"Nin, sedang apa kamu?" Tau-tau Mas Elang sudah keluar dari kamar mandi. Sementara aku masih sibuk dengan pikiran sendiri, mengamati lelaki yang saat ini tengah berjalan ke arahku, sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Dalam hati ada keinginan bertanya kenapa kemeja yang baru saja dipakainya bau minyak wangi perempuan.
"Jujur saja, Mas itu wangi parfum di bajumu milik siapa?" Akan tetapi, kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan."Nin?" Mas Elang mengibaskan tangannya di depan wajah, membuatku langsung mengerjap, dan tersadar dari lamunan."Ah iya. Ada apa, Mas?""Kamu lagi ngapain? Dari tadi, Mas tanya malah bengong.""Eh, masa sih. Enggak kok aku gak lagi ngapa-ngapain," jawabku. Lalu, langsung berjalan ke arah pojok kamar, menaruh pakaian kotor milik Mas Elang. "Apa, Mas mau makan?""Mas masih kenyang, tadi di kantor di bawain teman makan."Aku mengangguk. "Oh gitu? Temanmu pasti baik banget ya, sampai bawain makanan segala.""Eum ... E-enggak juga sih. Katanya kebetulan lagi masak banyak.""Temannya laki-laki apa perempuan?"Mendengar pertanyaanku Mas Elang langsung terlihat salah tingkah. "Eum ... Kamu kenapa nanya gitu?" Mas Elang malah balik bertanya."Gak apa-apa sih, cuma penasaran aja.""Udahlah gak perlu dibahas lagi, gak penting juga. Lebih baik kita tidur aja!" Mas Elang langsung menarik tubuhku ke dalam dekapannya. "Memangnya itu kopi gak mau diminum dulu?" "Minum kopinya nanti aja, kamu gak kangen sama, Mas?" Mas Elang berhasil mengalihkan pembicaraan, sebagai istri aku mengalah. Melihat sikap manisnya, kupikir tidak mungkin juga Mas Elang bermain dengan wanita lain.***"Lang, hari ini kamu gajian, 'kan? Kamu gak lupakan pembahasan kita kemarin, kalau mulai sekarang Mama yang pegang gaji kamu," ucap Mama saat kami tengah sarapan bersama."Iya Ma, Elang gak lupa," jawab Mas Elang yang seketika menerbitkan binar di mata Mama. Perempuan yang usianya sudah berkepala lima itu, langsung tersenyum lebar."Kak Elang juga gak lupakan dengan janji kakak, habis gajian mau beliin Iza sepatu?" Iza bertanya. Lalu, menyendokkan bubur ayamnya ke mulut."Enggak. Kakak ingat kok. Memangnya harga sepatunya berapa?" tanya Mas Elang."Gak mahal kok Kak. Cuma 250 ribu aja," jawab Iza santai. Lalu, tersenyum lebar."Iya, Mama juga kemarin lihat baju warnanya bagus banget," timpal Mama.Saat ini di meja makan, mereka sibuk membahas keuangan. Mereka belum tahu saja pengeluaran selama ini. Tapi, aku hanya diam mendengarkan rencana yang akan mereka lakukan saat Mas Elang gajian nanti."Kamu kenapa dari tadi diam aja, kamu enggak keberatan 'kan kalau Mama yang pegang uangnya?" Mama bertanya padaku melihat aku yang sejak tadi hanya diam."Enggak kok, Ma. Aku gak ada masalah," jawabku."Ya baguslah kalau begitu," balas Mama."Kak, kalau aku juga mau beli tas boleh gak?" tanya Iza. "Soalnya kemarin aku juga lihat ada tas yang aku suka, harganya cuma 150 ribu kalau gak salah," terangnya."Kalau ada uangnya kalian atur aja," balas Mas Elang."Yeay, Mbak Hanin jangan iri ya!" ucap Iza sambil mengembangkan senyum. Senyum membanggakan diri."Mbak gak iri. Tapi, sebelum beli keperluan kalian aku cuma mau bilang untuk membayar cicilan bulanan selama ini," terangku."Alah paling berapa?" ucap Iza menyepelekan."Lihat aja nanti," balasku."Ya udah, aku berangkat dulu!" ucap Iza kemudian. Lalu, beranjak dari tempat duduknya."Lho gak sekalian bareng sama kakakmu?" tanya Mama heran."Ah, nunggu Kak Elang lama. Iza hari ini ada ulangan." Iza pun langsung menyalami kami. Lalu, kembali berpamitan.Selang beberapa saat, Mas Elang pun berangkat kerja. Aku mengantarnya ke depan."Mas berangkat dulu!" Aku mengangguk dan menyambut tangannya. Lalu, menciumnya dengan takzim.Mas Elang pun langsung masuk ke mobil. Mobil itu baru di beli Mas Elang beberapa bulan yang lalu dari teman yang kebetulan tidak terpakai, meski second bodynya masih bagus dan hanya perlu di servis sedikit.Jam terus bergerak ke kanan, dan hari sudah hampir sore, aku melihat pada jam yang menempel di dinding yang tengah menunjukkan pada angka 15 lebih 20. Tapi, Mama yang pergi sebelum azan Zuhur tadi belum juga pulang. Bukannya, tadi dia bilang mau pergi sebentar? Bahkan Iza yang biasanya sudah pulang sekolah pun belum menampakkan batang hidungnya.Entah kemana mereka?Walau bagaimana pun ada perasaan khawatir. Ah, sebaiknya aku mandi saja dulu, usai masak untuk makan malam, badan terasa lengket karena keringat, dan bercampur aroma masakan. Kalau Ashar masih belum juga pulang aku akan menghubungi mereka, atau memberitahu Mas Elang. Aku pun lekas menuju kamar, dan mengajak Kinara untuk mandi. Gadis kecil itu nampak bersemangat saat kuajak untuk mandi, cuaca hari ini memang lumayan panas. Jadi, pantas saja kalau membuat gerah."Ara, ayo mandi!""Yeay," Ara melompat girang, alat masak-masakan yang sejak tadi jadi teman mainnya langsung di tinggal begitu saja. Lalu, meraih boneka yang ada di sampingnya."Ma, dek ayina au andi uga," sambungnya, dengan gaya bahasa khas anak kecil.Aku tersenyum, melihat tingkahnya yang selalu menggemaskan. Lalu, mengangguk membuat tubuh kecilnya semakin berlonjak kegirangan.Aku dan Kinara pun segera masuk ke kamar mandi, menikmati guyuran dan aroma sabun yang membuat tubuh terasa lebih segar.Usai mandi dan berganti pakaian, aku menunaikan 4 rakaat, Ara kubiarkan duduk di sampingkiri. Lalu, kupasangakan mukena dan sejadah. Setelahnya baru mengajaknya keluar kamar. Begitu mencapai ruang tamu aku melihat Mama dan Iza sudah duduk di kursi ruang tamu dengan berbagai belanjaan."Mama sama Iza kapan pulangnya?" tanyaku."Eh, ada Mbak Hanin. Coba lihat sepatunya bagus gak, Mbak?" Bukannya menjawab gadis yang masih menggunakan seragam putih-abu itu langsung menunjukkan sepatu yang baru saja dibelinya."Iya, bagus," jawabku singkat."Ya iyalah, siapa dulu yang pilih," lanjutnya seolah tengah membanggakan diri.Mama pun terlihat sibuk dengan barang belanjaannya. "Cucu Oma sudah cantik, sini Sayang Oma punya sesuatu buat Ara." Mama mengajak Ara untuk duduk di sebelahnya. Lalu, mengeluarkan sesuatu dari plastik, dan ternyata mainan. Tentu saja, Ara langsung terlihat senang menerima hadiah dari Mama.Entah dari mana mereka bisa membeli ini semua? apa Mas Elang sudah transfer langsung ke rekening Mama, atau gaji pensiunan Papa?Tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil memasuki halaman, dan berhenti."Hanin, ngapain kamu masih di situ?" Ucapan Mama menarikku ke alam sadar. "Suami pulang bukannya disambut malah bengong," sambung Mama.Aku pun langsung melihat ke arah pintu, dan bergegas menyambut Mas Elang, mengambil tas kerjanya. Begitu melihat sang Papa pulang, Ara langsung berlari, memamerkan mainan yang baru saja di dapatnya, kemudian kedua tangannya terangkat ke atas meminta naik ke gendongan. "Duh anak Papa udah wangi," ucap Mas Elang setelah meraih tubuh Ara. Lalu, memberinya sebuah kecupan dikedua pipinya. Kemudian duduk bersama Mama dan Iza. "Makasih lho Lang, Mama dan Iza akhirnya bisa beli barangnya," ucap Mama senang."Eum ... Jadi, Mas udah gajian?" tanyaku penasaran mendengar ucapan Mama."Kamu ini suami baru pulang malah nanyain gaji, bukannya ngambilin minum kek, apa kek. Cepat sana ambilin minum!" Akhirnya aku menurut, dan mengambil minumnya ke dapur."Ini, Mas diminum dulu!" ucapku setelah kembali dari dapur. Lalu, menyerahkannya ke Mas Elang. Mas Elang pun langsung mengambilnya, dan meminumnya hingga setengah.Aku masih penasaran, menunggu jawaban dari Mas Elang apa benar dia sudah gajian, dan mentransfernya ke Mama? Bukan apa, sebab Mama harus tau apa saja yang harus dibayar."Jadi bener, Mas udah gajian?" Aku kembali bertanya."Iya, semuanya udah Mas transfer ke Mama," jawab Mas Elang santai.Aku tidak lagi menjawab. Lalu, berlalu ke kamar mengambil beberapa catatan yang harus dibayar oleh Mama."Maaf, Ma karena sekarang Mama yang pegang uang. Jadi, semua catatan pembayaran bulan selama ini aku serahkan ke Mama," ucapku lembut dan sopan seolah tengah memberikan sebuah jabatan.Mama langsung mengambilnya dengan wajah tak suka. "Paling juga berapa?" ucap Mama menyepelekan. Lalu, mulai meneliti satu persatu catatan tersebut."Ha apaan ini?" Mata Mama membulat tak percaya saat melihat catatan hutang yang harus dibayar.Bersambung ..."Apa-apaan tagihan listrik bisa sampai segitu?" Mama berseru penuh emosi begitu pulang ke rumah, wajahnya langsung terlihat kesal.Aku yang tengah menyapu di teras depan langsung menghentikan aktifitas."Ada apa, Ma?""Masa iya tagihan listrik hampir satu juta? WIFi lima ratus ribu, belum lagi tagihan sofa yang kemarin kamu beli 750 ribu," keluh Mama."Harusnya berapa, Ma? Biasanya aku juga bayarnya segitu kok," jawabku."Kalau kayak gini bisa tekor, Mama. Elang kasih uang buat kamu?" Aku menggeleng. "Kan, uangnya sudah Mas Elang kasih sama Mama semua.""Ya sudahlah." Wajah Mama semakin terlihat kesal. Pasalnya selama ini mereka hanya taunya ada, dan kebutuhan terpenuhi. Tidak peduli dengan cicilan yang harus segera di bayar.Mama pun berlalu masuk ke rumah. Sementara aku melanjutkan menyapu teras. Biar saja, Mama yang katanya mau mengurus keuangan, aku tak peduli toh yang penting, Mas Elang masih memberi jatah untuk jajan Kinara.Usai menyapu di depan, aku kembali masuk. Mengerjakan
"Mama sama Iza kenapa kok kayak lesu gitu, udah makan?" Mas Elang yang baru saja masuk ke rumah langsung bertanya.Mama menggeleng lemah, begitu pun Iza wajah mereka bahkan terlihat pucat."Nin mereka kenapa?" "Aku juga gak tahu, Mas.""Masa kamu juga gak tahu? Bukannya kamu sejak tadi di rumah?""Iya. Tapi, tadi sebelum makan siang baik-baik aja." Aku pun bingung, entah apa yang sebenarnya terjadi."Ya udah Mama sama Iza makan dulu! Ini Elang bawain makanan kesukaan kalian." Tak seperti biasanya Mama nampak tak bersemangat, begitu pun Iza.Aku melangkah mendekat meraih tubuh Mama, yang terasa dingin."Mama sakit, kita pergi ke rumah sakit aja ya!" bujukku.Mama menggeleng. "Mama cuma sakit perut. Sepertinya salah makan." Mama akhirnya bicara."Memangnya Mama sama Iza habis makan apa?" tanya Mas Elang."Cuma makan nasi sama ayam bakar aja," jawab Mama."Bukannya Mama udah biasa makan itu?" tanyaku heran. Pasalnya, kalau lagi malas makan Mama suka beli makanan di rumah makan langganan
"Nin ada makanan apa?" Tau-tau Mama sudah berdiri di belakangku membuatku terlonjak kaget."Mama? Mama udah sehat?" Aku bertanya balik."Udah mendingan, sekarang Mama laper." Mama langsung duduk di meja makan."Aku belum masak, Ma. Bahan di kulkas hanya tinggal daging ayam sepaha," jawabku."Ya sudah, kamu beli saja dulu bahannya. Ini uangnya!" Mama mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah. "Kamu atur saja, kalau bisa bisa buat dua Minggu ke depan." ucap Mama.Kalau mau makannya sederhana mungkin bisa saja. Tapi, setiap hari harus ganti menu dan ada daging."Ya sudah aku ke warung dulu!""Emmm," jawab Mama singkat.Sambil berjalan aku membalas pesan yang tadi dikirim Vania. Tadi, Mama keburu datang jadi aku belum sempat membalasnya. Rencananya hari ini Vania ngajak ketemuan, selain membahas soal info pekerjaan yang kemarin kutanyakan, kami juga sudah lama tidak bertemu. Anggap saja sebagai reuni.Setelah ngobrol sama Vania lewat chat aku menyudahi topik pembicaraan, dan akan ketem
Saat menyadari keberadaanku, perempuan dengan kemeja putih yang dipadukan rok span itu langsung memindaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu berganti menatap ke Ara."Maaf Ibu siapa, dan ada perlu apa? Kalau mau minta sumbangan, bukan di sini tempatnya." Perempuan dengan warna rambut pirang, dan memiliki wajah cantik itu bertanya dengan nada merendahkan.Entah, apa maksudnya? Apa aku terlihat seperti pengemis? Kuakui wajahnya memang cantik, tapi tak secantik kalimat yang baru saja keluar dari bibir merahnya."Maaf saya bukan pengemis!" Aku menekan pada kalimat terakhir. "Saya kesini mencari Mas Elang," lanjutku."Ada perlu apa ibu mencari Pak Elang? Kalau memang ada yang penting katakan saja, nanti akan saya sampaikan! Pak Elang sibuk tidak bisa diganggu," ucapnya ketus. Tangannya terlipat di dada.Aku langsung menarik napas dalam. Lalu, membuangnya dengan masygul. Marah? Ingin sekali rasanya. Tapi, kutahan. Entah menjabat dibagian apa perempuan ini hingga bisa berkata begitu.
"Pak ini berkas untuk meeting pagi ini, dan perlu Bapak tanda tangani," ucap seketarisku."Oh iya, taruh saja di situ!"Namaku Elang Dirgantara seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran.Aku memiliki seorang istri bernama Hanindia, biasa di sapa Hanin, dan juga Puteri cantik yang kuberi nama Kinara. Selain itu aku juga masih punya tanggungan, Mama dan adikku-Fariza. Sementara Papa sudah lama meninggal.Sebelum menikah, Hanin adalah seorang perempuan yang cantik, dan bekerja di sebuah media cetak sebagai editor. Hanin adalah tipe penyanyang keluarga dan sangat menghormati orang tua.Kami pertama kali bertemu di sebuah acara pernikahan teman, saat itu dia tak sengaja menabrakku dan tak sengaja menumpahkan air digelasnya kebajuku. Seperti sinetron memang. Tapi, ya begitulah pertemuan kami. Sejak itu kami sering bertemu, dan akhirnya memilih untuk melanjutkan ke hubungan serius.Dalam bayanganku tak salah jika aku memilihnya sebagai istri, dia pastinya akan me
"Iya juga sih." Akhirnya setelah sejenak terdiam Vania kembali bersuara. "Aku salut sama prinsip kamu, Nin ... Nanti kalau sudah nikah dan punya anak, sebisa mungkin aku juga gak mau menyuruh mertua atau orang tua buat ngasuh lagi. Sebagai anak, saat mereka di usia senja sudah sepatutnya kita membahagiakan. Kalau tak bisa memberi setidaknya jangan merepotkan," balas Vania."Nah itu dia, walau sebenarnya aku masih numpang tinggal di mertua," jawabku. Lalu, tertawa sumbang. "Ya mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan," lanjutku."Ya setiap orang jalan pernikahnnya beda-beda. Sebenarnya setelah menikah, tidak ada anak yang mau menyusahkan orang tuanya lagi. kecuali, anak yang tak tau diri," balas Vania. Lalu, tertawa. "Eh ...BTW kalau gitu, kenapa kenapa kamu gak bayar baby sitter aja?" "Aku mana ada duit buat bayar baby sitter," jawabku jujur. Lalu, kembali mengambil sepotong kentang goreng. Setelahnya di dada terasa sesak, sementara di mata terasa ada yang memaksa untuk ke lua
Aku pun segera bersiap untuk menyusul Mas Elang, Mama juga Iza. Kenapa mereka tak ada keinginan mengajakku, bukannya aku ini juga bagian dari keluarga mereka, kerena telah menikah dengan Mas Elang.Ah, aku lupa kalau seorang istri, atau menantu itu setelah dibuang bisa jadi mantan. Jadi, aku ini orang lain yang kebetulan diikat oleh pernikahan.Ya ampun, aku tidak punya baju yang pantas untuk menghadiri sebuah pesta, apalagi pesta pertunangan anaknya bos Mas Elang, tentunya akan banyak orang kelas atas yang hadir.Tanganku terus memilih dan memilah, dan akhirnya berhenti pada satu brokat putih gading yang warnanya mulai memudar. Lalu, kupadukan dengan rok plisket berwarna putih. Untuk menyempurnakan penampilan aku memilih kerudung persegi warna coklat.Usai memilih baju, aku segera memoles bedak tipis ke wajah, dan lipstik merah yang warnanya mudah luntur. Tak ada bulu mata anti badai, tak ada istilah pasang alis. dari dulu, sebelum menikah aku lebih suka perawatan alami, kalau mau p
"Iri bilang, bos!" ucapku. Lalu, berjalan santai di depannya. Kemudian aku berbalik."Hei, kamu!" ucapku penuh penekanan, dan melangkah mendekat. "Aku peringatkan ya! Jangan coba-coba lagi tangan kasarmu itu menyentuh ketenangan saya, atau kamu akan menyesalinya!" Aku berbisik pelan di telinganya. Kemudian melempar senyum termanis yang kupunya."Kamu!" Wajahnya langsung memerah, tangannya terkepal kuat. Tapi, hanya kubalas dengan senyum cemooh. Kemudian aku kembali melangkah dengan anggun.Bukan hanya dia yang terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan. Tapi, Mas Elang, Mama dan juga Iza menatap tak percaya ke arahku. Lalu, mereka yang tengah berdiri di samping perempuan tersebut kulewati begitu saja.Aku berjalan ke arah meja prasmanan. Lalu, mengambil segelas minuman. "Eum ... Hanin?" sapa Mas Elang, tau-tau sudah ada dibekangku. Aku yang tak menyangka dia datang, hampir saja menjatuhkan gelasnya saking kagetnya."Apa kita saling mengenal?" tanyaku pura-pura sambil mengangkat gel
Reflek aku pun melangkah ke arah keributan. Begitu sudah dekat, dan melihat yang terjadi seketika mataku terbelalak tak percaya."Makanya kalau gak punya duit, mainnya jangan disini. Udah salah gak mau ngaku lagi," teriak perempuan paru baya itu memaki ke arah Iza.Iza menggeleng. "Tapi, saya gak mencuri, Bu!""Halah, maling mana ada yang mau ngaku?" ucap Ibu itu terlihat begitu emosi."Ada apa ini?" tanyaku kemudian. Tadinya aku tak ingin peduli. Karena, aku tak ada lagi urusan dengan keluarganya Mas Elang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja hatiku tergerak.Iza yang melihat kedatanganku langsung berlari. "Eh mau kemana kamu?" teriak perempuan itu."Tenang, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik," ucapku berusaha menenangkan."Kamu siapa? Jangan ikut campur ya!" sergahnya."Saya Kakaknya!" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku."Oh jadi kamu kakaknya? Tolong ya diajarin adiknya jangan jadi pencuri!" ucap perempuan itu masih terlihat emosi."Bukan saya ingin membel
"Apa maumu?" Aku kembali bertanya dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan. Takut, marah, emosi seketika bercampur jadi satu.Bukannya menjawab ia malah tertawa, entah apa yang lucu."Jangan main-main! Kalau tidak aku akan berteriak!" ancamku."Teriak saja sekeras yang kau mau, tidak akan ada yang mendengarmu."Ia melangkah semakin dekat, sementara aku semakin melangkah mundur, hingga tubuhku tersandar ke mobil."Kenapa kau tidak jadi berteriak?" tanyanya.Badanku mulai gemetar kala jarak kami semakin dekat, bahkan untuk berlari rasanya tidak mungkin."Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar, dengan keringat dingin.Dengan segenap keberanian, aku langsung menarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi, aku tak mengenalinya. Setelah kain yang menutupi wajahnya terbuka, dengan cepat ia langsung mengayunkan pisau itu ke wajahku. Aku yang menyadari bahaya langsung menangkisnya dengan tangan, dan hingga akhirnya tanganku yang terluka hingga mengeluarkan cairan segar. Melihatku ter
Aku tengah berdiri di depan gedung pengadilan agama kota Bandung. Hari ini sidang perceraianku, dan Mas Elang.Lelaki itu tidak lagi berniat membujukku setelah kemarin betengkar hebat dengan Fahri di rumah makan depan kantor."Kenapa, Kak Elang mau balikan sama Mbak Hanin karena tahu Mbak Hanin kerja sebagai model, 'kan?" tanya Fahri kala itu.Mama dan Mas Elang yang mendengar pertanyaan Fahri langsung ke intinya terlihat kikuk."B--ukan begitu, kami melakukan semua ini demi Ara," terang Mama melakukan pembelaan.Tapi, Fahri tidak percaya begitu saja, dan akhirnya membuat Mama dan Mas Elang menyerah."Ibu yakin kamu kuat, Nduk!" Ibu yang saat ini tengah berdiri disamping kananku tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Iya, Bu," jawabku.Kami pun akhirnya masuk ke dalam gedung. Aku tak pernah membayangkan jika pernikahanku akan berakhir disini, impian pernikahan sekali seumur hidup berakhir di pengadilan.Kulihat Mas Elang tertunduk lesu. Sementara Sava menatapku penuh kemenangan.Sidang pun
"Iya, Ibu mau," jawab Ibu yang akhirnya membuatku lega."Kalau begitu aku akan bicara sama Bude Maryam."Ibu mengangguk, akupun langsung memeluk tubuh Ibu dengan perasaan senang, dan berjanji pada diri sendiri disisa umurnya yang semakin tua aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia."Yang bener kamu, Nin?" tanya Bude Maryam tak percaya saat kusuruh menempati rumah Ibu saja."Iya, Bude. Tadinya Ibu gak mau ikut denganku. Karena, khawatir rumah dan hewan ternaknya gak ada yang rawat," terangku."Ya begitulah, Ibumu," ucap Bude Maryam. "Keukeh dengan pendirian. Tapi, baik, dan mudah berempati. Sebenarnya, Ibumu juga ingin terus bersama sama kalian. Waktu pamit ke Bandung aja Ibumu bilang karena, khawatir sama kamu," lanjut Bude menjelaskan.Aku terdiam mendengar penjelasan Bude, merasa haru dengan apa yang Ibu lakukan untuk kami. Meski anaknya jauh, Ibu selalu tahu kalau anaknya tak baik-baik saja. Ah, Ibu sungguh pengorbananmu tidak akan bisa kubalas dengan apapun walaupun dunia dan s
"Mas Elang? Kamu ngapain disini?" Aku bertanya dengan ekpresi gugup. Karena terkejut melihatnya yang tiba-tiba ada di depanku."Eum ... Mas sengaja nungguin kamu.""Mau apa lagi, diantara kita sudah tak ada urusan. Aku sudah mengurus surat perceraian kita di pengadilan. Jadi, Mas tunggu saja!"Mas Elang menggeleng. "Tapi, Mas tidak ingin pisah dari kamu!"Entah apa maksudnya, setelah membuangku begitu saja sekarang ia ingin kembali. Setelah kemarin mengetahui kalau ternyata aku bekerja sebagai seorang model."Kenapa, Mas?" tanyaku. Ingin tahu alasannya."Kasian Ara kalau sampai kita pisah," ucapnya memberi alasan. Lalu, kemarin-kemarin saat aku sudah memberi waktu sekian lama kemana dia?"Kenapa baru sekarang kamu memikirkan Ara, Mas? Kemarin kemana saja?""Eum ... Maaf! Mas tahu salah makanya Mas kesini mau minta maaf, kamu mau, 'kan maafin Mas?""Mas apa-apaan kamu?" teriak seseorang yang sontak membuat aku dan Mas Elang menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Sava."Aku pikir dianta
Kulihat Mas Elang hendak berangkat dari tempat duduknya. Tapi, dengan cepat Sava segera menahannya."Mau kemana kamu, Mas?" tanya Sava yang jaraknya hanya tersekat meja denganku. Meski pelan aku masih bisa mendengarnya. Bahkan, di kantor pun ia sudah memanggil Mas Elang dengan sebutan, Mas."Ingat sebentar lagi meeting dimulai!" ucap Sava memperingati. Sementara aku yang mendengar hanya berpura-pura sibuk dengan berkas di tanganku. Setelahnya tak lama kemudian meeting pun dilaksanakan, clien yang datang dari negara tetangga hanya berjumlah dua orang, dan sudah berada di ruangan.Seperti yang diperintahkan Ezra, aku mulai menjelaskan isi meeting kali ini, untungnya aku bisa berbahasa Inggris.Mas Elang, dan Sava hanya bisa tercengang setelah mengetahui posisiku di kantornya Ezra.Pihak clien terlihat puas mendengar penjelasanku, dan mereka setuju untuk bekerja sama. Selain, menampilkan produk busana muslimah pihak kantor juga memproduksi kain secara langsung, dan itu menjadi salah sat
"Elang!" Tiba-tiba suara seorang perempuan yang kuhapal suaranya memanggil nama Mas Elang. Kami pun sontak menoleh ke arah sumber suara. Mataku membulat saat melihat perempuan itu bergerak maju ke arah kami."Ibu?" ucapku dan Mas Elang hampir berbarengan."I--bu kok bisa ada di sini?" tanyaku tergagap. Lalu, menyambut tangannya begitupun Mas Elang."Ibu baru saja dari rumah mertuamu. Ibu juga sudah tahu semuanya.""Eum ... Sebenarnya ini hanya salah paham, Bu. Aku bisa jelasin," ucap Mas Elang."Apa lagi yang ingin kamu jelaskan, Mas?" tanyaku."Bu!" Tiba-tiba Fahri datang, menghampiri kami. Aku yang tak tahu kalau Ibu datang bersama Fahri begitu kaget."Heh! Laki-laki bre ng sek kamu apakan kakakku?" tanya Fahri tiba-tiba wajahnya terlihat emosi. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mama pada Ibu dan Fahri hingga mereka tahu semuanya."Sudahlah, Bu, Fahri sebaiknya kita pergi! Ini kantor tidak enak kalau ada yang lihat!" tegurku. Malu, tentu saja. Kami pun memilih pergi masuk ke dalam k
"Jadi kamu sudah dapat tempat tinggal?" tanya Tante Sandra, saat aku datang ke rumah untuk berpamitan, dan mengambil beberapa barangku."Alhamdulillah iya, Tan." Tante Sandra tersenyum. "Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik. Kapanpun kamu mau pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.""Terima kasih banyak, Tan. Aku gak tau harus bilang apa? Sekali lagi terima kasih sudah merepotkan.""Tante sama Om tidak merasa direpotkan sama sekali," ucap Om Farhan yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dan membuat kami seketika menoleh."Om Farhan gak kerja?" tanyaku. Lalu, menyambut tangannya."Kerja, Om pulang makan siang. Soalnya gak ada masakan seenak masakan Tantemu," godanya sembari melirik Tante Sandra, membuat keduanya tersenyum.Aku senang melihat keromantisan yang tercipta diantara mereka. Usia bukan jadi penghalang untuk selalu menciptakan kehangatan. Ah, rasanya aku iri melihat keharmonisan diantara mereka, sementara aku? Pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup nyata tengah bera
"Ini!" Ezra menyerahkan dua buah kunci ke arahku. "Apa ini?" tanyaku tak mengerti."Itu kunci mobil, dan apartemen untukmu. Fasilitas dari kantor," ucap Ezra. Aku yang baru datang, dan duduk tentu saja dibuat bingung dengan sikapnya itu."Untuk apa, bukankah masa kontrak kerja kita sudah berakhir?""Diperpanjang 5 tahun?" balasnya santai. "Jika kamu setuju, kamu bisa pakai mobil, dan apartemenya!" Mataku membulat, dengan mulut sedikit menganga mendengar penjelasan Ezra. Kaget, tentu saja. Ini seperti mimpi disiang bolong."Itu mulut tutup, nanti kemasukan lalat lagi," ucapnya Ezra sembari melipatkan tangan di dada.Dengan ekpresi kikuk aku langsung menutup mulutku. Ah, sial kenpa dari dulu sikapnya tidak berubah. Menyebalkan. Akukan jadi malu."Gimana apa kamu setuju?" Tuhan seperti menjawab doaku yang saat ini tengah bingung mencari tempat tinggal. Tapi, mobil aku tidak bisa menyetir.Aku mengangguk cepat. Kesempatan ini tidak boleh kusia-siakan. "Dan ini bayaran untuk bulan kema