Mira bergegas pergi, ia tak mau berlama-lama bersama Irfan. Saat ia sampai di halaman kantor ia segera memanggil Pak Sutris. Karena suasana kantor sudah sepi jadi dengan mudah Pak Sutris terlihat. Saat masuk ke dalam mobil Mira menoleh sekilas ke arah Irfan, untuk memastikan kalau Irfan tak mengikutinya. Mira bernafas lega saat melihat Irfan masih diam dan menunduk. Namun siapa sangka saat mobil Mira sudah keluar dari halaman kantor, Irfan berlari menuju mobilnya dia bergegas mengikuti mobil Mira. "Aku harus ngikutin mobil Mira sebelum terlalu jauh. Aku harus tahu dia tinggal dimana, aku juga ingin tahu anak keduaku." Irfan merasa lega saat menyakini bahwa yang ia lihat itu mobil Mira. Mobil Fortuner berwarna hitam yang berplat XXY itu sudah terlihat olehnya. Lima puluh menit membelah jalan raya mobil hitam itu berbelok masuk ke perumahan elit mawar membuat Irfan ragu untuk melanjutkan pengintaiannya. "Kok masuk sini sih, apa aku salah mobil ya," gumam Irfan. Dia melihat seorang
Irfan benar-benar tak merasa kesal atau menyesal saat kedua anaknya tidak mengenalinya, tetapi ia meyesal kalau tak bisa mendapatkan Mira lagi. "Ya mau gimana lagi, nanti pelan-pelan pasti akan mau lagi," balas Irfan dengan santai. "Pak, ini minumnya silakan diminum." Bi Sumi membawa segelas jus jeruk dan cemilan untuk Irfan. "Minum dulu, Bang, dinikmatin dulu. Aku mau mandi, kalau Abang mau langsung pulang ya nggak apa-apa dari pada menungguku kelamaan," ujar Mira mengusir Irfan dengan halus. "Nggak apa-apa kok, kamu mandi dulu saja. Terima kasih ya, aku akan menikmati minumannya," balas Irfan yang tak peka sama sekali. Irfan menunggu Mira yang sedang mandi sembari minum dan makan cemilan yang dihidangkan bi Sumi. Tiba-tiba terbesit ide di kepala Irfan, ia ingin tahu keadaan rumah Mira di lantai atas. "Mending aku naik saja deh, kira-kira seperti apa ya kamar Mira," gumam Irfan yang kepo tingkat dewa. Saat sampai
"Iri bilang bos!! Ngaku aja kalau elu nggak laku. Makanya elo sampe-sampe ngedeketin istri orang!!" kata Irfan dengan nada nyolot. David terkekeh mendengarnya, "Jijik banget gue sama manusia yang suka celup sana celup sini, elo itu emang bodohnya kebangeten. Elo nggak bisa bedain mana berlian mana t4i kucing, t4i kucing macam Laura elo bela-belain buang berlian macam Mira. Semua lelaki pasti akan dengan senang hati mengambil berlian yang terbuang, cuma orang yang nggak punya mata yang nggak mau ambil!!" balas David dengan pedas. "Brengsek elo!!" Irfan ingin meninju wajah David namun dengan cepat David menagkisnya. Peperangan sudah dimulai apalagi bahasa elo gue dan tatapan mata yang saling menghunus itu menjadi bukti kuat keduanya mendirikan benteng permusuhan. "Hei!! Hei!! Ada apa ini, magrib-magrib bukannya beribadah malah saling baku hantam. Kalian kalau mau berantem jangan di sini, ini rumah bukan lapangan tempat tonjok-tojokkan," lerai Pak Sutris. Pak Sutris dan bi Sumi meman
Mobil Irfan keluar dari halaman rumah, namun belum jauh melaju tiba-tiba dada Irfan terasa sangat sesak, ia memilih menghentikan mobilnya sebentar dipinggir jalan. Bukan hanya dada yang terasa sesak namun kepalanya juga sangat pusing, dan perutnya terasa mual-mual, badannya juga sangat pegal. Namun Irfan tetap memberikan semangat pada dirinya sendiri kalau dia pasti kuat, akhirnya dia melanjutkan perjalanan hingga sampai di rumah Mbah Darmi. Tok!! Tok!! Tok!! "Assalamualaikum, Mbah," ucap Irfan dengan mengetuk pintu. "Wa'alaikumsalam salam, masuk Mas, mamak ada di dalam sedang ada pasien. Sebentar lagi sudah selesai kok," balas seorang lelaki anak buah Mbah Darmi. Irfan masuk dan menunggu di ruang tunggu. Semakin lama sakitnya semakin menjadi hingga tiga puluh menit pasien Mbah Darmi keluar dari ruang pijat. "Ehh, ada Nak Irfan. Mau pijat juga?" tanya Mbah Darmi yang ikut keluar. Wanita berumur enam puluh lima tahun itu tersenyum r
Ruangan serba putih itu terhening beberapa saat, dua insang manusia saling memandang. Bu dokter tersenyum ramah menenangkan pasiennya, sedangkan Irfan sudah harap-harap cemas. "Begini, Pak, anda mengalami gangguan pada ginjal yang lumayan serius. Gejala penyakit ginjal kronis Bapak sudah stadium empat. Maka dari itu Bapak merasakan kelelahan, sesak napas, mual dan rasa tidak enak di mulut. Sebenarnya akan ada gejala lainnya juga seperti warna urin yang menguning, terjadi pembengkakan pada tangan dan kaki, serta mata bengkak, semoga Bapak selalu kuat dan ikhlas melewatinya. Saya sarankan untuk menjaga pola makan yang sehat, olahraga ringan, berhenti merokok, membatasi konsumsi alkohol, menjaga berat badan yang sehat, dan memantau kondisi kesehatan lainnya, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes," terang sang Dokter. "Apa penyakit saya bisa sembuh, Dok?" tanya Irfan yang berusaha menetralkan segala keresahan hatinya. "Gagal ginjal Kronis tidak bisa sembuh, Pak, namun bisa bertahan
"Hah!! Daftar sebagai apa?" tanya Mira yang tak paham yang dikatakan David. "Daftar sebagai... Em um, bodyguardmu." David tersenyum meringis saat mengatakan itu. Bibirnya terasa kelu saat ingin mengucapkan kata 'Suami'. Hatinya merutuki bibir yang tak berani jujur. "Ooh... Aku nggak butuh bodyguard, Mas, kayak artis saja pakai bodyguard segala," balas Mira terkekeh. "Hemm, kamu kan janda. Pasti banyak lelaki yang deketin kamu, apa kamu nggak takut kalau ada yang jahat sama kamu?" David masih saja mencari celah untuk bisa mengatakan yang sejujurnya isi hatinya. "Insya Allah nggak ada, aku akan baik-baik saja, Mas," balas Mira dengan senyum khasnya yang ramah. Perjalanan pulang itu tiba-tiba hening, David sibuk dengan perasaannya sendiri. Sedangkan Mira tidak punya topik lain untuk dibicarakan jadi ia memilih untuk diam saja.Hingga tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah Mira. "Lusa malam ajak Sheila ke sini ya, Mas. Celine mau merayakan ulang tahunnya yang ke enam," ujar
Keesokan paginya, Irfan bangun dengan keadaan yang sangat lemas, wajahnya pucat, bibirnya kering dan tubuhnya sangat menggigil. "Mas, kamu kenapa, sakit ya? Wajah kamu pucet banget?" tanya Laura. Tadinya ia ingin membangunkan Irfan untuk berangkat bekerja karena sudah jam delapan."Lapar," ucap Irfan sangat lirih. "Apa, Mas, aku nggak dengar." Laura mendekatkan telinganya di bibir sang suami. "Lapar, Dek," ulang Irfan. "Ooh lapar, iya nih kamu demam, Mas," ujar Laura mengecek kening Irfan dengan telapak tangannya. "Ya sudah, bentar ya aku beliin sarapan dulu." Laura keluar meninggalkan Irfan sendiri. Tak lama kemudian Laura pulang membawa lontong sayur dan gorengan untuk mereka sarapan. Ia juga membeli bubur sumsum juga tak ketinggalan teh hangatnya juga. Seperti itulah Laura semuanya serba beli. "Ayo, Mas, sarapan dulu. Di makan sendiri lo ya, masih kuat nggak kalau nggak ya harus bisa gimana caranya, soalnya aku juga mau sarapan sendiri." Laura sudah menyiapkan di atas meja n
Putri begitu teliti mengamati motor vixsion yang berjalan dengan santai di depannya. Ia sangat geram dengan lelaki yang selama ini dia puja yang selama ini dia periotaskan ternyata tega mencabik-cabik hatinya sampai hancur lebur.Motor itu berbelok masuk ke sebuah gang, dan hingga akhirnya masuk ke halaman rumah kontrakan. Putri juga memarkirkan motor itu di samping motor Danu. "Brengsek!! Jadi ini yang kamu lakuin dibelakang aku, Mas, kamu kabur bersama perempuan lain hingga lupa pulang!!" teriak Putri membuat Danu dan wanitanya terkejut.Plak!! Plak!! "Dasar pelakor murahan, kamu nggak laku ya makanya sampai ngerebut suami orang!!" Putri menampar kedua pipi wanita itu. "Cukup Putri!! Apa yang sudah kamu lakukan itu sangat keterlaluan, Nita nggak salah apa-apa jadi kamu nggak berhak menghakimi dia!!" Danu merengkuh tubuh wanita yang bernama Nita itu. Nita terlihat ketakutan dan kedua matanya memerah. "Apa maksudmu, Mas, jelas-jelas dia merebut kamu dariku. Dasar pezina apa selam
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan