“Kirana, maaf. Aku kira Nila sudah cerita semuanya.”Sambil mengusap air mata dengan tisu yang diberi Gavin, Kirana menggeleng dan tersenyum miris. “Nggak papa. Bukan salahmu.”Jika berada di posisi Nila, sepertinya Kirana juga akan melakukan hal yang sama. Ia tidak ingin orang tuanya tahu, jika ibu dari kekasihnya telah menolaknya dengan ucapan yang tidak semestinya. Sebagaimana Nila yang menjaga perasaannya, maka Kirana juga akan menjaga perasaan orang tuanya agar tidak terluka.“Aku cuma ... maaf, aku bikin sampah,” ujar Kirana kembali mengambil tisu di pangkuan. Hatinya benar-benar sakit, mengingat putrinya direndahkan sedemikian rupa oleh orang tua Arif. Kirana tidak menyalahkan Arif, karena ia melihat bagaimana tulusnya pria itu pada Nila. Namun, sikap keluarganyalah yang membuat Kirana terluka. “Jangan pikirkan itu.” Gavin berbalik dan mengambil tempat sampah kecil yang berada di belakang kotak konsol, lalu memberikan pada Kirana. Ia sampai menepikan mobil, ketika melihat Kira
“Mbak, maaf. Kalau Mbak nggak diet, bisa-bisa minggu depan kebayanya nggak muat.”Atika yang mendengar celetukan tersebut, langsung keluar dari ruang ganti sambil mengancing kebayanya.“Betul, kan, saya bilang tadi,” ujarnya menghampiri Nila lalu mencubit-cubit pipi yang memang mulai terlihat bulat. “Kamu itu agak bulet dari terakhir kita ketemu.”“Mama juga sudah bilang, kan? Jangan ngemil terus,” timpal Kirana yang hanya duduk di sofa tunggu ruang ganti, karena gilirannya mencoba pakaian sudah selesai. “Pulang kantor mesti bawa kue.”Nila tidak menyahut. Ia melihat wajah dan lekuk tubuhnya dari pantulan kaca yang ternyata memang sedikit membesar. “Tapi kata mas Djiwa nggak gendut.”“Djiwa ditanya.” Atika geleng-geleng. “Mentok, Mbak?” tanyanya pada pegawai yang melayani Nila.“Mentok, Bu. Kalau dipaksa jahitan resletingnya bisa lepas.”Atika menepuk bahu Nila. “Dua hari sebelum hari H, fitting lagi. Tapi harus diet. Nggak usah makan malam dulu selama seminggu ke depan.”“Jangan ngem
Seperti biasa, Nila berbelok menuju meja resepsionis ketika Rachel melambai dengan beberapa amplop di tangan. Namun, saat ia sampai di sana, wanita itu tidak langsung menyerahkan surat-surat tersebut seperti biasa. Rachel justru mencondongkan tubuh dan memberi tatapan menyelidik.“Harusnya aku sudah tahu kalau kamu dekat sama pak Djiwa.” Rachel berdecak pelan, menegakkan tubuh dengan perlahan. Namun, tatapannya terus saja tertuju pada Nila. “Tapi ... pak Gavin? Sejak kapan ibumu nikah sama pak Gavin? Sejak kapan kamu jadi saudaraan sama Mila? Apa acaranya tertutup? Private things? Ck! Percuma kontrak lima tahun, karena sekrednya diembat sendiri sama pemrednya.”Nila tertawa melihat wajah Rachel yang tampak geregetan sendiri. Namun, jika wanita itu tidak bicara, maka Nila tidak akan pernah tahu apa tanggapan orang-orang mengenai pernikahannya. Terutama dengan masalah Gavin.Ternyata, di mata banyak orang, Gavin dianggap sudah menikah dengan ibu Nila dan pernikahan tersebut dilakukan se
“Tante masih sakit hati sama papa?” tanya Mila ketika Kirana baru mendudukkan tubuh di tepi ranjang. Malam itu, Mila minta izin menginap di tempat Kirana dan ia memilih tidur bersama wanita itu daripada bersama Nila.“Tante nggak benci sama papamu.” Kirana membentangkan selimut, lalu membalut tubuh Mila lebih dulu. “Dulu mungkin iya. Tapi, makin ke sini rasanya makin capek, kalau Tante harus terus-terusan nyimpan rasa benci.”“Terus, gimana perasaan Tante sama papa?” tanya Mila kembali mengintrogasi. Hanya diselimuti saja, hati Mila sudah senang tidak terkira. Nila benar-benar beruntung karena memiliki seorang ibu yang perhatian seperti Kirana. Kirana tersenyum sembari membaringkan tubuh. “Ini sudah malam, ayo tidur.”“Tante pasti bisa ngerasa kalau papa itu sayang banget sama Tante,” ucap Mila belum menyerah dan tidak akan pernah mundur. “Nggak cuma sama Tante, tapi sama mbak Nila juga. Bohong kalau Tante nggak ngerasain itu.”“Mila ... semua itu nggak semudah yang dipikirkan.” Kir
“A-aku ...” Tatapan Kirana menyapu seluruh pandangan yang kini tertuju padanya. “Ini ... apa maksudnya?” Kirana terkekeh hambar sambil mengusap tengkuknya.Bukannya tidak tahu dengan maksud Gavin, tetapi, Kirana benar-benar syok menghadapi sebuah lamaran yang tidak pernah terduga. Terlebih, Gavin melakukannya di saat mereka mengadakan makan malam dengan keluarga Djiwa.“Pak Gavin ngelamar, Mama,” ucap Nila memperjelas. Ia tahu Kirana mengerti dengan maksud Gavin, mamanya hanya butuh waktu untuk memproses semuanya.Kirana menatap Nila, lalu beralih kembali pada Gavin yang masih memegang kotak cincin yang terbuka, dengan ekspresi penuh harap. Tenggorokannya mendadak terasa kering. Tangannya mengepal di pangkuan, berusaha menstabilkan perasaannya yang mendadak kacau.Kirana, benar-benar tidak siap.“Se-sekarang?” Suara Kirana bergetar, tidak yakin dengan perasaannya. “Ma-maksudku ...”Gavin mengangguk mantap, meskipun Kirana tidak meneruskan ucapannya. Ia mengerti, Kirana masih terkejut
“Apa terlalu maksa kalau aku minta mama sama papa juga ijab kabul?” bisik Mila saat berjalan bersama Nila menuju ballroom.“Buat mamaku ... iya.”“Mamaku juga,” sahut Mila tidak terima dengan ucapan Nila. Ia melihat ke belakang sekilas, menatap Gavin dan Kirana yang berjalan bersisian dengan wajah yang tampak bahagia.“Dasar anak kecil.” Nila tidak mengerti, mengapa Mila seolah sangat haus kasih sayang dari seorang ibu. Apakah gadis itu tidak pernah mendapatkan perhatian ibunya dahulu kala?“Biarin.” Mila merespons dengan santai. “Tapi, Mbak, PR-nya sekarang itu bikin mereka nikah secepatnya.“Kenapa harus cepat-cepat?”“Biar mama bisa pindah ke rumahku,” jawab Nila dan mereka masih berbicara dengan berbisik. “Kasihan, kan, kalau mama tinggal sendirian di apart kalau kamu sudah dibawa pak Djiwa ke rumahnya?”Ucapan Mila memang benar. Hal itu jugalah yang masih mengganggu pikiran Nila. Setelah ia menikah dengan Djiwa, Kirana otomatis akan tinggal seorang diri di apartemen.“Kita bahas
Setelah sesi foto keluarga selesai usai prosesi ijab, Mila dan yang lainnya menyingkir. Menyisakan Djiwa dan Nila yang sedang mengabadikan momen sakral setelah akad.“Tinggal resepsi,” ucap Atika ketika baru mendudukkan diri di kursi. “Di lihat dari tamunya, sepertinya besok saya langsung pijat.”Kirana tertawa kecil. “Sama seperti waktu Djiwa pertama kali nikah, ya, Bu.”“Hmm, beda.” Atika menggeleng. “Dulu, Djiwa belum jadi pemred, jadi undangannya nggak sebanyak ini. Belum lagi undangan Nila, yang pernah jadi reporter dan relasinya nggak dikit. Terus, pak Gavin.” Atika sontak menepuk dahi. “Saya lihat total undangannya kemarin, langsung nggak jadi pake high heels.”“Belum ditambah sama undangan kalian berdua,” ujar Gavin menunjuk besannya bergantian.Mila yang duduk di antara keempat orang itu, hanya memangku wajah dengan satu tangan. Tatapannya selalu tertuju pada orang yang sedang berbicara.Namun, ada satu hal yang sejak tadi selalu menggelitik pikirannya, sehingga mau tidak mau
“Tahu jalan ke kamar, kan?” goda Atika setelah resepsi dan sesi foto keluarga terakhir selesai.Nila yang sedang merapikan gaun setelah sesi foto, sontak menghentikan gerakannya. Wajahnya langsung memerah dan buru-buru menunduk untuk menyembunyikan rona di pipinya.“Oia, Mama juga sudah pesankan snack untuk di kamar,” sambung Atika. “Siapa tahu tengah malam laper, kan?”“Tik, sudah, Tik,” sahut Gavin dengan kekehannya. “Kasihan Djiwa. Nggak usah lagi ajak mereka ngobrol,” ucapnya sembari mengibas tangan pada sang menantu. “Pergilah sana, pergi.”“Buruan buatin keponakan,” celetuk Mila yang sejak tadi bergelendot manja di lengan Kirana. Ia benar-benar berniat “mengambil” Kirana hanya untuk dirinya seorang, setelah Djiwa membawa Nila.“Apa, sih!” Nila langsung melotot pada Mila. Gadis itu, ternyata memang suka mencari huru hara dengannya.“Besok kalau capek, nggak usah ikut sarapan di resto,” lanjut Mila masih ingin menggoda Nila, yang wajahnya sudah bersemu tidak karuan. “Room service a
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur
“Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad
“Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan