"Ela, ini di mana? Bayi-bayiku di mana?" tanya Sri saat menyadari ruangan perawatan berbeda dari yang lain. Apalagi ruangan itu bukan wangi disinfektan, melainkan wangi bunga. Bahkan ada balon hias di tembok depannya persis di samping kanan dan kiri televisi. "Ini kamar apa?" ia kembali melihat ke bawah. Memastikan tangannya masih diinfus. "Ini bukan kamar perawatan yang aku bilang sama kamu. Aku BPJS kelas dua. T-tapi ini----""Ini kamar VVIP, Mbak. Ada orang baik yang membayarnya untuk Mbak Sri," ujar Ela dengan senyuman tulusnya. "Siapa?" tanya Sri penasaran. "Firman?" Ela tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kak Firman jual mobil taksinya itu, belum tentu bisa nebus obat Mbak Sri di rumah sakit ini. Apalagi bayar rumah sakit! Bukan Kak Firman, Mbak, tapi... ayahnya si Kembar." Ela menundukkan kepalanya karena takut. "Hah, apa? Ayahnya? Maksudnya?" suara pintu terbuka membuat Sri dan Ela menoleh dengan terkejut. Muncul Eva beserta suami dan juga David. Lelaki itu membawa
PoV MayangFlashbackAku berpacaran dengan David sudah lama sekali. Semua teman-teman dan keluarganya juga aku ketahui dengan baik. David lelaki penyayang dan juga baik. Ia juga tidak pernah marah atau merajuk. Aku sangat nyaman pacaran dengannya sampai bertahun-tahun lama. Nanti malam, ia ingin mengajakku bertemu dengan kedua orang tuanya di rumah. Kebetulan hari ini aku lagi gak dapat tugas jaga di IGD rumah sakit. Sehingga aku bisa menyiapkan diri. Bukan aku tidak pernah ke rumahnya. Aku sering ke sana untuk sekedar makan siang dan mengerjakan tugas. Semua menyambutku dengan baik. Termasuk pembantunya yang bernama Sri. Jujur, entah kenapa aku tidak begitu suka dengan wanita kampung itu. Ia begitu dekat dengan Robi. Bukan seperti pembantu dan majikan, tetapi seperti satu keluarga. Aku merasa risih karena pembantu di rumahku benar-benar pembantu, tidak bisa aku anggap keluarga karena memang bukan keluarga. Untunglah David tidak begitu dekat, sehingga aku bisa tenang. Tapi pembant
"Katakan Robi, apa ada hal yang kalian semua sembunyikan dariku? Terutama perihal Sri?" sekuat tenaga aku menahan tangis. "Aku tahu ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku. Perasaanku sebagai istri dan wanita gak bisa ditipu terlalu lama. Bukankah sebuah kebohongan tidak akan selamanya bisa ditutupi?""Mbak Mayang, sebaiknya langsung tanya mas David aja. Saya gak punya wewenang untuk menjelaskan. Saya takut salah. Saya juga gak terlalu paham yang terjadi. Saya tutup ya Mbak, dosennya sudah masuk." Robi memutus panggilan ku secara sepihak. Tanpa ia jelaskan pun, aku sudah tahu yang sebenarnya. Aku hanya ingin memastikan bagaimana bisa David; pria yang aku tahu sangat setia dan sangat mencintaiku, punya anak di luar nikah dengan pembantunya. Apakah Sri sengaja menjebak suamiku? Kapan kejadian itu? Kenapa aku tidak tahu? Jika seperti itu adanya, berarti suamiku sebenarnya main hati dengan pembantunya. Aku tidak makan malam. Ini sudah jam sembilan dan aku masih tidak berani bertemu
POV David"Kamu dari mana, Vid? Lama banget Mama tungguin. Lihat bayi ya?" tanya mamaku yang sedang duduk di samping Sri. "Iya, Ma, kangen." Aku tersenyum pada Sri, tetapi ia diam saja tanpa ekspresi. Ini sudah puluhan kali aku tersenyum padanya, tetapi senyumku sama sekali tidak dibalas. Padahal senyum itu sedekah. "Masih di inkubator?" tanya mamaku lagi. Aku mengangguk. "Gemes banget, pengen gendong tapi belum boleh." Mama tertawa, tetapi Sri lagi-lagi tanpa ekspresi. "Mama ke kamar mandi dulu ya." Sri mengangguk sambil tersenyum. Wanita itu kembali berbaring, lalu memejamkan mata. "Mbak Sri mau makan apa, biar aku pesankan," kataku pelan dan tidak yakin. Aku pasti diabaikan olehnya. Ia masih memejam mata. Satu hal yang belum pernah aku lakukan padanya. Kini, aku berjalan dan duduk di samping brangkarnya."Mbak Sri, maafin saya ya. Saya gak tahu perjuangan seperti apa yang Mbak Sri lalui dalam mengandung anak saya tiga bayi sekaligus. Saya waktu itu ke kampung mau menikahi Mbak
"Dokter Mayang'kan? Yang dinas di rumah sakit Harapan?" suster itu menyapa istriku. Untuk beberapa saat bisa sedikit mengurai keterkejutan ini. Dengan malas Mayang tersenyum, tetapi aku tahu ia terpaksa. "Saya Mira, mungkin dokter lupa dengan saya. Apa Dokter butuh sesuatu?""Ini bayi kembar siapa, Sus Mira?" tanyanya tanpa menatap ke arahku. Ia fokus memperhatikan dua box bayi yang berisi dua buah hatiku. Mungkin ia ingin menegaskan wajah anak-anakku. "Anak Bapak David dan ibu Sri Maharani. Pak David beruntung banget bisa dapat dua bayi lelaki sekaligus. Harusnya tiga, tapi yang bungsu kurang berat badan dan paru-paru mengalami gangguan." Aku melihat Mayang sangat terkejut. "Tiga? Wah, keren sekali. Selamat Pak David." Ia langsung berbalik begitu saja dengan jalan yang sedikit terburu-buru. Aku ingin menyusul, tetapi Sri sudah menunggu. "Ayo, Suster, kita ke kamar perawatan." Kami pun berjalan menuju kamar perawatan yang berada di lantai yang sama, hanya saja untuk rawat inap VV
Aku belum pernah melihat Mayang seperti sekarang. Bara kemarahan dan kekecewaan itu jelas sekali berkobar di matanya. Aku pun tidak bisa membela diri karena aku memang bersalah. Baik bagi Sri dan juga Mayang. Dua wanita harus aku rusak karena nafsu yang tidak bisa aku kendalikan. "Halo, Ma, apa Mama bisa ke rumah? Mayang sedang tidak baik-baik saja. Saya gak bisa pulang. Mama tolong ke rumah ya, menginap di rumah.""Loh, memangnya ada apa dengan kalian? Mayang kenapa, Vid? Kamu jangan bikin Mama takut.""Gak papa, Ma. Kami hanya lagi ada masalah sedikit. Mama ke rumah ya." Aku segera memutus panggilan itu, lalu bergegas pergi dari rumah yang kami beli dari hasil menabung. Aku punya hak atas rumah ini, tapi aku gak mau serakah. Aku sudah mengambil kebahagiaan Mayang dan aku gak mau semakin dipersalahkan untuk urusan uang. Biarlah sementara ini aku tidur di rumah mama. Aku juga masih harus bolak-balik ke rumah sakit'kan? Robi mengernyit saat melihatku menurunkan koper dari dalam mobil
Benar-benar panas dingin rasanya. Kayaknya waktu itu gak terlalu besar, kenapa sekarang besar sekali? Aku sedikit bergidik ngeri. Berkali-kali mengusap wajah yang tiba-tiba berkeringat karena pemandangan yang seharusnya tidak boleh aku lihat. Dua minggu aku puasa karena Mayang selalu bilang kelelahan. Sekarang aku disuguhi dengan.... "Mau saya buatkan minum, Pak?" tanya seorang wanita berseragam baby sitter. "Boleh, buatkan saya teh, tapi gak pake gula ya. ""Baik, Pak, ditunggu ya.""Oh, iya, Mbak, mama dan papa saya di mana?""Di samping, tadi lagi lihat pohon jambu biji yang sedang berbuah." Aku mengangguk paham. Rumah pak Herman memang besar, tapi baru kali ini aku masuk ke dalamnya, sehingga masih bingung. Ada kamar juga di lantai dua dan Sri memilih kamar di bawah. "Mbak, taruh saja tehnya di meja, saya mau ke samping." Aku segera menyusul mama dan papa yang tengah berbincang ringan sambil tertawa-tawa. Aura bahagia jelas sekali terpancar di wajah keduanya, tentu karena mere
POv HeruHari ini rasanya bosan juga di kantor. Kerjaan udah beres. Punya temen deket lagi dipingit. Minggu depan mau jadi pengantin. Emang harus gitu? Kayaknya gue saat mau nikah sama Citra tiga bulan lagi, gak gitu deh. Repot kalau di rumah aja dan gak boleh ngapa-ngapain. Mungkin kalau calon pengantin cewek gak papa dipingit. Ini pengantin cowok, buat apaa? Perawatan juga nggak. Sebuah pesan masuk ke grup temen-temen cowok alumni kampus. Khusus grup gak jelas dan mezum. Sebuah video di-share oleh salah satu temanku dan saat aku buka. Buset, video plus plus dimana. Di mana cewek bulenya seks! banget. Gue menoleh ke kanan dan kekiri memastikan tidak ada yang memperhatikan gue. Untung CCTV ruangan gue gak langsung mengarah ke meja, sehingga gak perlu takut kepergok nonton film biru begini. Keduanya bercakap-cakap sebentar. Si cewek nampak malu-malu, tetapi ... aku mendelik melihat adegan seterusnya. Badanku mendadak panas dingin. Kenapa aku yang nonton begini. Pernikahanku dan Cit
Somay gondrongPecel lele stasiun SenenNasi uduk tanah abangAsinan BogorAlpukat mentega metik langsung di kebunAneka kukisRendang asli dari PadangAku merasa sedikit sakit kepala saat membaca list makanan yang diinginkan istriku. Ini tidak mudah, tapi akan aku usahakan terpenuhi. "Mas, gimana?" tanyanya manja sambil menyandarkan kepalanya di lenganku. "Sayang, ini sih, kecil. Kemarin temenku ada yang istrinya hamil, ngidam suaminya lompat ke jurang dan harus dilakukan kalau nggak, istrinya yang mau lompat." Sri terbahak sambil memukul gemas lenganku. "Ih, serem banget, Mas. Ini gak sulit kan?" tanyanya lagi. "Tidak sayang. Ini sangat mudah. Tapi gak mungkin semua dapat hari ini, Sayang. Harus pesen tiket ke Padang dulu kan?""Dua hari ya. Rendang Padang boleh besok, sisanya hari ini. Anggap saja ini rapelan dengan kembar. Waktu hamil kembar, saya kan sendirian." Aku bergeser ke kanan untuk menatap wajah istriku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. "Siapa suruh ka
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata