“Jangan mentang-mentang Papa dirut di sini, Papa bisa manggil aku seenaknya ke sini.” Mila menutup pintu lalu menghampiri meja Gavin.“Justru karena Papa dirut di sini, Papa bisa manggil kamu kapan pun Papa mau,” balas Gavin lalu mempersilakan putrinya duduk di sofa, karena ia sedang berjalan ke sana. “Kamu nggak mau bicara kalau di rumah dan memilih ‘sembunyi’ di kamar.”Bibir Mila mengerucut. Menghentakkan kakinya saat berbalik dan berjalan menghampiri papanya. Duduk pada sofa panjang yang sama dan memberi jarak.“Tapi ini jam makan siang,” keluh Mila masih memajukan bibir. “Aku laper.”“Papa tahu kamu masih marah, tapi ada yang harus Papa sampaikan.” Gavin mulai serius dan sedikit memangkas jaraknya dengan Mila.“Apa lagi sekarang?” Mila mulai curiga, jika Gavin kembali menyembunyikan sesuatu yang besar. “Papa punya anak lain lagi.”“Nggak Mila,” sanggah Gavin cepat. Apa pemikiran Mila padanya sampai seburuk itu?“Terus apa?”“Papa ...” Gavin berusaha tersenyum, tetapi sangat sulit
Nila terbatuk. Tersedak jeruk hangat yang baru diminumnya, setelah mendengar ucapan Djiwa. Yang lebih membuatnya tidak habis pikir ialah, pria itu tetap bertahan dengan ekspresi seriusnya.Tidak ada tatapan atau senyum hangat penuh cinta, yang bisa membuat Nila percaya dengan perkataan pria itu. “Bapak becanda?” tanya Nila meletakkan kembali gelasnya.Djiwa menggeleng pelan dan tegas. “Saya serius.”“Bapak mau nikah sama saya?”“Ya.”Nila berdehem. Bahkan sengaja batuk, untuk melegakan tenggorokannya. Situasi yang terjadi benar-benar di luar dugaan. “Saya bukan mau nolak Bapak,” ucapnya canggung, serba salah, dan salah tingkah. “Tapi, Bapak tahu sendiri kalau saya sudah memutuskan untuk nggak nikah. Lagian, nikah itu butuh cinta. Dan kita?”“Cinta bisa datang karena terbiasa,” ujar Djiwa tetap tenang dan belum menyentuh makanannya sama sekali. “Dan cinta juga bisa pudar karena terlalu sering diabaikan. Pernikahan memang butuh cinta, tapi, cinta saja nggak akan cukup untuk mempertahan
“Sibuk?” Djiwa bertanya setelah mengetuk pintu ruang kerja Atika yang terbuka. Wanita itu sedang serius menatap laptop, dengan kacamata yang tergantung di pangkal hidung. “Meeting?”Atika mengibaskan tangan. “Cuma balasin chat grup. Kenapa?”“Aku mau bicara sebentar,” ucap Djiwa masih berdiri di bibir pintu. “Papa di mana?”Atika melepas kacamatanya. Jika Djiwa ingin bicara dengan dirinya dan Irsyad, itu artinya ada hal penting yang akan disampaikan.“Sama burungnya di belakang,” ucap Atika kemudian beranjak pelan. “Kita bicara di sini? Atau di belakang?”"Di sini.” Djiwa mengarahkan telunjuknya ke arah belakang, bersiap melangkah. “Biar aku panggil—”“Biar Mama aja,” potong Atika, segera melewati Djiwa dengan langkah cepat. “Tunggulah di dalam. Mama sekalian ambil air di dapur.”Atika tidak menoleh lagi, tetapi langkahnya berubah lebih pelan begitu berbelok ke dapur dan menuju teras belakang. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh rasa penasaran.Masalah apa yang ingin disamp
“Saya jemput jam lima sabtu nanti,” ucap Djiwa sembari berjalan memasuki lobi bersama Nila. “Jadi, kamu bisa siap-siap sebelum itu.”“Jam lima itu masih terlalu sore.”“Saya harus bicara dengan ibumu dulu, kan?”“Ohh ... iya juga,” jawab Nila semakin serba salah.Namun, Nila bertanya-tanya, kenapa ia tidak langsung menolak ajakan Djiwa?Padahal, hal itu bisa dengan mudah Nila lakukan. Tidak perlu pergi makan malam dan masalah selesai. Nila, menolak Djiwa.Seharusnya itulah yang terjadi, bukan sebaliknya. Nila justru tidak menolak diajak makan malam dan terjebak dengan perasaan yang membingungkan.“Tapi, Pak ...” Nila mengusap tengkuknya. Mulai merasa skeptis dengan makan malam tersebut, karena khawatir dengan respons orang tua Djiwa. “Gimana kalau orang tua Bapak tahu, kalau saya ... saya—”“Mereka sudah tahu semuanya,” potong Djiwa sambil menekan tombol lift, lalu menunggu di samping Nila. “Jadi, nggak usah pikirkan masalah itu. Kamu diterima dengan tangan terbuka.”Nila reflek menye
“Mama!” Nila keluar kamar dengan gelisah. Berdiri di depan televisi, menghalangi pandangan Kirana yang sedang menonton. “Coba lihat,” pintanya lalu memutar tubuh dengan perlahan sambil merentangkan kedua tangan. “Beneran, ya! Bajunya cocok? Nggak norak, nggak berlebihan?”Kirana mengangguk, menyimpan tawa yang sebenarnya hendak menyembur ketika melihat tingkah putrinya.“Perfect!” ucapnya dengan mengacungkan kedua ibu jari ke arah Nila. “Sekarang minggir dari sana, Mama mau nonton.”“Kalau rambutku?” tanya Nila kembali berputar di depan sang mama. “Kalau aku ikat separuh gini, nggak papa, kan? Atau dicepol aja, kayak ke kantor?”“Begitu aja.”“Make up-ku?” Nila berjalan cepat menghampiri Kirana, lalu duduk di sebelahnya. “Lipstiknya nggak ngejreng, kan? Terus, eyeliner-nya juga nggak ketebelan, kan?”Kirana menoleh dengan mulut yang ternganga untuk beberapa saat. “Sempurna!”“Aih, Mama aku serius!” Nila kembali berdiri. “Harusnya, aku ambil baju yang modelnya sama kayak Mila tadi. Kay
“Kamu pinjam pak Darius tanpa sepengetahuan dan izin Papa siang tadi.” Gavin langsung melempar protes, ketika Mila baru membuka pintu kamar.“Aku sudah minta izin mau ke mall,” ucap Mila tetap memasang wajah ngambeknya di depan Gavin.“Papa sedang bicara tentang pak Darius.”“Kan, ada pak Tejo yang gantiin,” protes Mila sambil mengerucutkan bibir. “Kalau aku nungguin pak Tejo nyampe, yang ada temanku nunggunya makin lama.”“Tapi kamu nggak bisa seenaknya begitu, Mila.”“Papa mau marah?” tanya Mila bernada kesal.“Papa nggak marah,” ucap Gavin menurunkan intonasi bicaranya. “Papa cuma ... jangan diulangi lagi. Paham?”“Paham.” Mila baru mau menutup pintu kamarnya, tetapi tangan Gavin mencegahnya. “Apa lagi, Pa?”“Kamu pergi ke mall dengan Nila dan ibunya.”“Nggak.” Mila menggeleng untuk mempertahankan kebohongannya. Kenapa papanya tiba-tiba bertanya seperti itu? “Aku pergi sama teman.”“Mila, pak Darius tahu dengan bu Kirana,” ucap Gavin yang juga menggeleng setelah mendengar kebohongan
“Kenapa jadi Mama yang gugup?” Atika mondar mandir di ruang tamu. Tidak sabar menunggu Djiwa yang akan membawa calon menantunya datang malam ini.“Duduk, Ma,” ujar Irsyad kembali memberi titah yang sama.Berbeda dengan istrinya yang tampak tegang, Irsyad justru lebih santai. Ia duduk bersandar di sofa, sambil melihat isi dari media sosialnya.“Mama bingung, kenapa Djiwa nggak mau ngasih tahu nama sama identitasnya?” Atika berhenti sebentar, lalu kembali mondar mandir di depan sang suami. “Apa kita kenal? Sebentar, siapa teman kantornya yang kita tahu?”“Papa cuma kenal Rachel, anak resepsioni yang selalu nyambut Papa kalau ke sana,” terang Irsyad masih sibuk dengan ponselnya. “Tapi, Rachel sudah nikah karena Papa tahu dia pernah hamil.”Atika berdecak. “Kalau perempuan cantik aja, ingatannya lancar.”Irsyad memilih diam, daripada harus menerima sindiran lebih panjang lagi dari istrinya. Beruntung, ia mendengar suara pagar yang terbuka, jadi masalah tidak akan semakin panjang.“Itu Dji
“Ke rumah besok pagi, karena ada yang mau Mama omongin,” titah Atika dengan suara pelan, agar Nila yang sedang berada di dapur tidak mendengarnya.“Ada masalah?” tanya Djiwa tidak jadi berdiri dari tempatnya untuk menyusul Nila.“Pokoknya Mama mau bicara, besok,” ujar Atika tidak ingin dibantah.“Oke.” Karena Atika tidak mau membahasnya malam ini, maka Djiwa akhirnya beranjak pergi. Menghampiri Nila yang berada di dapur seorang diri. “Bisa pakenya?”“Bisa.” Nila meletakkan piring dan gelas kotor ke dalam mesin pencuci piring. “Waktu masih tinggal di apartemen yang lama, kami punya dishwasher. Mereknya sama.”“Apartemen lama?” tanya Djiwa sambil mengambil sabun khusus cuci piring yang berada di bawah wastafel, lalu menyerahkannya pada Nila. “Jadi, sebelum tinggal di tempat yang sekarang, kamu pernah tinggal di apartemen lain?”“Iya,” ujar Nila memasukkan sabun tersebut ke tempatnya, lalu menutup pintu mesin dan menyalakannya. “Apartemen yang lama kamarnya tiga, karena ada kakek sama nen
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur
“Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad
“Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan