Melinda's POV
Warna jingga di langit sebelah barat mulai pudar warnanya. Gelap malam kian membayang. Ingin sekali punya teman bicara, tapi balasan pesan dari Vi belum kuterima. Begitu susahnya signal di sana. Kalau tidak repot mengambil rapotnya anak-anak, aku ingin sekali datang menemui Vi, menginap di sana barang semalam saja.
Rama mendekatiku yang berdiri di teras samping rumah.
"Ma," pangginya sambil menyentuh tanganku.
"Kakak, ada apa?" tanyaku.
"Besok, setelah pulang ngambil raport. Rama ingin jalan-jalan sama Mama. Berdua saja."
Dahiku mengernyit heran mendengar permintaannya. Baru kali ini Rama ingin hanya jalan berdua denganku. Biasanya selalu ramai-ramai dengan adiknya.
"Bisa, 'kan, Ma?"
Akhirnya aku mengangguk. "Bisa, Kak."
"Aku yakin Mama adalah ibu yang hebat. Mama
Melinda's POVDokter Herlina, SpOG. Tulisan dengan huruf warna keemasan itu menempel di pintu ruang praktek dokter kandungan. Dia dokter langgananku sejak aku hamil Vita. Dokter Herlina ini juga teman SMA-ku dulu.Di bangku besi ruang tunggu ini masih ada beberapa orang yang antri periksa. Dua di antaranya sedang hamil besar. Masih dua nomer lagi baru tiba giliranku.Bang Petra sibuk menerima panggilan telepon dari kantor dan tim kerja. Sepertinya dari Ilham, mereka ada janji bertemu."Kalau Abang repot, Abang tinggal kembali ke kantor saja. Nanti aku kabari hasilnya," saranku setelah dia selesai menelepon."Tidak perlu. Setelah ngaterin kamu pulang, baru Abang kembali ke kantor.""Apa Pak Ilham ke mari?""Pak Ilham tidak ke sini. Dia mengurus keperluan di kota kabupaten.""Oh."
Melinda's POVSaat sedang tiduran di kamar aku mendengar Vita dan Rama pulang sekolah hampir bebarengan. Aku lega mendengar suara anak lelakiku yang ceria bicara sama adiknya. Berarti Arvan tidak menemuinya. Biasanya kalau ada apa-apa dia langsung menemuiku dan bertanya.Kuraba perut yang masih rata. Hamil? Rasanya masih tidak percaya aku mengandung lagi. Meskipun tiga kali lancar saat melahirkan, tapi memang tidak ada niat mau tambah anak. Mengingat hubunganku dengan Bang Petra yang rumit lima tahun terakhir ini.Tanggungan Bang Petra makin berat sekarang. Dia harus menanggung lima anak dan dua istri. Aku tersenyum getir.'Semoga kamu kuat, Bang. Dan aku juga sanggup hidup begini demi anak-anak.'Aku mengambil ponsel yang berdering di dalam hand bag di atas nakas. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari Vi. Dia membalas pesanku. Akhirnya aku mengabarkan kehamilan ini
Vi Ananda's POVSetelah turun dari mobil yang di kemudikan Didit, aku berjalan tergesa menuju ruang IGD. Didit dan Sekar yang menggendong Abian berjalan menyusul di belakangku.Sampai di depan pintu kaca, seorang perawat laki-laki menahanku. "Maaf, Ibu ingin menjenguk siapa?" Dia bertanya."Saya istrinya Pak Ilham yang kemarin pagi kecelakaan tunggal.""Oh, beliau ada di ruang perawatan. Mari saya antar."Aku mengikuti perawat menyusuri lorong rumah sakit. Didit dan Sekar ikut melangkah cepat mengikuti di belakang.Pintu kamar perawatan di dorong oleh perawat tadi. Mas Ilham duduk kursi sebelah brankar, tempat berbaring Nino, sopirnya. Aku menubruknya, sampai dia menjauhkan tangan kanannya yang terbalut perban dariku.Melihatnya bisa duduk dan bercanda dengan sopirnya aku merasa lega. "Mas, enggak apa-apa?" tanyaku.&
Petra's POVSetelah Exel tidur aku keluar kamar perawatan untuk menelepon Melinda. Untuk memberitahunya kalau malam ini aku tidak bisa pulang. Sebab kemarin malam waktu aku tinggal pulang, Exel menangis mencariku saat terbangun tengah malam.Diagnosis dokter, Exel terkena typus.Dua kali panggilanku di abaikan. Pesan yang kukirim juga belum ada balasan. Marahkah dia?Dari teras rumah sakit aku menatap malam yang kelam. Rintik hujan turun perlahan. Hawa dingin menyapa tubuhku yang hanya terbalut t-shirt warna hitam.Satu deringan mengalihkan perhatian. Ada balasan dari Melinda. Hanya kata 'iya' sebagai balasan pesan panjang yang kukirimkan."Nak Petra," suara ibunya Winda memanggilku. Sudah tiga hari ini beliau mengunjungi putri dan cucunya.Beliau mengajakku duduk dan bicara di bangku besi tidak jauh dari depan k
Petra's POVAku segera masuk kamar setelah dokter Herlina pamitan. Lumayan lamalah mereka ngobrol tadi.Melinda masih berbaring, tapi tidak ada kompres lagi di keningnya."Bagaimana?" tanyaku sambil duduk di sampingnya. Kupegang jemarinya yang dingin."Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik," jawabnya bersamaan dengan senyum yang terbit di bibirnya.Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul sebelas malam. Aku menahan diri untuk tidak bertanya malam ini, Melinda butuh istirahat."Tidurlah, jaga kesehatanmu dan bayi kita." Kuusap perutnya yang masih rata. Tidak lama kemudian Melinda memejam.Setelah dari kamar mandi aku memeriksa ponsel. Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Winda. Exel memang sudah jauh lebih baik. Semoga saja besok dia sudah diperbolehkan pulang.Lelah seharian berkutat dengan pe
Petra's POVBau harum kopi yang dibawa Melinda masuk kamar membuyarkan lamunanku. Aku segera bangun dan duduk. Setelah meletakkan cangkir kopi di nakas, aku menarik pelan lengan Melinda untuk duduk di sebelahku."Lin. Masih ingat bagaimana dulu kita pertama kali kenal."Dahi istriku mengernyit. Tidak paham maksud dari kata-kataku."Aku magang di perusahaan Om Broto saat kamu masih kuliah di semester akhir. Kamu jual mahal tiap aku perhatikan."Tentu saja dia jual mahal, karena saat itu sedang hangat-hangatnya pacaran dengan Arvan.Melinda masih belum paham arah pembicaraanku."Kita mulai dekat setelah kamu wisuda dan kerja satu kantor dengan Abang."Melinda mau mengangguk. Jemarinya kugenggam erat dan kuletakkan di atas pahaku."Abang mencintaimu sejak pertama kali mengenalmu hingga
Vi Ananda's POV "Kita berhenti minum dulu, Vi," kata Mas Ilham melambatkan laju kendaraan. Tidak jauh di hadapan ada warung kopi. Mobil terparkir di halaman samping warung. Untuk sampai ke kota harus menempuh perjalanan satu jam lagi. Mas Ilham membuka pintu untukku dan mengambil Abian dari pangkuan. Kami mau sambang pulang. Mas Ilham cuti dua minggu. Di samping kemarin juga di kabari kalau Mama mertua sedang sakit. Rindu putra bungsunya. Warung itu sepi. Hanya ada dua orang yang sedang minum kopi di salah satu bangku. Mas Ilham juga pesan kopi hitam, sedangkan aku pesan teh hangat dan roti bakar. "Nanti, Vi sama Abian, Mas antar ke hotel dulu. Baru Mas nemui Pak Petra ke kantornya." "Gimana kalau, Mas, nganterin aku ke rumah Pak Petra saja. Aku pengen ketemu sama Bu Melinda. Pengen ngobrol." Mas Ilham tampak berpikir sejenak.
Winda's POVNamun begitu aku masih mencintainya sampai detik ini. Ketika aku mulai terima jadi istri kedua, tapi justru Bang Petra makin menjauh. Pandanganku mulai mengabur. Aku mendongak untuk menghalau embun yang hendak menetes. Tari menggeser duduknya dan merangkul pundakku."Dari mana kamu tahu, kalau istrinya hamil lagi?" tanyaku penasaran."Aku melihatnya di mall kemarin sore." Berpikirlah secara waras, Win. Jangan begini terus. Sampai kapan kamu mau disebut sebagai pelakor, hah."Tangisku pecah. Pelakor? Menyakitkan sekali gelar itu. Aku memang wanita kedua, tapi aku tidak pernah menuntut Bang Petra untuk menceraikan istrinya. Tidak pernah sekali saja aku memintanya begitu.Memang aku pernah datang ke rumahnya beberapa kali atau menghubungi istrinya hanya untuk membuat kekacauan. Semua itu kulakukan karena aku hanya ingin perhatian. Aku ingin anakku di
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T