Part 59
Mas Ilham membuang pandangan pada hujan di luar. Napasnya tersengal sebentar saat menahan emosi. Untuk beberapa saat kami terdiam.
Rasa sesak juga menghimpit dadaku sendiri. Tidak kupungkiri aku masih mencintainya, rasa sakit dan kecewa tidak merubah segalanya.
"Kenapa kita harus berpisah? Mas mencintaimu dan anak-anak. Berikan Mas kesempatan, Vi," ucapnya sendu.
"Aku hanya enggak ingin terluka lagi, Mas. Masalah kita yang kemarin sudah kumaafkan meski mungkin aku enggak akan bisa melupakan. Tapi aku takut, kelak akan ada Nura-Nura yang lain. Mas pria yang mapan. Karier Mas cemerlang, Mas juga tampan, berada di lingkaran pergaulan kelas atas. Jujur aku takut dikecewakan lagi. Aku takut Mas mengkhianati pernikahan kita lagi. Perempuan seperti Nura akan mengincar pria seperti, Mas. Tidak peduli beristri atau belum."
Mas Ilham menatapku lekat sambil mendekat. Dia
"Antarkan Mama ke toilet, Vi," pinta Mama padaku."Biar saya saja yang ngantar, Tante," sahut Nura cepat sambil berdiri."Enggak usah, terima kasih. Biar Vi saja," tolak Mama halus.Aku segera berdiri dan memapah beliau. Sedangkan tangan kiriku membawakan infusnya.Mama sudah jauh lebih baik. Tubuhnya cukup kuat untuk berjalan, tidak gemetar seperti kemarin."Sini saya bantuin, Ma," ucapku setelah meletakkan infus di capstok. Biar aku dapat membantu Mama membuka celananya.Wanita itu menahan tanganku sambil menggeleng."Mama enggak pengen kencing," bisiknya pelan. Kemudian beliau memutar keran air."Jangan hiraukan semua ucapan dia. Kamu harus kuat dan hati-hati. Bertahanlah dengan Ilham, jaga rumah tangga kalian. Kasihan anak-anak." Mama bicara sangat lirih di dekat telingaku. Tatapan netranya pen
Suasana makin gelap. Hujan juga belum berhenti."Mas, apa ada yang ingin kamu bicarakan lagi? Ini sudah mau Maghrib" tanyaku memandang Mas Ilham."Tidak ada, kita pulang sekarang. Kasihan anak-anak menunggu di rumah.""Pulanglah kalian. Nggak perlu mengantarku. Aku bisa pulang sendiri." Nura berkata pelan tanpa memandang kami."Aku hanya ingin minta maaf padamu, Vi. Aku telah menyakitimu selama ini. Aku juga ingin minta maaf pada Mas Ilham. Maaf, karena aku pernah memanfaatkan keadaan." Perempuan itu bicara dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan isak. Aku sebenarnya terkejut saat dia bicara tentang maaf.Hatiku tersentuh, entah kenapa aku melihat luka yang menganga di netranya. Jemarinya menyentuh mata dan melepas soft lens yang dipakainya, lantas membuangnya begitu saja. Melihat ambisinya yang selama ini menggebu-gebu, apakah penyesalannya ini su
Part 62Bunyi ponsel berdering tanpa henti. Sementara aku masih sibuk mengganti diaper Abian. Apalagi anaknya bakalan rewel kalau buang air besar tapi tidak segera diganti popoknya.Akhirnya kuambil ponsel dan menjepitnya antara bahu dan telinga. Misalnya ku loud speaker juga percuma, pasti suaranya tidak begitu jelas."Halo, Mas.""Kenapa tidak lekas di angkat teleponnya, mumpung Mas dapat signal bagus ini," omelnya."Maaf, aku lagi ganti popoknya Abian. Tahu sendiri kan dia bakalan rewel kalau popoknya enggak segera di ganti. Mas sudah makan siang apa belum?"Aku melangkah ke dekat jendela kamar setelah selesai mengganti popok. Abian sendirian di atas kasur."Sudah baru saja. Syifa sudah pulang sekolah? Mana dia, Mas mau bicara.""Lagi main di toko. Nanti saja kalau Mas telepon lagi baru ngomong sama Syifa. Enggak t
Part 63Selesai menidurkan Abian pagi itu, aku cepat-cepat berganti baju. Aku mau ke supermarket sebentar untuk membeli diaper untuk Abian, beberapa peralatan menulis untuk Syifa, dan membeli keperluanku sendiri.Abian dijaga Budhe yang sambil masak di dapur.Aku hanya melapisi kaos dengan jaket, memakai hijab instan, mengambil dompet, lantas menyambar kunci motor di gantungan kunci belakang pintu rumah.Suasana pagi ini tidak begitu panas. Angin juga semilir. Lalu lintas yang lengang membuatku cepat sampai ke tujuan.Troli ku dorong menuju rak perlengkapan bayi. Mengambil beberapa kebutuhan Abian lantas berlanjut ke rak keperluan sekolah.Ponsel di dompet berdering saat aku memilih perlengkapan sekolahnya Syifa. Sepagi ini Mas Ilham menelepon."Halo, Assalamu'alaikum Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi di mana ini. Ko
Ilham's POVSeminggu di lokasi baru benar-benar menyita tenaga dan pikiran. Bagaimana tidak, melihat amburadulnya proyek dan laporan keuangan yang banyak ketimpangan di sana sini, membuat kepala nyut-nyutan.Dan seminggu ini tim kami belum melakukan pekerjaan apapun selain merombak sistem kerja dan mencari solusi untuk pembenahan yang lebih cepat.Belum lagi para pekerja yang susah di atur. Mungkin ini yang membuat pengurus lama angkat tangan dan memilih pergi. Tapi mirisnya mereka pun melakukan banyak laporan keuangan palsu. Memang paket komplit lah tim kerja sebelumnya.Resort ini terletak di daerah pantai, di sebuah pulau dengan hutannya yang masih lebat. Resort ini mengutamakan potensi alam dan laut sebagai daya tariknya. Pemandangan ke arah laut, keindahan pantai, dan fasilitas olahraga air dimanfaatkan sebagai pertimbangan utama desain bangunan. Namun konsep awal yang sangat menar
Ilham's POVPonsel kumasukkan ke saku. Lega bisa bicara sama Vi dan Syifa. Kehadiran Abian menyelamatkan rumah tangga kami. Meski waktu itu Vi tetap ngotot belum ingin punya anak lagi, akhirnya lahir Abian juga."Kenapa aku hamil, ya, Mas? Padahal kita selalu pakai pengaman?" tanya Vi heran campur bingung saat itu. Sepulang opname dari rumah sakit."Ini rezeki, Sayang," jawabku.Dia tidak tahu, kalau dia lupa minum pil dan memintaku harus pakai pengaman. Benda itu diam-diam kubuat berlubang. Akhirnya sukses, bukan?Itu rahasia Mas, Vi.Ketika hendak berdiri dan kembali ke kantor, seorang wanita setengah baya menghampiri. Namanya Bu Asmi. Tukang masak yang juga mencucikan bajuku."Pak Ilham, saya izin mau naruh baju ke kamar, ya," ucap Bu Asmi sopan."Ya, Bu. Silakan."Bu Asmi melangk
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Aku buru-buru menyambar ponsel di meja dan menyentuh tombol hijau di layar. Sejak tadi ponsel berdering tapi aku masih di kamar mandi."Wa'alaikumsalam, Sayang. Dari mana tadi?""Aku masih di kamar mandi. Lagi ngeramasi rambutnya Syifa. Hari ini dia mau berangkat ngaji lebih awal.""Oh, pantesan. Mas telepon dari tadi enggak di angkat.""Mas, sehat, 'kan? Dua hari enggak nelepon. Aku kepikiran kalau Mas lagi sakit.""Alhamdulillah, Mas sedikit flu. Tapi sudah mendingan ini. Dua hari cuaca buruk, Vi. Jadi Mas tidak bisa nelepon.""Syukurlah kalau sudah membaik. Oh ya, Mas jadi pulang, 'kan?" tanyaku tidak sabar.Terdengar Mas Ilham menghembuskan napas kasar."Sepertinya Mas belum bisa pulang. Bagaimana jika Vi dan Abian yang nyusul Mas ke sini?""B
Ini, Ma. Papa mau ngomong sama, Mama!" Syifa memberikan ponselnya padaku. Sudah cukup lama dia bicara dengan papanya. Setelah itu dia berlari keluar. Bermain di teras dengan temannya."Halo, Mas.""Besok jadi di antar Mas Ahmad, 'kan?""Iya.""Penerbangan jam sembilan pagi. Sampai sini sekitar jam dua belas siang. Nanti pagi-pagi sekali Mas berangkat dari proyek.""Kasihan Syifa, Mas. Bolak-balik dia tanya, apa kita perginya jauh. Katanya kalau dia kangen mau minta di anterin sama Pak Nardi. Sedih aku tuh, Mas."Mas Ilham terdiam. Hembusan napasnya terdengar berat."Sebulanan lagi kita bisa pulang.""Hu um.""Syifa sekarang mana?""Lagi main di luar sama Mira. Sejam lagi guru lesnya datang. Ya udah, Mas. Aku mau ngambilin jemuran dulu, ya. Sekalian setrika."
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T