“Siapa yang datang ya? Apa yang harus aku lakukan? Tapi ini kesempatanku, biar orang tahu kalau aku dianiaya Mas Alan.”Aira pun memantapkan diri untuk membuka pintu. Ia terkejut melihat siapa yang datang, Gunawan, papa mertuanya. Gunawan tampak kaget melihat wajah Aira.“Masuk, Pa.” Suara Aira terdengar bergetar menahan tangis. Semakin ia berusaha menahan tangis, air mata malah keluar dengan sendirinya.“Kamu kenapa, Aira?” tanya Gunawan dengan suara yang terdengar cemas.“Alan yang melakukan ini?” tanya Gunawan lagi. Aira hanya mengangguk sambil menangis.Gunawan langsung masuk ke dalam mencari Alan, ketika melewati ruang keluarga ia melihat Kenzo tertidur di sofa. “Alan dimana?”“Tadi di kamar, Pa.”Gunawan mengangkat Kenzo untuk dibawa ke kamar. Aira mengikuti Gunawan dari belakang. Aira membuka pintu kamar, tampak Alan sedang berbaring. Ia tidak tidur, tapi memikirkan banyak hal.“Alan.”Alan segera menoleh, karena ia hafal betul suara siapa itu.“Pa, kapan datang?” Alan segera
“Kalau ngomong itu dipikirkan dulu, jangan sembarangan!” Dewi tampak marah.“Kenyataan, Ma,” gumam Trisa sambil mengunyah makanan. Ia kesal dengan sikap Dwita yang menurutnya terlalu berlebihan mencintai Reza. Dwita dalam diamnya menghapus air mata yang menetes di pipi. Alan menjadi kasihan melihatnya. Ia jadi teringat kalau Aira memang pernah menyumpahi kalau adik-adiknya akan diselingkuhi. Entah benar atau hanya kebetulan saja, tapi nyatanya sumpah Aira terjadi juga.“Kamu masih mending, Dwita. Karena kalian belum menikah, kalau Aira? Sudah menikah malah diselingkuhi.” Gunawan melirik ke arah Alan.“Sebenarnya Papa membela siapa sih? Apa mentang-mentang menantu kesayangan dibela terus? Memangnya Alan selingkuh dengan siapa?” tanya Dewi.“Tanya sendiri sama orangnya.” “Dengan siapa Alan?” Dewi jadi penasaran.“Firda.” Alan berkata dengan pelan.“Wah, bagus dong! Sudah, kamu menikah saja dengan Firda. Mama sangat mendukung.” Mata Dewi berbinar-binar mengetahui siapa selingkuhannya A
“Mbak Aira, aku tahu Mbak Aira ada di dalam!” teriak orang itu lagi.Aira masih terdiam, ia memandang ke arah Vani meminta pendapat. Vani menganggukkan kepala. Aira mengintip dari balik kaca, jantungnya berdetak dengan kencang melihat siapa yang datang. Ia menjadi ragu mau membuka pintu.“Mbak Aira, aku datang bukan untuk membuat masalah. Percayalah.”Aira menguatkan hati untuk membuka pintu, karena ada Vani bersamanya. Setidaknya ia ada teman jika terjadi sesuatu.Ceklek! Dwita yang berada di depan pintu sangat terkejut melihat wajah Aira. Ia tidak menyangka jika kakaknya tega melakukan penganiayaan pada Aira. Ia pikir wajah Aira tidak bengkak dan lebam seperti ini.“Mbak Aira,” gumam Dwita.“Kamu pasti tertawa melihatku seperti ini. Apalagi Mama dan Trisa. Silahkan tertawa sepuasmu.” Aira berkata dengan tenang.“Enggak Mbak, aku tidak akan menertawakan Mbak Aira. Boleh aku masuk?”Aira mengangguk, Dwita pun masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi ia terkejut, kali ini karena melihat sosok
Bara terkejut melihat siapa yang datang.“Masuk, Pa. Firda ada di dalam,” kata Bara sambil mencium tangan papa mertuanya.Hendrawan, papanya Firda, hanya tersenyum terpaksa. Wajahnya tampak datar, sepertinya ia akan marah. Hendrawan berjalan menuju ke dalam, ada Firda yang asyik dengan ponselnya.“Ehem!” Hendrawan berdehem, karena melihat Firda terlalu asyik dengan ponsel. Firda langsung menoleh.“Eh, Papa.” Firda menyambut papanya dengan bahagia. Setidaknya amarah Bara terhenti sejenak karena kehadiran papanya.“Syukurlah Papa datang, Papa akan membelaku. Bara pasti akan tunduk dengan Papa,” kata Firda dalam hati. Ia merasa menang melawan Bara.Hendrawan hanya tersenyum sebentar, kemudian duduk di sofa. Bara juga duduk menemani sang mertua.“Kok Papa tampak aneh, ada apa ya? Apakah ada hubungannya dengan Bara yang marah tadi?” kata Firda dalam hati.Firda berjalan ke dalam, rencananya ingin mengambilkan minuman untuk papanya.“Mau kemana kamu?” tanya Hendrawan.“Ambil minuman untuk P
“Mau ditendang lagi?” tantang Aira, ia pun pura-pura bersiap-siap untuk menendang. Alan masih mengerang kesakitan sambil memegang yang sakit. “Tendang lagi?” ejek Aira.“Ja-jangan.” Alan mengangkat tangannya menunjukkan kalau ia menyerah. Alan beranjak perlahan sambil meringis menahan sakit untuk menuju ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Ia sangat tidak berdaya.Melihat Alan tidak berdaya, Aira sebenarnya merasa kasihan. Ia pun segera masuk ke kamar mandi untuk mandi wajib. Di bawah guyuran shower, Aira menangis tersedu-sedu. Ia merasa dirinya sangat kotor karena sudah diper*osa Alan. Puas menangis, Aira menyudahi mandinya. Di tempat tidur, Alan tampak tertidur pulas. Sebenarnya Aira merasa kasihan melihat Alan. Tapi teringat perlakuan Alan, membuat Aira menjadi emosional. Ingin rasanya ia membangunkan Alan dan mengusirnya dari rumah ini. “Pulanglah ke rumah Papa,” kata Aira ketika melihat Alan sudah bangun dari tidurnya. Aira sendiri bermain bersama dengan Kenzo.“Kenapa? I
“Saya punya teman yang….” Belum sempat Irwan melanjutkan, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah mereka.“Ternyata perusahaan hanya menggaji orang-orang yang kerjanya ngerumpi. Pantas saja kalau keuangan perusahaan menjadi defisit! Bara harus tahu kerja anak buahnya!” Suara Firda terdengar mengejek dan tatapan mata sinis melihat ketiga orang itu secara bergantian.Ketiga orang itu kaget, terutama Aira.“Maaf, Bu, saya hanya mau menanyakan tentang pekerjaan saja. Pak Bara sedang keluar, Bu, tidak ada di ruangannya.” Irwan berkata dengan tenang.“Saya mau bicara dengan Aira!” Suara Firda terdengar menakutkan di telinga Aira. Aira kaget, bukannya ia takut dengan Firda. Tapi posisinya sekarang ada di kantor, dan Firda punya kekuasaan. Beda kalau berada di luar.“Ngapain kamu melihat saya seperti itu! Memangnya kamu ada masalah dengan saya! Atau Aira sudah menceritakan yang jelek-jelek tentang saya!” kata Firda sambil menatap tajam ke arah Vani. “Enggak ada apa-apa, Bu.” Vani
“Ehem!” Vani berdehem, membuat ketiga orang tadi sangat terkejut. Wajah mereka pucat pasi.“Kalau nggak tahu masalahnya, jangan menyebarkan cerita bohong. Timbulnya fitnah itu.” Vani berkata dengan kesal.“Kamu itu temannya, makanya kamu membela,” cibir salah satu diantara tiga orang itu.“Maaf, aku nggak ikut-ikutan.” Perempuan yang memakai pakaian warna navi mencoba menjelaskan.“Iya, aku tahu kok, Irma. Kamu tadi sempat mengingatkan mereka berdua. Tapi memang mereka berdua ratu ghibah, wajar kalau senang dengan berita yang belum jelas. Jadi mereka berdua ada kerjaan.” Vani mantap wajah mereka berdua.“Halah, sok suci kamu Van. Biasanya juga suka dengan gosip.”“Masalahnya yang kamu bicarakan tadi tidak benar, Sinta?” Vani membela diri.“Aku dengar dari Weni, katanya Aira itu mencoba menggoda Pak Bara.” Sinta mencoba membela diri.“Kamu tahu dari mana, Weni?” tanya Vani.“Tadi Bu Firda marah-marah, bukankah kamu tadi juga tahu?” Weni menjelaskan.“Enggak marah-marah, hanya berbicara
“Ada tamu kok malah ditinggal, nggak punya sopan sama sekali.” Dewi berteriak dengan suara yang keras. Aira berhenti sejenak, sebenarnya ia emosi, tapi tetap berusaha tersenyum dan berbicara.“Ada tamu kok mau mengusir tuan rumah. Nggak malu, Ma?” Ucapan Aira terdengar mengejek di telinga Dewi membuat Dewi menjadi emosi. Ia pun langsung berteriak sambil menunjuk-nunjuk muka Aira.“Apa kamu bilang? Ini rumah Alan, Mama berhak untuk mengusirmu. Kamu itu hanya numpang hidup dan jadi beban Alan.”Aira langsung menatap tajam ke arah mertuanya. Emosinya sudah di ubun-ubun. Mereka berdua sudah dikuasai oleh emosi.“Ma, lebih baik Mama pulang saja! Apa perlu aku teriak-teriak biar tetangga berdatangan?” tantang Aira.“Oh, kamu sudah berani melawan Mama ya?” Dewi langsung berkacak pinggang, Trisa malah asyik merekam kejadian ini.“Kenapa nggak berani? Mama sudah sangat kelewatan. Mama tidak berhak atas rumah ini. Kenapa sih yang ada dipikiran Mama hanya harta saja? Harta tidak dibawa mati!”
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d