Gayatri mengangguk dengan segaris senyum yang ia paksakan, perih terasa seluruh badannya mendengar pertanyaan gadis remaja yang lahir dari rahimnya lima belas tahun lalu. “Kamu tidak salah dengan bertanya seperti itu, aku tidak mencari pembenaran sekali lagi aku tegaskan. Dari segi manapun aku tetap salah dan aku menyesalinya seumur hidup aku. Alasan utama aku nekat ke Kanada dan meninggalkan kamu adalah karena jauh sebelum aku menikah dengan papa kamu, aku sedang merintis karier menjadi model.” Gayatri menyingkirkan piring kecil dan gelas di depannya di samping serta meletakan kedua tangannya bertautan di atas meja. “Sungguh aku tidak pernah menyesal menikah dan memiliki kamu. Kamu adalah anugerah luar biasa yang pernah aku miliki seumur hidup aku. Aku hamil kamu hanya selang satu bulan setelah pernikahan, yang mana mengandung itu artinya aku harus berhenti berkarier. Yang awalnya hanya cuti sampai tiga bulan pasca melahirkan, jadi panja
“Pilar benar lima belas tahun bukan sih? jangan-jangan kamu lupa umurnya?” Rachel bertanya seraya memberikan segelas air minum pada Gayatri yang baru selesai bercerita mengenai percakapan luar biasanya dengan Pilar. “Kamu memang ada gila-gilanya. Mana mungkin aku lupa kapan anak aku lahir, mulesnya saja dua hari dua malam,” sembur Gayatri tanpa ampun. Rachel meringis geli akan amukan amarah dari sahabatnya, ia kembali mendesah panjang seraya menjatuhkan badan di samping Gayatri yang memeluk bantal sepanjang bercerita. “Soalnya agak seram ya cara berpikir Pilar melampaui orang dewasa, kok bisa dia mencerca kamu sampai segitunya. Tahu sih dia membela papanya, tapi dari cara dia tanya sama kamu itu ... kaya who is she? She is not 15. Apa mungkin bapaknya yang mengajari bicara seperti itu?” Rachel memberikan praduganya mengenai cara berpikir Pilar yang menurutnya tidak akan terjadi pada gadis seusianya. “Mungkin
Gayatri masih membeku sekujur badannya akan sebuah keajaiban yang terjadi belum lama setelah ia terbangun dari ketidaksadarannya. Tangis pelan dari Pilar bahkan tidak bisa membuatnya sadar dengan wajah syoknya. Rachel langsung menarik tangan berbalut infus Gayatri untuk membalas pelukan Pilar, pada awalnya terasa amat kaku sampai beberapa detik kemudian senyuman Gayatri terlukis indah dengan mata basah. “Maafkan aku, Ma,” lirih Pilar dengan suara pelan. “Kamu tidak salah Sayang, kamu tidak salah. Aku yang salah,” jawab Gayatri parau. Mama dan putrinya tersebut saling berpelukan erat dengan diiringi sedu sedan tangisan keduanya, Gayatri yang menghujani Pilar dengan ucapan terima kasih dan kecupan dalam bertubi-tubi pada kepala dalam pelukan. Pilar yang memeluk hingga meremas baju rawat Gayatri pada bagian punggung tidak lagi mengeluarkan suaranya. Menenggelamkan wajah pada ceruk leher Gayatri. Rachel sendiri m
“Pulang ya, besok kamu sekolah.” Eliot membelai kepala Pilar. “Mama sama siapa yang jaga?” Pilar bertanya dengan telapak tangannya yang masih digenggam Gayatri. “Aku sama tante Rachel. Nanti ke sini lagi, sedang ambil baju ganti. Kamu pulang saja sudah sore,” tutur Gayatri lembut. Pilar mengangguk kecil, usai kejadian mengagetkan lataran Pilar mengigau dengan sangat kencang cenderung menjerit histeris. Eliot langsung berlari ke ranjang Pilar untuk membangunkannya, begitu matanya terbuka, pandangan itu membeliak menyusuri setiap sudut ruangan. Bila biasanya ketika Pilar mengigau dan terbangun akan memeluk sang papa yang berusaha menyadarkannya, lain cerita sekarang. Eliot masih membelai lembut wajah Pilar yang matanya masih melirik kanan kiri tidak beraturan. Ketika netra keabuan itu melihat paras cemas Gayatri, sontak ia langsung mendorong dada Eliot dan turun dari ranjang untuk kemudian berlari menyongsong
Gayatri dan Rachel tengah mendengarkan penjelasan Diretur dalam agensi tempat mereka bekerja. Sudah melakukan penyelidikan sampai pemutaran cctv dari dapur restoran hingga diambil kurir. Tidak ada kejanggalan, masalahnya sekarang ada di kurir tersebut yang ternyata tidak terdeteksi oleh naungan ojek online. Menjadikan buntu, agensi memutuskan melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib. “Kamu jangan cemas, kita akan usut sampai tuntas ya. Itu sudah termasuk rencana pembunuhan, kamu cukup istirahat sampai benar-benar pulih. Untuk pekerjaan kamu yang sekarang, kalau kamu cuti dulu maka akan saya ajukan penggantian model. Saya rasa bapak Eliot mengerti dengan keadaan ini,” papar atasan Gayatri dan Rachel. “Ada kemungkinan orang agensi enggak sih, Pak?” tanya Rachel menyeletuk setelah dari tadi hanya mendengarkan. “Maksud kamu, kamu mencurigai ada orang agensi yang berniat meracuni Gayatri?” tanya sang atasan.
“Mama,” panggil Pilar begitu memasuki kamar rawat Gayatri. Di belakang Pilar ada Eliot yang mengenakan kemeja dengan lengan digulung dan celana khaki. Terlihat jauh lebih santai dengan rambut tanpa gel seperti hari biasa kerja. “Kenapa ke sini?” tanya Gayatri. “Mau jemput pulang tentu saja, hai Tante Rachel.” Pilar memeluk Gayatri yang sedang merapikan sisa barangnya ke dalam tas dan tangannya melambai pada Gayatri yang sedang melipat selimut. “Hai Sayang, bagaimana rasanya berjabat tangan dengan bapak Presiden kita? kamu sungguh hebat, Tante iri.” Rachel mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Pilar yang langsung menggenggam tangannya. Perseteruan antara Rachel dan putri Gayatri sudah berakhir kala Pilar mendatangi Rachel dan meminta maaf karena pernah berkata kasar dan tidak sopan dengan berteriak-teriak. Rachel sebagai orang dewasa yang tahu pasti alasan si gadis remaja dengan senyuman
“Makan dulu ya, aku sudah buatkan makanan,” pinta Gayatri pada Pilar yang sudah bangun dan mencuci mukanya. “Mama memasak?” Pilar melongo kaget mendengarnya.Gayatri mengangguk dengan tersenyum. “Aku bisa memasak, tapi hampir sepuluh tahun terakhir enggak dipakai. Ajak papa kamu makan juga sebelum kalian pulang.” Pilar mengangguk keluar beriringan dengan Gayatri yang mengenakan terusan semata kaki pakaian santainya ketika di rumah ditambah kakinya yang menyentuh langsung lantai pualam. Gayatri terbiasa tidak memakai alas kaki selama di rumah. Eliot sendiri menyetujui karena Pilar yang meminta ditemani makan di rumah yang baru pertama kali mereka masuki. Terlihat di meja makan terhidang makanan sederhana, Gayatri belum sanggup memasak lebih banyak karena kakinya entah mengapa cepat lelah berdiri selama memasak. “Hanya ini yang aku bisa buatkan, doyan?” tanya Gayatri pada Pilar. “Aku doyan apa
“Minum dulu.” Gayatri memberikan segelas air minum pada Pilar setelah menariknya masuk ke dalam rumah. Pilar menuruti, minum dengan wajah memerah meskipun air matanya sudah kering. Rachel sendiri masih berada si sana syok bukan karena mendengar aduan Pilar tentang papanya. Tapi syok bagaimana seorang remaja bisa menangis tersedu-sedu mengadu pada mamanya bahwa ia tidak ingin papanya menikah namun ia takut mengutarakan pada papanya sendiri. “Tarik nafas dulu pelan-pelan ... kalau sudah lega bar cerita lagi.” Gayatri membelai paras pucat Pilar. Gayatri menerima pesan singkat dari Eliot saat mengambil air minum, Eliot menitipkan Pilar sebentar padanya karena ia harus mengantar Risa ke bandara dan Pilar enggan ikut dengan mengatakan ia cepek seharian di luar bersama mereka. “Yang bilang papa kamu?” tanya Gayatri setelah melihat Pilar jauh lebih tenang. “Enggak ... tapi tante Risa,” jawab Pilar.
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia