Mira terkejut, tubuhnya menegang saat genggaman kasar pria itu semakin kuat di lengannya. Wajah pria tersebut penuh luka bekas perkelahian, dan matanya memancarkan bir4hi yang tajam.“Jangan ganggu aku!” Mira berusaha mengendalikan suaranya meski ada getaran ketakutan di dalamnya.Pria itu menyeringai sinis, mendekatkan wajahnya. "Enggak usah jual mahal, Lo! Lo pikir bakal bisa lepas dari kita. Salah sendiri masuk kawasan kita cantik, elo sama aja udah masuk ke dalam kandang buaya dan harus siap jadi santapan kita-kita."Tawa kelima preman itu menggema di telinga Mira, terdengar begitu ngeri. Mau pasrah dia yang rugi, melawan pun bukan tandingannya. Apalagi lima lawan satu, ia tak yakin bisa melawannya.Pria lain, yang lebih besar dari yang pertama, melangkah mendekat dan menatap Mira dengan dingin. "Kalau nyawa elo masih ingin nempel di badan, layani kita dulu. Seret dia ke markas!"Mira menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. Di tengah kepanikannya, pikirannya berlari liar, menca
Di depan mereka, terlihat sekelompok anak-anak jalanan yang biasa diajar oleh Raka. Wajah-wajah polos mereka dipenuhi senyum lebar, dengan tangan yang masih sibuk bertepuk tangan. Beberapa di antara mereka bahkan bersorak, menyemangati dua orang dewasa yang baru saja melalui perdebatan sengit."Eh, Bang Raka sama siapa? Kalian keren banget!" salah satu anak berseru riang, membuat suasana yang tadinya tegang berubah menjadi lebih ringan."Pertempurannya seru banget tadi!" tambah yang lain sambil tertawa. "Kami nonton dari jauh!"Raka menghela napas, antara lega dan bingung. "Kalian dari mana, nih? Kenapa tiba-tiba muncul begini?" tanyanya, meski senyumnya tak bisa ia sembunyikan. Rasa sayangnya pada anak-anak itu begitu jelas, bahkan di tengah situasi canggung ini.Salah seorang anak yang lebih besar, bernama Tegar, melangkah maju. "Kami tadi lagi di tempat biasa, Bang. Terus dengar ada yang sedang berantem. Jadi, kami ngumpul aja di sini. Kalian berdua hebat, berani ngomong jujur dan
Laura melangkah cepat di trotoar, tangannya gemetar memegang tas kecilnya. Wajahnya memerah, bukan karena matahari yang menyengat, tetapi karena amarah yang terus membara di dalam dadanya. Pikirannya penuh dengan kata-kata makian untuk Pak Andi, lelaki tua yang ia anggap telah menipunya. Bagaimana mungkin cincin dan HP mahal dari mantan suaminya, Irfan, bisa ditukar dengan emas palsu dan handphone murahan?"Dasar licik! Bisa-bisanya aku ketipu lelaki tua itu!" gumamnya marah, seraya mengacungkan tinjunya ke udara seolah Pak Andi ada di depannya.Ia menghentikan sebuah angkot yang kebetulan lewat. Tanpa berpikir panjang, Laura segera melompat masuk, duduk di bangku terdekat sambil mengatupkan bibirnya erat. Otaknya sudah dipenuhi rencana. Sesampainya di toko Pak Andi, ia akan menghajarnya, menuntut haknya kembali. Ia membayangkan wajah Pak Andi yang pura-pura ramah, senyum tipis penuh tipu daya. Tak sampai lima belas menit, angkot berhenti di depan toko Pak Andi. Laura segera turun de
Laura naik angkot menuju kontrakan Pak Andi, di pertigaan masuk gang ia harus berjalan sekitar 700 meter membuat Laura kecapekan apalagi perutnya lapar membuat ia terasa ingin pingsan.Setelah sampai di depan rumah pak Andi ia menggedor-gedor pintu namun tak ada sahutan apapun dari dalam."Andi.. keluar kau dasar penipu! Cepat balikin cincin dan hp aku!""Andi sialan cepat keluar! Licik sekali kau penipu sialan!" Maki Laura.Tiba-tiba ada tetangga kontrakan yang keluar, ia merasa heran melihat Laura yang marah-marah sambil menendangi pintu. Wanita itu menegur Laura, "Ada apa, Mbak? Kenapa teriak-teriak, ganggu anakku tidur. Gara-gara, Mbak, menendangi pintu anakku ke bangun."Maaf, Mbak. Mbak tahu kemana perginya Bang Andi?" tanya Laura.Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal, mencoba meredam amarah dan kelelahan yang mendera. Tangannya masih gemetar akibat menendangi pintu kontrakan, namun kini ia berdiri terpaku, menat
Raka mengendarai mobil buntutnya, ia akan ke rumah singgah dimana anak-anak jalan sudah menunggu kedatangannya. Sejak pagi ia mengatasi masalah keributan di pasar maka hari menjelang siang drinya baru bisa mengunjungi anak-anak.Saat melintas di sekolahan TK dimana ia pernah bertemu dengan Amira, Raka memilih menghentikan mobilnya sejenak."Amira namanya, dia wanita cantik, anggun, mandiri dan yang pasti keibu-ibuan sungguh wanita yang sempurna." Raka jadi mengingat tentang sosok Amira.Segerombolan anak-anak TK keluar dari arena sekolahan dan sudah di tunggu oleh orang tuanya masing-masing.Raka turun dari mobilnya, ia menikmati pemandangan dimana wajah-wajah ceria anak TK. Ia sangat menyukai pemandangan tersebut, seakan-akan dirinya ikut bahagia melihat kebahagiaan mereka. Ia a membayangkan bila dirinya sudah menjadi seorang ayah dan melakukan hal yang sama, menjemput anak-anaknya pulang sekolah.Namun ada seorang anak ya
Raka teringat dengan anak-anak jalanan yg sudah menunggunya di rumah markas mereka (rumah gubuk untuk belajar dan berkumpul) dia segera menuju mobil buntutnya dan mengendarainya.Raka memarkirkan mobilnya di pinggir jalan besar karena ia harus berjalan memasuki gang sempit sambil membawa sekantong kresek berisi nasi bungkus.Raka berjalan perlahan memasuki gang sempit itu, aroma khas gang kecil di kota besar menyambutnya. Dinding-dinding lusuh di kiri kanan gang menciptakan bayangan yang menambah keheningan sore itu. Kantong plastik hitam berisi nasi bungkus yang ia bawa sesekali berayun mengikuti langkahnya.Setibanya di markas, sekelompok anak-anak yang sudah menunggu di depan rumah gubuk kecil itu segera menyambutnya dengan wajah ceria, namun tampak jelas rasa lapar di mata mereka."Bang Raka, kenapa lama banget?" tanya salah satu anak, Amir, dengan wajah polosnya.Raka tersenyum tipis, merasa sedikit bersalah karena terlambat. "Maaf, ada urusan sebentar tadi.""Urusan apa, Bang?"
Amira merasa pikirannya dipenuhi kebingungan dan keraguan. Nama 'Raka' terus terngiang-ngiang di telinganya, menimbulkan perasaan tidak nyaman. Bagaimana mungkin Raka, bisa berada di tempat ini? Atau, mungkinkah ada orang lain yang juga bernama Raka, yang kebetulan memiliki kehidupan berbeda? Namun, bayangan wajah Raka yang ia kenal begitu kuat di benaknya. Amira mencoba menepis kekhawatiran itu, tapi hatinya tetap tak tenang. Rasa takut yang ia pendam mulai merayapi pikirannya. "Kalian semua sudah aku ingatkan untuk tidak dzalim sama pedagang kecil seperti ini! Apalagi seorang perempuan, kalian itu lahir dari rahim perempuan. Jika ibu ini ibu kalian, apa bakal tega berbuat kasar seperti tadi. Hah!" "Raka. Itu suara Raka," batin Mira. Amira segera meninggalkan mobilnya yang masih dibenahi oleh montir. Ia segera menuju kerumunan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Amira segera mempercepat langkahnya. Jantungnya berdegup kencang, tidak menyangka bahwa sosok yang selama ini ia a
Raka terdiam sejenak, pikirannya melayang jauh ke masa lima tahun silam. Kenangan itu kembali membanjiri benaknya, membawa serta rasa sakit yang pernah ia rasakan. Pengkhianatan yang membuatnya hancur perlahan, merenggut harapannya akan cinta sejati. Sejak saat itu, hatinya tak lagi sama—separuhnya mati rasa, tak mampu merasakan hangatnya perasaan seperti dulu. Cinta, bagi Raka, tak lebih dari luka yang belum sepenuhnya sembuh.Melihat raut wajah Raka yang tiba-tiba berubah muram, Mira merasa tak enak hati. Dia tahu ada sesuatu yang berat menghantui pikirannya, tapi tak ingin memaksanya untuk berbicara. Hening sejenak menyelimuti mereka, hanya suara kendaraan yang melintas di jalanan yang terdengar samar-samar."Kalau kamu tak ingin bercerita, tidak apa-apa kok. Mungkin lain kali aja kalau kamu udah siap," ujar Mira lembut, mencoba memberikan ruang bagi Raka tanpa menekannya.Raka menoleh sekilas, mata mereka bertemu dalam pandangan singkat sebelum dia kembali memalingkan wajahnya dan
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan