Raka menatap pesan dari Nadia dengan perasaan campur aduk. Jemarinya menggenggam ponsel erat, matanya terpaku pada teks pendek itu.
Raka kemudian menghela napas panjang, menyadari bahwa apapun yang ia lakukan selanjutnya akan berdampak besar pada hubungannya dengan Sarah. Membantu Nadia berarti menambah luka di hati sang istri. Namun, mengabaikannya juga tidak semudah itu. Pikirannya berputar, tetapi akhirnya ia mengetik balasan singkat dengan hati-hati.
[Maaf, Nad. Istriku lebih penting.]
Setelah mengirim pesan itu, ia menatap layar beberapa detik lagi, memastikan pesan terkirim. Hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski ia tahu perjalanan untuk memperbaiki hubungannya dengan Sarah masih panjang.
Raka berdiri dari sofa, melangkah ke kamar mereka. Ia mengetuk pintu perlahan sebelum masuk, menemukan Sarah duduk di ujung tempat tidur dengan kepala tertunduk. Bahunya sedikit bergetar, suara tangisnya tertahan.
"Sayang," panggil Raka lembut,
"Enggak bisa gini, Ra."Dini langsung menunjukkan suara protes dengan nada tegas. Wajahnya menampilkan ekspresi serius, matanya menatap Sarah tajam.Sementara itu, Lira yang duduk di sebelahnya, tampak ragu untuk berkomentar. Ia lebih memilih menjadi pendengar, meskipun jelas terlihat dari kerutan di dahinya bahwa ia merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi.Sarah sendiri hanya diam, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah, terutama setelah Dini mendengar ceritanya soal Nadia. "Mereka enggak akan ngelakuin hal di luar batasan, toh masih di kantor juga," kata Sarah akhirnya, mencoba memberi alasan yang bahkan ia sendiri tidak sepenuhnya yakin.Namun, Dini tidak puas. Dengan nada tajam, ia berkata, "Eits, jangan salah. Pernah dengar istilah ala bisa karena terbiasa enggak sih?"Kata-kata barusan membuat Sarah terdiam sejenak. Ia hanya mampu memberikan anggukan kecil, tidak tahu harus menjawab apa.
“Rahasia cewek, Pak,” jawab Dini dengan senyum penuh kemenangan setelah melihat anggukan kecil Sarah.Raka menaikkan satu alisnya, lalu segera masuk ke dalam kamar, sama sekali tak menaruh rasa curiga pada ketiga perempuan itu. Sekarang giliran Sarah yang jadi ketar-ketir sendiri.“A-aku harus gimana, Din?” tanyanya dengan nada ragu-ragu.“Serahin ke aku dan Lira. Pokoknya kamu nurut aja sama yang kita omongin,” Dini menjawab dengan begitu antusias, sementara Lira meresponnya dengan kekehan pelan.Keesokan paginya aksi pun dimulai walaupun udara masih terasa dingin. Sarah terbangun lebih awal dari biasanya. Dia terus menyibukkan diri hingga bias sinar matahari pagi menembus jendela kamar, memantulkan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat sedikit pucat karena tidur larut malam.Sementara di dapur, aroma harum kopi dan roti panggang mulai memenuhi udara. Sa
“Angkat dulu, Mas. Siapa tahu penting,” kata Sarah, nadanya lembut namun tegas, ketika suara dering ponsel mulai memecah keheningan.Namun, Raka tetap bergeming. Sorot matanya masih fokus menikmati keindahan paras istrinya yang kini berada di bawah kungkungannya. Gelombang rasa sayang yang baru tumbuh itu mengalahkan semua gangguan di sekitarnya.“Biarkan saja,” gumam Raka sambil tersenyum, jemarinya dengan lembut mengusap pipi Sarah. “Lihat nih, sudah jam sepuluh malam. Tidak ada alasan untuk bekerja, Sayang.”Sarah terkekeh, rona merah di wajahnya semakin nyata. “Kalau ada yang penting gimana?” ia mencoba menggoda.“Enggak ada yang lebih penting dari istriku ini,” jawab Raka tanpa ragu, menatap Sarah dengan penuh kasih.Sarah hanya mengangguk kecil, membiarkan dirinya terhanyut dalam pelukan sang suami tercinta. Ia merasakan kehangatan yang berbeda. Setelah begitu lama terjebak dalam hub
Marah. Itulah emosi pertama yang hampir menguasai Sarah begitu melihat pemandangan di depan matanya. Namun, ia segera mengingat pesan Dini sebelum memutuskan untuk datang ke kantor Raka."Ingat ya, Ra. Pokoknya jangan biarin Bu Nadia senang. Apapun yang kamu lihat nanti, coba bawa santai aja."Baiklah, Sarah akan menurut. Ia mengatur napas dalam-dalam, mengusir semua keraguan. Wajah yang semula dipenuhi kekecewaan perlahan berubah cerah kembali. Senyum tipis terlukis di bibirnya, dan ia melangkah masuk ke ruangan Raka dengan percaya diri."Aku tiba-tiba aja kangen, Mas. Tadinya mau ajak kamu nyicipin cake rasa cokelat ini," ucapnya dengan nada ringan, menunjukkan kotak cake yang ia beli di toko terkenal di dekat kantor. "Tapi mungkin kamu lagi sibuk ya?" gumamnya, matanya sesekali melirik ke arah Nadia.Raka yang semula tampak kaget dengan kehadiran Sarah, segera bangkit dari kursinya. “Enggak, Sayang. Ayo!” katanya antusias. Ekspresi
Sarah mendekatkan diri dan mengecup pipi Raka dengan manis. Setelah itu, ia melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan suaminya yang terlihat begitu frustrasi. Senyuman Sarah menyiratkan kemenangan kecil, sementara Raka hanya bisa menghela napas panjang, memandangi punggung istrinya yang menghilang di balik pintu.Namun, sialnya, Sarah sempat berpapasan dengan Nadia di lobi. Kali ini, Sarah tidak mencoba menghindar. Sebaliknya, ia mendekati Nadia dengan senyuman hangat yang penuh makna."Mbak Nadia," sapa Sarah dengan nada santai, tetapi jelas terdengar menusuk. "Makasih ya udah menemani suami saya hari ini."Wajah Nadia langsung berubah tegang, tetapi ia mencoba mempertahankan sikap tenangnya."Ah, iya. Sama-sama, Sarah," jawab Nadia pelan, senyum tipisnya terlihat dipaksakan."Tapi, lain kali, jangan terlalu dekat ya. Saya enggak mau orang lain salah paham." Ucapan Sarah terdengar lembut, namun begitu tajam.Nadia terdiam, tidak bisa memb
"Dari rumah, Mas," ujar Sarah sambil melirik sekilas ke layar ponsel.Sarah menyerahkan ponsel itu kepada Raka, lalu duduk di sampingnya. Ia memasang wajah serius, bersiap mendengarkan pembicaraan yang mulai berlangsung.Raka mengangkat panggilan itu dengan malas, menempelkan gawai di telinganya. "Kenapa, Pa?" tanyanya datar.Suara Pak Herman terdengar serak di ujung sana, penuh beban. "Raka, Papa butuh kamu. Kondisi Papa semakin menurun. Pulanglah ke rumah."Ekspresi Raka berubah dingin. Ia berdeham kecil, mencoba menutupi rasa tak nyaman yang mendesak dalam hatinya. "Nanti aku pikirkan lagi, Pa."Pak Herman mendesah pelan, tetapi terdengar jelas kekecewaan di balik helaan napasnya. "Tolong, Ka. Cuma kamu yang Papa punya. Papa enggak tahu harus gimana lagi."Raka mendecak pelan, emosinya perlahan terpicu. "Papa baru sadar sekarang? Dulu, saat Mama masih ada, Papa enggak pernah peduli sama keluarga ini. Papa malah selingkuh dengan Bu Rini."
Sarah tertegun, matanya menyipit sedikit saat memperhatikan wanita yang tiba-tiba muncul dari arah luar. Wanita itu membawa kantong belanjaan yang cukup banyak. Sementara kini Pak Herman tampak menghela napas berat, wajahnya semakin suram. Raka yang duduk di samping Sarah berubah tegang seketika, rahangnya mengeras.“Bu Rini…” gumam Raka pelan, nada suaranya mencerminkan kejutan yang bercampur amarah. Bagaimana tidak. Jam sudah menunjukka hampir pukul sebelas malam. Namun, ibu tirinya tersebut baru saja pulang ke rumah.Bu Rini tersenyum lebar, seolah-olah tidak menyadari suasana tegang yang memenuhi ruangan. "Oh, kalian sudah datang. Kebetulan sekali!" katanya dengan nada ceria yang justru membuat suasana semakin tidak nyaman.Pak Herman segera melangkah maju, mencoba menghentikan situasi sebelum memburuk. “Rini, masuk saja ke dalam. Jangan banyak bicara,” ujarnya dengan nada tegas, wajahnya penuh kewaspadaan.Namun, Rini h
Hujan masih mengguyur deras ketika mobil yang membawa Raka dan Sarah berhenti di depan kontrakan. Langit malam penuh dengan gemuruh petir, menciptakan suasana yang dingin dan mencekam.Raka segera turun dari mobil, tidak peduli pada rintik hujan yang langsung membasahi tubuhnya. Ia membuka bagasi, mengambil payung, dan menyerahkannya pada Sarah “Pakai ini,” katanya singkat.Sarah memandang payung itu sejenak, lalu menggeleng. “Kita ‘kan masih bisa pakai berdua, Mas?”Namun, tanpa banyak bicara, Raka mengulurkan payung itu ke tangannya. Tatapan matanya tegas, membuat Sarah akhirnya mengalah.“Mas sendiri gimana?” tanya Sarah pelan.“Aku enggak apa-apa,” jawab Raka singkat sambil berjalan lebih dulu ke arah pintu kontrakan. Hujan semakin deras mengguyur tubuhnya, tapi ia seakan tidak peduli.Sarah menghela napas dan mengikuti dari belakang, berusaha melindungi diri dengan payung yang terasa tidak cukup besar. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di pikiran Raka. Pria it
Sarah menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke bantal yang menopang tubuhnya. Wajahnya masih tampak pucat meski ia berusaha terlihat tegar di depan Raka. Sesekali, tangannya yang lemah mencoba merapikan helai rambut yang keluar dari kerudungnya.Tatapan Sarah kemudian beralih ke arah suaminya, yang duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas lututnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar."Maaf, Mas. Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dengan kondisi aku," kata Sarah akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketulusan. Ia tahu Raka pasti merasa bersalah, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung.Sementara di sudut ruangan, Dini berdiri mematung. Ia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin campuran antara rasa prihatin dan rasa hormat pada Sarah, yang meski dalam kondisi lemah, tetap berusaha menjaga perasaan suaminya. Dini memilih untuk diam, memberikan ruang kep
Pikiran Raka tak tertuju pada suara Dini yang barusan berbicara, melainkan pada sosok istrinya yang tampak berbeda pagi ini. Ia menatap Sarah yang sudah mengenakan pakaian formal hitam putih yang membuatnya tampak begitu anggun.. Ada rasa bangga dan kagum yang bercampur menjadi satu."Sayang, hari ini kamu sidang?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan perhatian Raka. "Iya, Mas. Do'akan ya, semoga semuanya lancar." Senyumnya tersungging, meski gugup terlihat jelas di wajahnya.Raka mengangguk mantap. "Amin. Kalau gitu Mas yang antar kamu ke kampus," ujarnya tegas.Sarah langsung menggeleng cepat. "Enggak usah, Mas. Aku sama Dini aja."Namun, seolah tak mendengar, Raka mengambil buku-buku Sarah dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa banyak bicara.Dini yang berada di dekat pintu menghela napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Kita jumpa di kampus aja ya, Ra."Sarah menatap
[Sayang, kamu di mana?]Sarah membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Meski sedih dengan situasi di antara mereka, ia tidak bisa mengabaikan pesan dari Raka. Ia segera mengetik balasan, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk.[Aku sudah di rumah, Mas.]Setelah mengirim balasan, Sarah menghela napas panjang. Ia melangkah pelan menuju kamar. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja di sudut ruangan. Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap bisa segera tertidur dan melupakan semua kekacauan ini. Tapi matanya masih terbuka, pikirannya terus berputar-putar memikirkan semua masalah yang ada.Derit pintu kamar yang terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Sarah tahu itu pasti Raka. Ia segera memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Langkah kaki Raka terdengar mendekat, semakin lama semakin jelas. Lalu, kasur di sebelahnya bergerak pelan. Sarah merasakan kehangatan tubuh Raka saat pria itu memeluknya dari arah belakang."Sarah," bisik Raka lembut.
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.