Vi Ananda's POV
"Sayang, kemeja abu-abu Mas mana, ya?" tanya Mas Ilham berdiri di depan lemari pakaian. Pandangannya menyapu isi lemari.
"Belum kusetrika, Mas. Pakai yang lain saja, ya," jawabku sambil mendekatinya setelah meletakkan mangkuk nasi, karena aku sedang menyuapi sarapan Abian.
Aku mengambilkan kemeja warna hitam di gantungan lemari satunya. Dan membantunya mengancingkan kemeja. Hari ini dia ada jadwal rapat sama Pak Petra dan bosnya. Mungkin sebentar lagi rombongan mereka sampai di proyek.
Mas Ilham mengangkat daguku hendak mencium bibir. Namun aku mengelak. "Jangan, nanti Abian ngelihat," tolakku.
Dia tersenyum. "Awas, ya, nanti!"
Mas Ilham melepaskan tangannya yang memegang pinggang. Mengecup kening lantas mendekati anaknya yang sedang bermain.
Kami sudah pindah ke kamar yang lebih luas setelah bangunan sudah banyak ya
Arvan's POVJam enam pagi aku sudah stand by di depan sekolahnya Rama. Aku dan Ibu hanya menunggu di dalam mobil. Tiga puluh menit kemudian sebuah mobil sedan berhenti di depan sekolahnya Rama. Pertama aku tidak begitu memedulikan. Ketika seorang anak laki-laki keluar dari mobil, aku segera memberitahu ibu."Itu Rama, Bu.""I-itu, yang berdiri di samping sedan?" tanya Ibu sambil menunjuk mobil yang terparkir tidak jauh dari mobilku."Iya.""Subhanallah, sudah remaja dia, Van. Itu anakmu?"Aku mengangguk. "Biasanya naik bus sekolah, Bu. Mungkin itu papanya yang mengantar. Tapi biasa pakai Fortuner, bukan mobil sedan."Baru saja selesai bicara, pintu kemudi terbuka. Keluarlah seorang wanita memakai gamis bunga-bunga dan hijab warna putih. Dia Melinda. Wanita itu mengejar dan memanggil Rama sambil menunjukkan botol air yang ter
Arvan's POVAku kehilangan jejak Anggun. Padahal aku yakin dia melewati jalan ini tiap kali pulang dari kantor. Mestinya dia bisa terkejar, tapi tidak kutemukan sosoknya. Apa dia lewat jalan lain?Kalau kuhubungi ponselnya pasti dia akan makin gugup di perjalanan. Akhirnya aku memutuskan untuk langsung menuju ke rumahnya. Aku pernah ke sana ketika takziah dulu.Suasana rumah Anggun cukup ramai. Bapak-bapak duduk di halaman depan. Di kursi yang menyebar di bawah pohon rindang depan rumah. Kaum perempuan duduk di teras rumah dan beberapa orang mondar-mandir untuk mempersiapkan pemakaman.Setelah beberapa saat mengamati aku segera turun dari mobil. Aku tetap santai meski menjadi pusat perhatian. Seorang laki-laki setengah baya mempersilakan aku duduk di kursi teras.Sekilas aku melihat Anggun sudah bersimpuh sambil di rangkul oleh seorang wanita muda.
Arvan's POVDan terjadi juga apa yang aku takutkan. Rama, dia adalah separuh jiwaku yang terpisah. Aku kehilangan sebelum mendapatkan pengakuan."Bang, kenapa diam saja. Kenapa nggak dilawan," tanya pelayan kafe."Nggak apa-apa. Memang saya yang salah," jawabku. Aku kembali duduk di kursi yang sudah kembali disusun oleh pelayan kafe. Bibirku pecah mengalihkan darah."Pak Arvan, kenapa dengan Bapak ini?" Anggun yang tiba-tiba muncul mendekati dengan panik."Nggak apa-apa.""Kok nggak apa-apa. Bibir Bapak berdarah gitu, lho!" Dia menunjuk bibirku."Abang ini tadi di hajar oleh seorang laki-laki tinggi besar, Mbak. Tapi dia nggak mau membalasnya." Seorang pelayan menjelaskan pada Anggun."Aku memang yang salah. Jadi sudahlah, nggak apa-apa."Aku mengambil tisu dan mengelap bibir.
Vi Ananda's POVJarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil melihat-lihat foto anak-anak di galeri ponsel. Tadi sudah banyak artikel yang kubaca, sampai bosan menunggu. Abian juga tidak terdengar menangis. Dia pasti kelelahan setelah main seharian dan tidak mau tidur siang pula.Capek. Akhirnya aku menarik selimut dan memutuskan untuk tidur. Baru juga memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Mas Ilham tersenyum."Mau tidur, ya?" tanya Mas Ilham sambil melepaskan jaketnya.Aku bangun dan kembali duduk. Mas Ilham mendekat, memberikan ciuman di keningku. Kemudian dia masuk kamar mandi. Saat dia sibuk membersihkan diri, aku bergegas membuka lemari. Mencari lingerie ditumpukkan baju. Belum sempat ketemu, lengan kokoh itu telah melingkar di pinggang.Embusan napasnya di tengkuk menimbulkan denyar seperti biasanya saa
Melinda's POVAku segera membersihkan diri dan ganti baju. Kemudian kami melaksanakan Salat Isya berjamaah. Dalam doaku andai rahasia ini terbongkar, aku ingin semua tetap baik-baik saja seperti sebelumnya. Aku tidak ingin Rama berubah."Sayang, mau cerita apa?" Bang Petra menepuk ruang di sebelahnya, setelah aku selesai melipat mukena.Kami sama-sama bersandar di kepala ranjang. Aku mulai cerita tentang kemarin. Pertemuan Bang Dodi dan Arvan. Kecurigaan Bang Dodi, pengakuan Arvan, perkelahian mereka, dan ancaman Bang Dodi pada Arvan.Lagi-lagi air mataku tak bisa kubendung. Aku terisak. Andai Bang Petra tanya kenapa aku menangis, aku tidak tahu jawabannya. Bagiku semua sangat pedih.Dia merangkul pundakku. Menenangkan dengan tidak berkata apa-apa. Setelah mulai tenang. Bang Petra baru bicara. "Apapun yang terjadi kita hadapi sama-sama.""Ya."
Melinda's POVGerimis turun sore itu. Anak-anak tidak pergi mengaji. Vita, Puspa, dan Pasya asyik bermain lego di karpet depan TV. Sedangkan Rama membaca buku di sofa ruang tamu. Seminggu setelah dia tahu yang sebenarnya, Rama menjadi pendiam. Dia hanya bicara seperlunya saja. Walaupun masih tetap menemani adiknya bermain.Aku berdiri dan mendekatinya. Duduk tepat di sebelahnya. Rama menoleh dan tersenyum."Kakak, belajar apa?" tanyaku hati-hati."Biologi, Ma. Besok ada ulangan harian." Dia menunjukkan buku yang dipegangnya."Tapi Kakak, nggak apa-apa, 'kan? Kakak banyak diam sekarang."Rama meletakkan buku di pangkuannya. "Rama nggak apa-apa, Ma. Mama, nggak usah khawatir."Aku mengusap rambutnya pelan. Aku bisa tahu apa yang sedang dia rasakan. Kenyataan ini tentu saja tidak mudah baginya. Setelah selama ini nyaman tanpa t
Arvan's POVWaktu terus berlalu. Seminggu, dua minggu, sebulan, tapi masih belum ada kabar dari Melinda. Benarkah Rama membenciku?Di tengah kebimbangan dan kekalutan pikiran, aku makin dekat dengan Anggun. Intensitas kebersamaan kami hampir setiap hari, karena pekerjaan. Hingga aku berani menceritakan tentang kisah hidupku. Dia tidak serta merta menghakimi, justru dia salut dan simpati. Sebab ada sebagian orang tidak lagi peduli apalagi tanggung jawab kepada anak dari wanita yang telah dihamilinya.Pernah suatu hari aku mengajaknya mampir ke rumah setelah mengurus keuangan di Bank. Malamnya Ibu mengatakan ketertarikannya dengan wanita itu. Memberiku semangat agar mendek
Jemariku mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu hingga menimbulkan suara yang berirama. Kulakukan ini hanya untuk menutupi rasa gelisahku.Aku memang sengaja datang lebih awal di sebuah kafe pinggiran kota. Kafe tempat aku pernah bertemu dan bicara berdua dengan Melinda. Aku memilih duduk di gazebo samping kafe yang tertutup dinding bambu berplitur cokelat setinggi pinggang.Dadaku berdebar dan tangan mulai gemetar setelah melihat jam tangan dan tentunya sebentar lagi mereka akan datang.Aku memandang hamparan sawah dan perbukitan di kejauhan sana. Semilir angin menyejukkan tubuhku yang mulai berpeluh. Dalam angan aku berekspektasi tentang pertemuan kali ini. Kami sepakat bertemu jam dua sore.Detak jantungku makin melaju saat kulihat sebuah mobil Pajero warna hitam memasuki halaman parkir yang luas itu. Tidak lama kemudian turun tiga orang yang kutunggu. Pak Petra memakai setelan santai kaos berkerah war
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T