“Mama!” Nila keluar kamar dengan gelisah. Berdiri di depan televisi, menghalangi pandangan Kirana yang sedang menonton. “Coba lihat,” pintanya lalu memutar tubuh dengan perlahan sambil merentangkan kedua tangan. “Beneran, ya! Bajunya cocok? Nggak norak, nggak berlebihan?”Kirana mengangguk, menyimpan tawa yang sebenarnya hendak menyembur ketika melihat tingkah putrinya.“Perfect!” ucapnya dengan mengacungkan kedua ibu jari ke arah Nila. “Sekarang minggir dari sana, Mama mau nonton.”“Kalau rambutku?” tanya Nila kembali berputar di depan sang mama. “Kalau aku ikat separuh gini, nggak papa, kan? Atau dicepol aja, kayak ke kantor?”“Begitu aja.”“Make up-ku?” Nila berjalan cepat menghampiri Kirana, lalu duduk di sebelahnya. “Lipstiknya nggak ngejreng, kan? Terus, eyeliner-nya juga nggak ketebelan, kan?”Kirana menoleh dengan mulut yang ternganga untuk beberapa saat. “Sempurna!”“Aih, Mama aku serius!” Nila kembali berdiri. “Harusnya, aku ambil baju yang modelnya sama kayak Mila tadi. Kay
“Kamu pinjam pak Darius tanpa sepengetahuan dan izin Papa siang tadi.” Gavin langsung melempar protes, ketika Mila baru membuka pintu kamar.“Aku sudah minta izin mau ke mall,” ucap Mila tetap memasang wajah ngambeknya di depan Gavin.“Papa sedang bicara tentang pak Darius.”“Kan, ada pak Tejo yang gantiin,” protes Mila sambil mengerucutkan bibir. “Kalau aku nungguin pak Tejo nyampe, yang ada temanku nunggunya makin lama.”“Tapi kamu nggak bisa seenaknya begitu, Mila.”“Papa mau marah?” tanya Mila bernada kesal.“Papa nggak marah,” ucap Gavin menurunkan intonasi bicaranya. “Papa cuma ... jangan diulangi lagi. Paham?”“Paham.” Mila baru mau menutup pintu kamarnya, tetapi tangan Gavin mencegahnya. “Apa lagi, Pa?”“Kamu pergi ke mall dengan Nila dan ibunya.”“Nggak.” Mila menggeleng untuk mempertahankan kebohongannya. Kenapa papanya tiba-tiba bertanya seperti itu? “Aku pergi sama teman.”“Mila, pak Darius tahu dengan bu Kirana,” ucap Gavin yang juga menggeleng setelah mendengar kebohongan
“Kenapa jadi Mama yang gugup?” Atika mondar mandir di ruang tamu. Tidak sabar menunggu Djiwa yang akan membawa calon menantunya datang malam ini.“Duduk, Ma,” ujar Irsyad kembali memberi titah yang sama.Berbeda dengan istrinya yang tampak tegang, Irsyad justru lebih santai. Ia duduk bersandar di sofa, sambil melihat isi dari media sosialnya.“Mama bingung, kenapa Djiwa nggak mau ngasih tahu nama sama identitasnya?” Atika berhenti sebentar, lalu kembali mondar mandir di depan sang suami. “Apa kita kenal? Sebentar, siapa teman kantornya yang kita tahu?”“Papa cuma kenal Rachel, anak resepsioni yang selalu nyambut Papa kalau ke sana,” terang Irsyad masih sibuk dengan ponselnya. “Tapi, Rachel sudah nikah karena Papa tahu dia pernah hamil.”Atika berdecak. “Kalau perempuan cantik aja, ingatannya lancar.”Irsyad memilih diam, daripada harus menerima sindiran lebih panjang lagi dari istrinya. Beruntung, ia mendengar suara pagar yang terbuka, jadi masalah tidak akan semakin panjang.“Itu Dji
“Ke rumah besok pagi, karena ada yang mau Mama omongin,” titah Atika dengan suara pelan, agar Nila yang sedang berada di dapur tidak mendengarnya.“Ada masalah?” tanya Djiwa tidak jadi berdiri dari tempatnya untuk menyusul Nila.“Pokoknya Mama mau bicara, besok,” ujar Atika tidak ingin dibantah.“Oke.” Karena Atika tidak mau membahasnya malam ini, maka Djiwa akhirnya beranjak pergi. Menghampiri Nila yang berada di dapur seorang diri. “Bisa pakenya?”“Bisa.” Nila meletakkan piring dan gelas kotor ke dalam mesin pencuci piring. “Waktu masih tinggal di apartemen yang lama, kami punya dishwasher. Mereknya sama.”“Apartemen lama?” tanya Djiwa sambil mengambil sabun khusus cuci piring yang berada di bawah wastafel, lalu menyerahkannya pada Nila. “Jadi, sebelum tinggal di tempat yang sekarang, kamu pernah tinggal di apartemen lain?”“Iya,” ujar Nila memasukkan sabun tersebut ke tempatnya, lalu menutup pintu mesin dan menyalakannya. “Apartemen yang lama kamarnya tiga, karena ada kakek sama nen
“Sore minggu depan, ya.” Kirana harus memikirkan beberapa hal lebih dulu, perihal pertemuan dua keluarga yang diusulkan oleh orang tua Djiwa. “Kamu sudah yakin mau nikah sama pak Djiwa.”“Jangan manggil pak lagi, Ma,” pinta Nila segera meluruskn. “Bu Atika mintanya gitu. Tapi sabtu, bukan hari minggunya.”“Tapi kamu sudah yakin?” tanya Kirana sambil mengangkat telur dadar yang baru selesai ia goreng. Meniriskannya lebih dulu di oil pot. “Maksud Mama, kamu baru putus sama Arif, tapi sekarang justru mau nikah sama Djiwa.”“Yaaa ... mas Djiwa baik,” ucap Nila sambil memotong-motong puding buah yang dibawa Djiwa kemarin sore. “Di kantor juga nggak banyak macam. Orangnya lurus-lurus aja.”Seingat Nila memang seperti itu. Ia hampir tidak pernah mendengar gosip aneh mengenai Djiwa terkait perempuan.“Siap lahir batin?” tanya Kirana sambil kembali menuang kocokan telur ke dalam wajan panas dan suara desisnya langsung memenuhi dapur kecil itu.“Emm... siap, sih,” jawab Nila sambil mengunyah ma
“Pagi, La,” sapa Djiwa lebih dulu dan berhenti di sudut meja gadis itu.“Pagi, Pak Djiwa,” balas Nila tetap mempertahankan sikap formalnya, senyum kecil di wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang menyelinap.“Jadi, kalau kalau di kantor panggilannya balik ke setelan awal.” Djiwa menahan senyum agar tetap terlihat formal seperti biasa. Ternyata, menjalin hubungan diam-diam seperti sekarang memiliki tantangan tersendiri.“Iya,” jawab Nila sambil meringis kecil. “Biar orang-orang nggak bikin gosip.”“Oke, nggak papa.” Telunjuk Djiwa mengetuk sudut meja Nila sambil melihat ke sekitar. Hanya untuk melihat, siapa saja yang pagi ini sudah ada di lantai redaksi. “Gimana ibumu? Sabtu sore jadi, kan?”“Jadi.”“Oke ...” Djiwa melepas napas lega. Semua rencana hampir menuju sempurna. Tinggal menunggu sabtu sore datang, kemudian langkah selanjutnya bisa dijalankan. Yakni, mempersiapkan acara pernikahan mereka. “Karena pertemuannya sore, bisa paginya ikut saya sebentar? Kita naik motor
“Kenapa kamu masuk dari depan, Mbak?” tanya Mila berbelok menghampiri Nila, yang masuk dari pintu utama lobi. Tidak langsung pergi menuju lift.“Aku naik ojek.”“Motormu kenapa?” Mila melihat ke sekitar, memastikan Djiwa tidak berada di lobi.“Lagi capek bawa motor,” ujar Nila beralasan. Ia berbelok ke meja resepsionis, karena Rachel baru melambai dengan tangan memegang setumpuk amplop.“Kalau gitu nanti pulang sama aku aja, ya,” ujar Mila mengikuti langkah Nila. Ia bisa sekalian mampir ke apartemen gadis itu dan bertemu Kirana.Nila tersenyum dan menggeleng. “Aku ... sebenarnya aku sudah ada janji sama teman. Makanya nggak bawa motor.”“Teman apa teman?” Rachel berceletuk dengan nada menggoda.“Dijemput pacar barumu, ya, Mbak?” sahut Mila menimpali. “Atau balikan sama yang kemarin?”“Astaga, kalian ini apa nggak punya kerjaan?” Nila geleng-geleng sambil melihat surat yang diserahkan Rachel, satu per satu dengan cepat. “Pagi-pagi sudah—”“Pagi.”“Pagi, Pak Gavin,” sapa Rachel lebih du
“Jaaadi, kenapa kami tiba-tiba diundang makan siang di hari kerja yang sibuk seperti sekarang?” Atika melihat buku menu, tetapi segera menutupnya. Ia lebih memilih menatap pelayan yang berdiri di sampingnya, lalu bertanya, “Mbak, apa yang paling mahal di sini?”“Serius, Ma?” tanya Irsyad melihat sang istri dan masih memegang buku menunya.“Serius dong,” jawab Atika lalu menatap sinis pada Gavin, tetapi dalam mode bercanda. “Dia belum ngajak kita makan-makan sejak jadi dirut di Warta. Betul, kan, Vin?”“Terserahmulah, Tik.” Gavin tidak mau ambil pusing dengan urusan menu yang akan dipesan Atika. “Pesanlah dulu. Setelah itu ada yang mau aku bicarakan sama kalian.”Tidak mau didera rasa penasaran yang berlarut-larut, Atika pun segera memesan menu makanan untuknya dan Irsyad sekaligus.“Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Atika setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi menjauh. “Sampai-sampai kami berdua diundang makan siang di sini?”“Sudah dapat izin dari Mila untuk nikah?
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur
“Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad
“Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan