. Sini, nak!""Iya, Bu. Gini nih bu, apa benar, saya harus jumpai kepala sekolah, hari ini?""Ah, iya, benar sekali. Silahkan langsung ke ruangan beliau.""Terimakasih Bu, permisi."**Sepulang dari sekolah**Shintya berjalan dengan girangnya, sambil tetap tersenyum, semangat. Sampai tidak sadar, jika dirinya sudah sampai di depan rumahnya."Loh, senyum-senyum sendiri. Gak sakit, dek?" tanya kakaknya keheranan."Hehehe... si kakak bisa aja.""Lah, stres ku rasa lama-lama dirimu.""Eh, sembarangan. Kakak pengen aku gila?""Ya, lagian, kenapa pake acara senyum-senyum sendiri?""Nah, gini nih, kak. Tadi itu, aku habis dari sekolah, jadi aku LULUS."
"Seperti yang di terbangkan jauh ke awan-awan, tetapi di jatuh kan kembali. Sesakit itukah?" Shintya.Setelah mendengar info ikut program beasiswa dua hari yang lalu, Shintya fokus mempersiapkan diri. Bahkan, sampe membongkar buku-buku lamanya.**Malam Hari saat sedang belajar**"Shin.. Shintya..." panggil kakaknya."Iya kak, kenapa?" sahut Shintya dari dalam kamar."Bikin teh dulu untuk tamu!""Iya, iya."Segera Shintya ke dapur. Setelah siap, dia langsung mengantarnya di ruang tamu. Tapi, dia dikejutkan dengan kedatangan tamu mereka."Eh, bu Dian. Tumben kemari," sapanya"Hai Shin, ada yang mau ibu omongin sama bapakmu, nak." ujarnya."Oh begitu." Shintya mengambil posisi duduk di samping kakaknya."Silahkan di minum, bu.""Terimakasih." meminum teh buatan Shintya. "Begini Pak, saya datang kesini mau memberitahu satu hal." dia memulai pembicaraan.&nbs
***Ini adalah hari pertama Shintya bersekolah, dengan seragam SMP***Shintya agak ragu melangkah menuju pintu gerbang sekolahnya. Dia merasa tidak percaya diri untuk sekolah. Bagaimana tidak, semua yang di kenakan nya hari ini, adalah pakain bekas pemberian Mak Tua nya. Sedangkan tas dan sepatu nya, bekas semasih dia SD.Dia kembali teringat percakapannya dengan kakaknya.**Flashback on**"Dek, udah, di pakai aja. Daripada gak bisa lanjut sekolah." ujar kakaknya."Kalo di suruh pakai baju bekas kakak ya gapapa, ini mah bekas anak nya Mak Tua." ucap Shintya dengan sedikit murung."Yang penting, bukan bekas pemulung." sahut kakaknya, sambil tertawa. Mencoba memberikan lelucon, berharap Shintya tidak terlalu sedih."Ya, kalo itu mah, gak sudi kali kak." Shintya berdiri sambil mencoba pakaian seragam putih biru itu."Wiss, pas banget. Adek kakak nyatanya udah SMP." kakaknya mencoba memberi semang
Setelah beberapa minggu bersekolah. Shintya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Dia sudah mempunyai banyak teman, apa lagi, di kelasnya, hampir semuanya akrab dengannya. Ya, teman-teman Shintya ternyata ramah, baik, dan tidak sombong. Tapi sayangnya, Shintya pisah kelas dengan Deslich.Di kediaman Shintya juga, dia sudah mengalami perubahan, hari-harinya yang dulu indah, sekarang berubah jadi suram. Bapaknya tiba-tiba berubah, menjadi dingin. Sudah berapa kali Shintya bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Bapaknya selalu bersikap kasar padanya. Seperti sekarang ini, saat Shintya sedang menyapu rumah, tiba-tiba Bapaknya, memanggilnya, dengan suara keras, membuat jantung Shintya hampir copot."Shintya!" bentak bapaknya."Kenapa, pak?" tanya Shintya hati-hati."Kenapa, kenapa, sudah mau sejam kamu menyapu, tapi belum selesai juga. Piring di sana belum kamu cuci. Dasar lamban!" bentak bapaknya kasar.Shin
"Shintya...!!!"Panggilan dengan membentak itu mengagetkan Shintya dari tidurnya. Belum sempat menyahut panggilan nya, di kejutkan lagi dengan gebrakkan pintu kamar yang sangat kasar.Brrraaaakkk..."Kamu tau ini sudah jam berapa? Haa?" tanya bapaknya, sambil menarik kasar tangan Shintya."Sana, ke dapur. Kerjaanmu belum selesai. Jangan kesekolah sebelum rumah ini beres. Ngerti!"Shintya hanya menganggukan kepala, lalu segera ke dapur."Kenapa sih, Pak?" tanya Selia. "Pagi-pagi udah marah-marah. Lagian kerjaan rumah, sudah Selia kerjakan." lanjutnya."Diam."Selia hanya geleng-geleng kepala melihat bapaknya yang semakin hari semakin menjadi.Tepatnya di dapur. Shintya menyuci piring sambil terisak. Dia sudah berusaha menahan agar tidak menangis, tetapi rasa sakit di hatinya tidak bisa di tahan, mengundang cairan bening dari matanya.Setelah selesai menyuci piring,
Hari ini sekolah mengadakan rapat. Para peserta didik di ijinkan pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Untuk menghabiskan waktu yang membosankan, Shintya belajar masak bareng kakaknya. Mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Shintya memperhatikan dengan serius, setiap kakaknya menjelaskan, langsung saja di praktekannya. Meski terkadang meleset dari apa yang telah di perintahkan kakaknya, tapi tidak masalah, menjadikan sempurna itu, perlu membutuhkan banyak waktu. "Ya ampun Shin, minyaknya sedikit aja, tuh tengok telurnya, jadi ikut berendam." ujar Selia. "Hehehe. Ya abis, biar cepat masak loh kak." "Gak gitu juga kali. Malahan yang ada makan minyak nantinya." Shintya hanya nyegir kuda. "Kak, kapan kakak balek ke kota?" "Minggu depan. Soalnya masih banyak yang perlu kakak urus di kampus." "Ya, berarti Shintya sendiri lagi donk." "Kan, ada ibu sama bapak, dek." "Ibu kan g
Sudah dua minggu semenjak kembali nya Selia ke kota. Kini, hari-hari Shintya hanya meratapi nasib saja. Tapi berbeda saat di sekolah, dia akan terlihat orang yang ceria tanpa beban."Hai, gaeess.. " sapa Shintya, pagi itu."Hei, tumben banget ceria. Ada sesuatu nih kayaknya." goda Felisia, temannya."Ellaahh, biasa aja.""Shin, tau gak..." belum selesai bicara, Shintya sudah memotongnya."Gak." ujarnya,"Kan, lom selesai juga ngomong." ucap Felisia dengan nada kesal."Truz apa?""Aku tuh, emmm... Udaahhh... Jadiaaaaannnn." ujar Shintya pelan lalu di akhiri dengan berteriak."Serius??" tanya Shintya heboh. Felisia mengangguk dengan tersenyum. "Sama siapa?""Sama pangeran dong." sahut Felisia dengan bangganya."Sama Timo, eh, namanya siapa dulu?""Tommy Shin, Tommy. Bukan timo." Felisia memutar mata nya malas. Shintya hanya nyengir kuda.
Gak terasa tahun ini Shintya sudah duduk di bangku kelas IX. Tahunnya yang berganti, tapi keadaannya masih sama. Bukannya Shintya tidak peduli, tapi dia juga ingin bahagia seperti yang lain. Dia akan menjalani hari-harinya seperti yg temannya lain, meski selalu menampilkan raut wajah yang berpura-pura. Siang ini, kelas Shintya sedang mengerjakan tugas mandiri Matematika. Tidak diijinkan bicara, bergerak, apalagi kerjasama. Sehingga kelas itupun sejak 20 menit yang lalu mendadak hening. 'tokk..tokk..tokk..' ketukan pintu memecahkan keheningan di kelas itu. "Permisi, Pak." sapa siswa yang menjabat sebagai ketua Osis. "Silahkan masuk. Ada apa?" "Saya mau memberitahukan kalau siang ini akan ada rapat para guru di ruang kepala sekolah." "Sekarang?" "Iya, Pak." "Apa seluruh siswa di suruh pulang?" "Sepertinya tidak Pak. Ini atas perintah pak Kasek." "Baiklah. Saya akan segera kesana." "P
Sudah dua minggu semenjak kembali nya Selia ke kota. Kini, hari-hari Shintya hanya meratapi nasib saja. Tapi berbeda saat di sekolah, dia akan terlihat orang yang ceria tanpa beban."Hai, gaeess.. " sapa Shintya, pagi itu."Hei, tumben banget ceria. Ada sesuatu nih kayaknya." goda Felisia, temannya."Ellaahh, biasa aja.""Shin, tau gak..." belum selesai bicara, Shintya sudah memotongnya."Gak." ujarnya,"Kan, lom selesai juga ngomong." ucap Felisia dengan nada kesal."Truz apa?""Aku tuh, emmm... Udaahhh... Jadiaaaaannnn." ujar Shintya pelan lalu di akhiri dengan berteriak."Serius??" tanya Shintya heboh. Felisia mengangguk dengan tersenyum. "Sama siapa?""Sama pangeran dong." sahut Felisia dengan bangganya."Sama Timo, eh, namanya siapa dulu?""Tommy Shin, Tommy. Bukan timo." Felisia memutar mata nya malas. Shintya hanya nyengir kuda.
Hari ini sekolah mengadakan rapat. Para peserta didik di ijinkan pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Untuk menghabiskan waktu yang membosankan, Shintya belajar masak bareng kakaknya. Mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Shintya memperhatikan dengan serius, setiap kakaknya menjelaskan, langsung saja di praktekannya. Meski terkadang meleset dari apa yang telah di perintahkan kakaknya, tapi tidak masalah, menjadikan sempurna itu, perlu membutuhkan banyak waktu. "Ya ampun Shin, minyaknya sedikit aja, tuh tengok telurnya, jadi ikut berendam." ujar Selia. "Hehehe. Ya abis, biar cepat masak loh kak." "Gak gitu juga kali. Malahan yang ada makan minyak nantinya." Shintya hanya nyegir kuda. "Kak, kapan kakak balek ke kota?" "Minggu depan. Soalnya masih banyak yang perlu kakak urus di kampus." "Ya, berarti Shintya sendiri lagi donk." "Kan, ada ibu sama bapak, dek." "Ibu kan g
"Shintya...!!!"Panggilan dengan membentak itu mengagetkan Shintya dari tidurnya. Belum sempat menyahut panggilan nya, di kejutkan lagi dengan gebrakkan pintu kamar yang sangat kasar.Brrraaaakkk..."Kamu tau ini sudah jam berapa? Haa?" tanya bapaknya, sambil menarik kasar tangan Shintya."Sana, ke dapur. Kerjaanmu belum selesai. Jangan kesekolah sebelum rumah ini beres. Ngerti!"Shintya hanya menganggukan kepala, lalu segera ke dapur."Kenapa sih, Pak?" tanya Selia. "Pagi-pagi udah marah-marah. Lagian kerjaan rumah, sudah Selia kerjakan." lanjutnya."Diam."Selia hanya geleng-geleng kepala melihat bapaknya yang semakin hari semakin menjadi.Tepatnya di dapur. Shintya menyuci piring sambil terisak. Dia sudah berusaha menahan agar tidak menangis, tetapi rasa sakit di hatinya tidak bisa di tahan, mengundang cairan bening dari matanya.Setelah selesai menyuci piring,
Setelah beberapa minggu bersekolah. Shintya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Dia sudah mempunyai banyak teman, apa lagi, di kelasnya, hampir semuanya akrab dengannya. Ya, teman-teman Shintya ternyata ramah, baik, dan tidak sombong. Tapi sayangnya, Shintya pisah kelas dengan Deslich.Di kediaman Shintya juga, dia sudah mengalami perubahan, hari-harinya yang dulu indah, sekarang berubah jadi suram. Bapaknya tiba-tiba berubah, menjadi dingin. Sudah berapa kali Shintya bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Bapaknya selalu bersikap kasar padanya. Seperti sekarang ini, saat Shintya sedang menyapu rumah, tiba-tiba Bapaknya, memanggilnya, dengan suara keras, membuat jantung Shintya hampir copot."Shintya!" bentak bapaknya."Kenapa, pak?" tanya Shintya hati-hati."Kenapa, kenapa, sudah mau sejam kamu menyapu, tapi belum selesai juga. Piring di sana belum kamu cuci. Dasar lamban!" bentak bapaknya kasar.Shin
***Ini adalah hari pertama Shintya bersekolah, dengan seragam SMP***Shintya agak ragu melangkah menuju pintu gerbang sekolahnya. Dia merasa tidak percaya diri untuk sekolah. Bagaimana tidak, semua yang di kenakan nya hari ini, adalah pakain bekas pemberian Mak Tua nya. Sedangkan tas dan sepatu nya, bekas semasih dia SD.Dia kembali teringat percakapannya dengan kakaknya.**Flashback on**"Dek, udah, di pakai aja. Daripada gak bisa lanjut sekolah." ujar kakaknya."Kalo di suruh pakai baju bekas kakak ya gapapa, ini mah bekas anak nya Mak Tua." ucap Shintya dengan sedikit murung."Yang penting, bukan bekas pemulung." sahut kakaknya, sambil tertawa. Mencoba memberikan lelucon, berharap Shintya tidak terlalu sedih."Ya, kalo itu mah, gak sudi kali kak." Shintya berdiri sambil mencoba pakaian seragam putih biru itu."Wiss, pas banget. Adek kakak nyatanya udah SMP." kakaknya mencoba memberi semang
"Seperti yang di terbangkan jauh ke awan-awan, tetapi di jatuh kan kembali. Sesakit itukah?" Shintya.Setelah mendengar info ikut program beasiswa dua hari yang lalu, Shintya fokus mempersiapkan diri. Bahkan, sampe membongkar buku-buku lamanya.**Malam Hari saat sedang belajar**"Shin.. Shintya..." panggil kakaknya."Iya kak, kenapa?" sahut Shintya dari dalam kamar."Bikin teh dulu untuk tamu!""Iya, iya."Segera Shintya ke dapur. Setelah siap, dia langsung mengantarnya di ruang tamu. Tapi, dia dikejutkan dengan kedatangan tamu mereka."Eh, bu Dian. Tumben kemari," sapanya"Hai Shin, ada yang mau ibu omongin sama bapakmu, nak." ujarnya."Oh begitu." Shintya mengambil posisi duduk di samping kakaknya."Silahkan di minum, bu.""Terimakasih." meminum teh buatan Shintya. "Begini Pak, saya datang kesini mau memberitahu satu hal." dia memulai pembicaraan.&nbs
*Di sekolah*Sebelum menuju ke ruang kepala sekolah, Shintya menemui bu Dian terlebih dahulu, untuk memastikan, apakah benar informasi yang dia dengar kemarin."Permisi Bu." sapanya."Eh, Shintya. Sini, nak!""Iya, Bu. Gini nih bu, apa benar, saya harus jumpai kepala sekolah, hari ini?""Ah, iya, benar sekali. Silahkan langsung ke ruangan beliau.""Terimakasih Bu, permisi."**Sepulang dari sekolah**Shintya berjalan dengan girangnya, sambil tetap tersenyum, semangat. Sampai tidak sadar, jika dirinya sudah sampai di depan rumahnya."Loh, senyum-senyum sendiri. Gak sakit, dek?" tanya kakaknya keheranan."Hehehe... si kakak bisa aja.""Lah, stres ku rasa lama-lama dirimu.""Eh, sembarangan. Kakak pengen aku gila?""Ya, lagian, kenapa pake acara senyum-senyum sendiri?""Nah, gini nih, kak. Tadi itu, aku habis dari sekolah, jadi aku LULUS."
"Bahkan, aku tidak tahu, jika hari itu adalah hari terakhir kita pergi bersama." Shintya.Pagi pun telah datang, dengan segera bapak, Shintya, dan beserta keluarganya yang lain, membawa ibu Shintya ke Rumah sakit terdekat.Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya pintu kamar pasien terbuka.memperlihatkan seorang dokter keluar, di ikuti beberapa perawat yang lain."Keluarga pasien?" tanya dokter."Ya, Dok. Kami keluarga nya." jawab bapak Shintya."Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, dikarenakan pasien mengidap penyakit darah tinggi, dan berkontraksi dengan penyakit komplikasi lainnya, maka pasien, mengalami cacat lumpuh, dan kemungkinan besar tidak dapat berbicara." papar dokter.Bagaikan di sambar petir di siang bolong. Semua yang mendengarkan hal tersebut merasa nyilu, dan sekejap, jantung mereka menciut.Tanpa menunggu, Shintya sudah menangis sesegukkan di pelukan budehnya.