Tempat tinggal serta kendaraan pribadi sudah tersedia di Surabaya. Menurut keterangan Harsa, jarak dari rumah menuju kantor Metro, hanya memakan waktu lima belas menit jika lengang. Tiket dan semua akomodasi dari Jakarta, hingga ke Surabaya pun sudah disiapkan. Gemi hanya tinggal mengepaki barang-barang pentingnya di apartemen.
Tinggal satu masalah yang belum Gemi selesaikan, yakni, bicara dengan kedua orang tuanya. Tarikan napas Gemi begitu dalam, ketika baru saja memarkirkan motornya di carport rumah. Menghela panjang, lalu kembali menarik napasnya dalam-dalam. Seumur hidupnya, baru kali ini jantung Gemi berpacu laju ketika hendak berbicara dengan ayah dan ibunya.
Namun, semua keputusan sudah dibuat. Gemi tidak bisa memundurkan langkah kali ini. Ada masa depan dirinya beserta satu nyawa lagi yang ada di dalam rahimnya, yang harus benar-benar Gemi perjuangkan. Kalau bukan Gemi, siapa lagi yang mau berjuang untuk dirinya sendiri?
Gemi mengucap salam ketika me
Gemi berdiri, sembari melarikan maniknya ke setiap orang yang berada di terminal kedatangan Bandar Udara Internasional Juanda. Menajamkan manik beningnya untuk mencari seseorang yang ditugaskan menjemputnya. Tidak melihat siapa pun yang memegang papan nama yang bertuliskan namanya, Gemi akhirnya mengeluarkan ponsel dari saku jaket bagian dalamnya. Baru saja Gemi membuka kunci ponsel yang berada di tangan, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Ayo, Gem!" Pria yang menepuk bahunya itu, lantas mendahului Gemi tanpa menoleh sedikit pun. Terus saja berjalan ke bagian ujung terminal dengan tegap dan rasa percaya diri yang terpancar begitu tinggi. Pria itu juga tidak terlihat membawa apapun di tangannya. Hanya membawa dirinya sendiri. Namun, kenapa pria itu ada di sini? Di tempat yang sama dengan Gemi? “Pak!” panggil Gemi, tapi tidak ditoleh sama sekali oleh pria itu. Gemi menarik gagang travel bagnya, kemudian menariknya. Melangkah cepat, untuk
Suara klakson yang berbunyi dua kali di depan rumah, langsung membuat Gemi beranjak dari sofa ruang tamu. Membawa tas ransel yang berisi laptop, lalu keluar dan mengunci pintu rumahnya. Di luar, sudah terlihat Amir yang berdiri di samping mobil dan menyunggingkan senyum padanya. “Sore, Bu Gemi.” “Sore, Pak,” balas Gemi kemudian membuka pagar. “Biar saya saja yang tutup dan gembok pagarnya,” kata Amir sembari menengadahkan kedua tangannya untuk meminta gembok yang saat ini dipegang oleh Gemi. “Ibu tunggu di dalam aja, sudah ada pak Lex juga di mobil.” “Ohh …” Gemi lantas menyerahkan gembok tersebut pada Amir. Tidak menduga, kalau ia akan pergi ke Metro sore ini bersama Lex. Gemi kira, Lex sudah lebih dulu berada di kantor Metro sedari tadi. “Makasih, ya, Pak.” “Nggeh.” Gemi yang masih asing dengan ungkapan tersebut, hanya memberi anggukan sembari nyengir. Ia lalu masuk ke dalam mobil, dan melihat Lex sudah ada di dalam sana dengan memak
Dengan menenggelamkan kedua tangan di saku celana bahan, Lee memandang jenuh pada kemacetan dari lantai dua puluh tempatnya berdiri saat ini. Menghela panjang dengan segumpal benang kusut, yang menggantung di kepala. Semua kebahagiaan sekaligus kesakitan datang bertubi dan begitu cepat. Semua berkumpul dalam satu waktu, hingga Lee tidak dapat memilah untuk mencernanya di kepala. Ditambah, rasa kehilangan yang ada saat ini, tidak hanya diderita oleh dirinya sendiri, tapi putrinya juga. “Jadi gimana Lee?” tanya Lex yang masih setia duduk dengan menyilang kaki pada arm chair, yang berada tepat di sebelah pintu ruang kerja Lee. Hampir setengah jam Lex berada di dalam ruang kerja Lee, untuk menjelaskan semua perihal perceraian yang diminta oleh Gemi. “Kamu tinggal tanda tangan dan aku jamin semuanya beres.” “Nggak semudah itu ternyata, Lex.” Lee masih saja betah dengan posisinya. Tidak berbalik atau menoleh sedikit pun pada Lex. Ternyata, memutuskan untuk
Panas menyengat melebihi Jakarta, itulah kesan yang didapat Gemi setiap berkunjung ke Surabaya. Terlebih, saat ini Gemi harus beradaptasi dengan cuaca yang ada setiap harinya, karena tanggung jawab yang sudah diterimanya.Minggu-minggu pertama, Gemi selalu membawa Amir untuk menjelaskan seluk beluk jalan di Surabaya. Setelahnya, dengan perlahan Gemi akhirnya paham dan bisa menjelajahinya sendiri meski sesekali harus menggunakan GPS untuk penunjuk arah.“Pagi, Bu Gemi,” sapa seorang satpam yang berdiri di samping pintu lobi masuk kantor dengan senyuman.“Pagi, Pak Broto,” balas Gemi dengan anggukan sopan dan berlalu masuk ke dalam. Sapaan demi sapaan yang sama pun berlanjut Gemi terima, hingga ia berada di lantai empat. Tempat di mana ruang redaksi dan ruangan Gemi berada.Setelah menyapa beberapa awak redaksi yang hanya terlihat beberapa orang saja, Gemi lantas pergi ke ruangannya. Ruangan pemimpin redaksi yang sudah ia cita-citaka
“Omaaa …”Gadis kecil itu, separuh berlari ketika baru keluar dari mobil. Padahal, satu lengannya masih dalam keadaan berbalut perban, karena masih dalam masa penyembuhan.“Chandie, jangan lari.” Lee buru-buru mengejar putrinya, yang langsung merangsek masuk ke dalam pagar rumah orang tua Gemi. Ada Audi yang tengah menyiram tanaman di pekarangan rumah, hingga Chandie langsung saja menghampiri wanita yang sudah dipanggil Oma, sejak Lee menikah dengan Gemi.Audi pun sama paniknya. Khawatir kalau gadis kecil itu tiba-tiba tersandung dan kembali jatuh. Bisa-bisa penyembuhan lengannya akan semakin lama.“Chandie, jalan aja, pelan-pelan,” ujar Audi yang meletakkan selangnya begitu saja dan langsung menangkap cucu sambungnya. “Nanti kalau jatuh, kan, tambah sakit.”Satu tangan Chandie langsung memeluk Audi yang kini berjongkok di depannya. Merebahkan wajah mungilnya pada ceruk leher sang Oma. “A
Gemi terduduk lemas pada sofa di ruang tamu. Baru saja, ia disibukkan dengan kegiatan melelahkan di pagi hari, yakni morning sick yang kerap dilanda ibu hamil. Gemi pernah berharap, kalau di semester kedua kehamilannya nanti, mual dan muntah yang saat ini menemaninya setiap pagi, akan segera enyah dari hidupnya.Yang Gemi tahu, dengar dan lihat sendiri dari kehamilan Gista, kakak perempuannya itu hanya mengalami morning sick di semester pertama. Memasuki semester kedua, Gista sudah tidak mengalami hal tersebut sama sekali.Jika dihitung lagi, kehamilan Gemi kini sudah mulai memasuki semester kedua. Namun, mengapa mual dan muntah itu masih saja ada sampai sekarang. Meskipun hanya terjadi di pagi hari, tapi hal tersebut sungguhlah melelahkan untuk memulai hari.Sepertinya, Gemi akan mencari asisten rumah tangga yang bisa menemaninya sehari-hari. Karena, Gemi tidak mungkin hanya tinggal sendirian, sementara kehamilannya semakin hari semakin besar. Ada pekerjaan rum
Di dalam rumah, hanya terdengar interaksi antara Gemi dan Chandie saja sedari tadi. Sedangkan Lee, benar-benar seperti tamu asing yang hanya duduk di ruang tamu. Gemi hanya menyediakan satu botol air mineral, serta dua potong cake cokelat yang sudah mengendap di lemari pendingin.Lee bisa menilai, kalau rumah yang ditempati Gemi cukup bersih. Pada dasarnya Gemi wanita yang sangat rapi dan teratur dalam segala hal. Saat masih di apartemen dulu, Lee juga bisa melihat kalau unit Gemi memang sangatlah bersih.Menurut Lee, lingkungan tempat tinggal Gemi saat ini, tidak bisa dibilang sederhana. Meskipun, belum bisa dikatakan mewah. Tapi cukup memadai, karena penjagaan pada portal terbilang diawasi dengan baik.Entah sudah berapa lama Lee hanya duduk hanya dengan mengotak atik ponselnya, ketika Chandie datang lalu duduk di pangkuannya.“Mama lagi mandi, bentar lagi mau ke kantor,” adu Chandie dengan memerosotkan kedua bahunya dan tampak sedikit kecew
Semesta seolah berpihak pada Chandie. Entah mengapa, sore itu, semua berita yang dibutuhkan telah terkumpul sempurna tanpa mengalami kekurangan sama sekali. Bahkan, stoknya pun terlihat berlebih, dengan beberapa tulisan feature yang berada di folder halaman.Gemi hanya tinggal memilih, yang mana harus diprioritaskan untuk naik cetak malam harinya. Setelah semua proses editing selesai, dan memastikan semua hal sudah berjalan di tempatnya, Gemi kemudian menelepon Chandie. Mengatakan pada gadis kecil itu, kalau Gemi sudah bisa dijemput saat ini.Sembari menunggu jemputan, Gemi kembali mengecek semua hal sekali lagi. Setelah beres, ia berpamitan kepada awak redaksi dan pergi lebih dulu.Gemi menggenggam erat tali tas laptopnya di depan paha. Menunggu lift yang sebentar lagi turun ke lantai empat. Ketika pintu itu terbuka, Gemi akhirnya bertemu dengan seseorang yang benar-benar sangat susah untuk ditemui.“Aaaakhirnya, saya bisa ketemu dengan Pak Dirut y
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r