"Mas, aku minta maaf. Ini semua salahku." Mayang terus menangis menyalahkan dirinya atas apa yang sudah terjadi hari ini. David memeluk erat tubuh lemas sang Istri yang belum lama divonis mengalami keguguran. Ya, janin berusia lima Minggu itu tidak bertahan di rahim sang Ibu. Mama dan papa Mayang pun ikut bersedih. Cucu yang mereka harapkan segera hadir meramaikan rumah mereka yang besar, kini pupus sudah. Padahal, Nindi sudah berencana akan menyumbang ke panti asuhan saat usia kehamilan Mayang empat bulan nanti.Takdir Tuhan tidak ada yang bisa menolak bukan?"Kita masih bisa menjadikan yang baru lagi nanti. Sekarang kamu fokus pemulihan ya, Sayang." David mengecup kening Mayang penuh cinta. Ia pun merasa bersalah karena tidak bisa menahan diri. Harusnya ia bisa menasihati sang Istri atas kehamilan muda yang memang masih sangat rawan. Ditambah pikiran yang tidak menentu tentang Sri.Lihat apa yang sudah kamu lakukan pada istrimu, David? Bukan hanya sebelum menikah kamu mengkhianati
Pov Sri"Mbak Sri belum makan apapun sejak pagi. Apa nggak papa pindah sekarang?" Ela, teman kos begitu khawatir saat melihat aku yang bolak-balik keluar kamar mandi karena muntah. "Nggak papa. Saya hanya gak mau keadaan saya diketahui ibu dan orang-orang egois yang mencari saya." Aku pun duduk di dalam kamar sambil mengatur napas kembali. Rasanya begitu sesak. Aku masih berharap hanya sakit maag, meskipun semalam aku USG ke bidan dan hasilnya benar-benar positif. Masih sangat muda, masih hitungan minggu. Masih sangat mungkin jika keluar lagi alias keguguran. Bukan karena aku sengaja, tapi memang begitu kata bidan semalam. Aku disuruh jangan sering berhubungan dengan suami untuk sementara waktu dan jangan capek-capek katanya. Suami yang mana? Suami orang? Ora sudi! Untunglah Ela tidak masuk ke dalam ruangan periksa, sehingga aku gak perlu menjelaskan banyak hal pada gadis yang kini tengah membantu memasukkan pakaianku ke dalam tas. "Tapi maaf saya jadi gak bisa nganter, Mbak," kata
Pov SriAku membaca pesan yang dikirimkan oleh David via pesan pribadi dari Facebook. Rasanya menyakitkan sekali, bagaimana aku bisa menjalani kehamilan ini seorang diri? Andai saja Rian masih ada, pasti nasibku tidak akan seperti ini. Aku tidak akan hidup dalam kesedihan yang dalam akibat apa yang dilakukan oleh David. "Kok berat banget hidup ini?" Keluhan menjadi sering aku ucapkan. Rasanya tidak mau lagi membaca pesan-pesan itu. Aku memutuskan untuk segera memblokir akun David dari facebook-ku. Semoga dia tidak akan mengirimkan pesan lagi, karena rasanya aku benar-benar enggan membaca pesan darinya. Membuatku terluka dan sakit hati.Aku hari ini benar-benar Rindu suamiku. Andaikan ia masih tetap bersamaku sampai saat ini ....Flashback (saat Sri menikah dengan Rian)Aku dan Kakang Rian terpaksa LDR karena pacarku itu yang harus bekerja di pabrik kapas di Jakarta. Meskipun kami menjalani hubungan jarak jauh aku percaya kalau ia bisa menjaga hatinya untukku. "Nanti setelah aku pul
7 bulan kemudian"Sayang, kamu lagi apa? Lama banget di toilet?" David berteriak dari depan pintu kamar mandi. "Tunggu sebentar Sayang." Mayang menyahut dari dalam toilet. Pagi hari ini seperti kebiasaannya, Dia sedang mengecek kehamilan. Mayang sudah terlambat 3 minggu dan berharap bisa mendapatkan momongan.Hatinya berdebar, sangat senang berharap bisa kembali mengandung anak David. Setelah kejadian menyakitkan saat ia keguguran 7 bulan yang lalu, Mayang belum juga diberikan kepercayaan untuk mengandung lagi"Semoga aku bisa hamil lagi." Mayang bergumam, sambil memegang tespek di tangannya. Menunggu hasil, sambil memejamkan mata dan berdoa. Tidak banyak harapan yang ia panjatkan, Mayang hanya berharap kalau ia bisa hamil lagi. Wanita itu kemudian melihat hasil tespek di tangannya. Senyum yang tadi terulas di bibirnya, tiba-tiba saja menghilang. Ia hanya menemukan satu garis merah di alat itu. Dan itu jelas saja menghancurkan harapannya. Mayang kemudian berjalan keluar melihat Dav
"Saya balik dulu ya, Sri?" "Iya, Mas Firman, Hati-hati di jalan. Makasih udah anter saya sampai rumah dengan selamat." Sri tersenyum pada kakak dari Ela yang sampai saat ini masih membantunya tanpa pamrih. Bahkan menyeberangi belasan kecamatan di Jakarta Selatan sana untuk bisa mengantarkan Sri cek ke dokter kandungan yang ada di kota Bogor. "Kalau nanti berasa mules, telepon aja saya ya. Saya nginep di rumah temen yang ada di Citeureup sini. Emang lagi ada kerjaan." Sri mengangguk mengerti. Jujur untuk saat ini ia hanya bisa mengandalkan Firman dan Ela untuk membantunya yang sedang hamil besar. Ia tidak percaya orang lain karena ada banyak rahasia yang harus ia tutupi. "Iya, Mas, makasih. Kata dokter tadi ini hanya kontraksi palsu. Namanya juga sudah masuk delapan bulan. Akhir bulan depan udah mau lahiran. Jadi emang suka gitu. " Firman mengangguk. "Jadi, jenis kelaminnya apa?" tanya Firman lagi sebelum pria itu menutup pintu mobil yang ia jadikan taksi online. Ya, Firman memang
Sayang sekali pintu lift tertutup saat David tiba di depannya. Lelaki itu menekan berkali-kali agar pintu terbuka, tetapi nomor sudah bergerak naik dan berhenti di angka tiga. David berlari lewat tangga darurat. Ia naik sampai ke lantai tiga dengan seluruh tenaganya. Ia berharap bisa mengejar Sri. "Permisi... Sus... " Napasnya terengah-engah. "Bapak kenapa? Apa yang bisa kami bantu?" tanya perawat ramah sekaligus keheranan."Sus, a-apa tadi lihat lelaki baju warna coklat, lewat sini sambil dorong wanita di k-kursi roda?" tanya David dengan napas yang masih setengah-setengah. Dua suster yang ada di hadapannya saling pandang. "Oh, mungkin di ruangan Adelweis, Pak. Itu ruangan bersalin. Ibu mau melahirkan." Untuk sementara David terdiam. Lalu kakinya kembali berlari untuk masuk ke dalam ruangan Edelweis. "Maaf, Bapak dilarang masuk. Bapak siapa?" satpam menahan lelaki itu."Itu, Pak, i-itu di dalam ada i-ibu anak saya saya." David menelan ludah. "Tidak boleh masuk. Di dalam sudah ad
"Ela, ini di mana? Bayi-bayiku di mana?" tanya Sri saat menyadari ruangan perawatan berbeda dari yang lain. Apalagi ruangan itu bukan wangi disinfektan, melainkan wangi bunga. Bahkan ada balon hias di tembok depannya persis di samping kanan dan kiri televisi. "Ini kamar apa?" ia kembali melihat ke bawah. Memastikan tangannya masih diinfus. "Ini bukan kamar perawatan yang aku bilang sama kamu. Aku BPJS kelas dua. T-tapi ini----""Ini kamar VVIP, Mbak. Ada orang baik yang membayarnya untuk Mbak Sri," ujar Ela dengan senyuman tulusnya. "Siapa?" tanya Sri penasaran. "Firman?" Ela tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kak Firman jual mobil taksinya itu, belum tentu bisa nebus obat Mbak Sri di rumah sakit ini. Apalagi bayar rumah sakit! Bukan Kak Firman, Mbak, tapi... ayahnya si Kembar." Ela menundukkan kepalanya karena takut. "Hah, apa? Ayahnya? Maksudnya?" suara pintu terbuka membuat Sri dan Ela menoleh dengan terkejut. Muncul Eva beserta suami dan juga David. Lelaki itu membawa
PoV MayangFlashbackAku berpacaran dengan David sudah lama sekali. Semua teman-teman dan keluarganya juga aku ketahui dengan baik. David lelaki penyayang dan juga baik. Ia juga tidak pernah marah atau merajuk. Aku sangat nyaman pacaran dengannya sampai bertahun-tahun lama. Nanti malam, ia ingin mengajakku bertemu dengan kedua orang tuanya di rumah. Kebetulan hari ini aku lagi gak dapat tugas jaga di IGD rumah sakit. Sehingga aku bisa menyiapkan diri. Bukan aku tidak pernah ke rumahnya. Aku sering ke sana untuk sekedar makan siang dan mengerjakan tugas. Semua menyambutku dengan baik. Termasuk pembantunya yang bernama Sri. Jujur, entah kenapa aku tidak begitu suka dengan wanita kampung itu. Ia begitu dekat dengan Robi. Bukan seperti pembantu dan majikan, tetapi seperti satu keluarga. Aku merasa risih karena pembantu di rumahku benar-benar pembantu, tidak bisa aku anggap keluarga karena memang bukan keluarga. Untunglah David tidak begitu dekat, sehingga aku bisa tenang. Tapi pembant
Somay gondrongPecel lele stasiun SenenNasi uduk tanah abangAsinan BogorAlpukat mentega metik langsung di kebunAneka kukisRendang asli dari PadangAku merasa sedikit sakit kepala saat membaca list makanan yang diinginkan istriku. Ini tidak mudah, tapi akan aku usahakan terpenuhi. "Mas, gimana?" tanyanya manja sambil menyandarkan kepalanya di lenganku. "Sayang, ini sih, kecil. Kemarin temenku ada yang istrinya hamil, ngidam suaminya lompat ke jurang dan harus dilakukan kalau nggak, istrinya yang mau lompat." Sri terbahak sambil memukul gemas lenganku. "Ih, serem banget, Mas. Ini gak sulit kan?" tanyanya lagi. "Tidak sayang. Ini sangat mudah. Tapi gak mungkin semua dapat hari ini, Sayang. Harus pesen tiket ke Padang dulu kan?""Dua hari ya. Rendang Padang boleh besok, sisanya hari ini. Anggap saja ini rapelan dengan kembar. Waktu hamil kembar, saya kan sendirian." Aku bergeser ke kanan untuk menatap wajah istriku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. "Siapa suruh ka
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata