Gayatri menikmati kegiatan barunya memiliki bayi, kali ini jelas sangat berbeda dengan saat memiliki Pilar. Kelahiran Mahatma ia dikelilingi sayang dan cinta yang begitu besar dari anak sulung dan suami bahkan kini ia memiliki sahabat yang bisa ia ceritakan mengenai apa pun hingga ia tidak stres sendirian seperti dahulu ketika kelahiran Pilar. “Sayang ... aku akan ke kantor dua jam saja ya, untuk meeting karena memang enggak bisa di wakilkan. Setelah itu langsung pulang kok, kan aku sudah janji sampai kamu benar-benar baik baru full bekerja.” Eliot menghampiri istrinya yang sedang memakaikan sang bayi pakaian usai membersihkannya. “Iya Papa, enggak apa-apa kan ada mbak sama pak Husen di depan. Berangkatlah.” Gayatri mengangkat Mahatma yang menggeliat dengan mulut terbuka setelah digantikan pakaiannya.Eliot menarik nafas panjang. “Baiklah Sayang, Papa akan segera pulang ya biar Mama bisa istirahat karena kamu semalam banyak bangun.”
“Papa tolong gantikan diaper Mahatma, aku sakit perut.” Gayatri memberikan bayinya pada sang suami yang sedang duduk di ruang tengah memegang remot kontrol mobil mainan mewah anaknya. “Aku saja Ma.” Pilar tiba-tiba keluar setengah berlari dari dalam kamarnya saat mendengar suara Gayatri meminta sang papa menggantikan diaper adiknya. “Biar Papa saja Sayang, Mama sudah melotot lihat Papa main mobil adik kamu terus,” kekeh Eliot. “Oh.” Pilar ikut tertawa kecil mengangguk. Gayatri ikut tertawa saat memutar badan untuk ke kamar mandi, ia tidak melarang suaminya main mobil anaknya. Namun ia kadang refleks memicingkan mata melihat Eliot sibuk sekali dengan mainan sang anak. Hari itu minggu dan baru saja Gayatri dan Pilar selesai menjemur Mahatma di teras rumah. Pilar kini sangat jarang keluar karena lebih sering berduaan dengan adiknya jika sedang libur sekolah. Bahkan ia meminta kedua orang tuanya untuk jalan-ja
“Sayang.” Gayatri menahan dada bergemuruh Eliot sejenak dengan nafas berkejaran. Eliot menghentikan sejenak semua yang ingin ia lakukan, memandang manik mata berkabut istrinya. Bertanya dengan sorot mata tidak sabarnya. “Kamu ragu?” tanya Eliot akhirnya. “Bukan ... hanya ... lakukan dengan cepat, nanti anak kamu bangun,” ringis Gayatri.“Iya Sayang astaga.” Eliot berdecap menautkan bibir mereka kembali.Merayu tubuh Gayatri yang sudah lama beristirahat tidak melakukan hubungan suami istri sangat mudah bagi Eliot. Hampir setiap sentuhannya pada kulit lembab sang istri mampu membuat Gayatri menggeliat penuh damba. Gayatri mendesah pelan dengan menahan nafas ketika Eliot menyentuh dadanya yang sensitif sekali semenjak mengasihi bayinya.“Sakit?” Eliot bertanya dengan menengadahkan kepala melihat bagaimana raut wajah Gayatri.Gayatri menggeleng dengan wajah merah menahan gairah yang memuncak, seringai Eliot terlukis sempurna
“Kenapa sih kalian enggak habis-habis idenya.” Gayatri tidak menutupi rona merah merona bahagianya saat penutup matanya dibuka oleh Eliot. Gayatri teringat setelah melahirkan, ia selalu menolak di ajak jalan-jalan keluar berdua saja dengan sang suami. Bukan tidak mempercayai Pilar menjaga adiknya, namun ia tidak tega meninggalkan bayi mereka hanya berdua Pilar sementara kedua orang tuanya malah asyik pacaran. Sesungguhnya hal tersebut tidak masalah untuk Pilar karena hanya satu dua jam keluarnya, untuk merilekskan kepala Gayatri yang sehari-hari di rumah berdua si bungsu. Maka jadilah Pilar memberikan ide pada Eliot untuk memberi mamanya kejutan di dalam rumah saja. Di taman samping rumah mereka, disulap menjadi sebuah tempat romantis dengan lampu terang, meja bulat serta dua kursi. Di tengah meja terdapat tiga lilin tinggi pada tempat berukir emas beserta dua gelas berkaki kosong serta sebuah teko kaca berisi jus buah, bukan wine tentu
“Sudah siap?” tanya Eliot. “Yes Papa, boleh tolong bukain pintunya?” Gayatri dengan tangan penuh menggendong si bungsu dan satunya menenteng tas kecil saat Eliot keluar dari bagasi memanaskan mesin mobil sebelum mereka berangkat menuju rumah sakit. Mahatma jadwal vaksin hari ini, dan mereka sudah membuat janji dengan dokter anak pada rumah sakit tempat Gayatri melahirkan. Jika vaksin sebelumnya Gayatri bersama Pilar karena tepat Pilar libur sekolah, kini ia bersama Eliot pasca semalam mendapatkan kejutan luar biasa dari anak dan suaminya. Eliot membukakan pintu, mengambil tas Gayatri sementara sang istri meletakan bayi mereka di carseat agar aman. Gayatri dudu di belakang bersama si bungsu, mereka membelah padatnya jalan ibu kota di pukul sembilan pagi. “Kamu tadi belum sempat sarapan kan?” Eliot tiba-tiba memberhentikan mobil pada sebuah toko roti yang dipanggang langsung di tempatnya hingga aromanya seme
“Maksudnya?” Eliot mengerutkan kening pada penuturan istrinya. “Kita butuh duduk dengan benar sepertinya,” ringis Gayatri. Eliot mengangguk, mengecup cepat sudut bibir Gayatri dan memutar badan mematikan layar laptop yang masih menyala untuk kemudian menggandeng sang istri keluar dari ruang kerjanya. Gayatri duduk di sofa ruang keluarga sementara suaminya masih melangkahkan kaki menuju dapur. Eliot kembali tidak lama kemudian, dengan kedua tangan membawa cangkir berisi lemon tea untuk menemani percakapan serius mereka. “Aku ingin ajak teman kuliah aku dulu, bekerja sama. Namanya Alea, dia bisa gambar dan bisa menjahit baju. Memang bukan jurusan designer tapi aku tahu gambar dia bagus-bagus. Pas Mahatma vaksin aku bertemu dia. Pas kamu sedang ambil vitamin adek, dia bekerja sebagai pegawai negeri tepatnya aku enggak tahu di bagian mana. Alea sedang mengantarkan pesanan baju beberapa suster di rumah sakit itu. kami mengobro
“Satu jam Mama akan pulang ya, Mahatma sama papa dan kakak dulu.” Gayatri mendaratkan hidungnya pada pipi gembil putranya yang dalam gendongan Eliot. “Iya kamu tenang-tenang saja, jalan-jalan dulu juga enggak apa-apa.” Eliot bergantian mendaratkan kecupan pada kening istrinya sebelum sang istri memasuki mobil. Gayatri akan melakukan pertemuan dengan Alea setelah Eliot membuatkannya proposal resmi dengan beralaskan payung hukum yang ia bawa untuk Alea. Pada sebuah tempat makan hangat, sang teman lama sudah duduk menunggunya dengan segelas minuman. Gayatri memberikan pelukan hangat pada Alea. “Sudah lama Alea? Maaf ya tadi harus mengurusi dua bayi dulu,” kekeh Gayatri. “Belum ada sepuluh menit, i see ... punya satu bayi pasti terasa punya dua bayi. Bapaknya juga enggak mau mengalah,” kelakar Alea. “Betul,” timpal Gayatri menahan tawa. “Mau pesan apa Gayatri, ini serius kamu en
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia