"Aku punya waktu tiga minggu. Tolong di masa ini jangan ganggu hubungan kami. Selebihnya, terserahmu," kata Raka dengan nada tegas, namun matanya menyiratkan harapan.
Rafly menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir teh di tangannya. Ia menatap Raka dengan ekspresi datar, seolah sedang menilai seberapa serius ucapan pria itu. Setelah mengangkat cangkir teh tadi, ia meniupnya perlahan lalu berkata, “Tiga minggu? Om yakin cukup buat memperbaiki semuanya?”
“Cukup atau tidak, aku akan coba,” balas Raka tegas.
Rafly tertawa kecil, lalu menyesap tehnya. “Baiklah, Om. Aku enggak akan ganggu. Tapi, kalau setelah tiga minggu Om masih gagal... jangan salahkan aku kalau aku yang akan maju.”
Raka mengangguk kecil, meski keraguan masih memenuhi pikirannya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ruangan tempat mereka bertemu, menuju klinik untuk menjemput Sarah dengan langkah cepat. Namun, perasaan cemas tetap menghantui. Apak
Raka duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan pikiran yang melayang-layang. Ia menyadari hubungan rahasia antara dirinya dan Sarah semakin menjadi beban. Tidak hanya bagi mereka berdua, tetapi juga mulai menarik perhatian yang tidak diinginkan—terutama dari Nadia tentu saja.Sementara di ruangan yang lain Sarah mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Namun, bisik-bisik yang terdengar dari meja sebelah terus mengganggunya."Katanya Sarah itu cuma numpang tenar karena deket sama Pak Raka," ujar seorang rekan kerja dengan suara pelan tapi cukup terdengar."Ya, bisa jadi sih. Pak Raka kan bener-bener perhatian sama dia. Padahal dia cuma anak magang."“Mungkin dianya aja sih yang baper. Pak Raka kasihan aja karena dia pincang,” tambah yang lain lagi.Sarah menunduk, pura-pura tidak mendengar. Tapi hatinya bergemuruh. Gadis itu menghela napas jengah begitu melihat kedatangan Nadia dari kejauhan.Beberapa hari terakhir, Nadia semakin terang-terangan menyudutkannya. Mulai dari krit
Setelah kejadian di parkiran, Sarah dan Raka kembali ke kontrakan dengan perasaan berat. Langkah mereka terasa lambat, seolah setiap derap kaki semakin menambah beban pikiran. Sarah berkutat dengan perasaannya yang kacau, sementara Raka diam, jelas tengah menahan amarah yang hampir meluap.Begitu sampai, pintu kontrakan terbuka. Namun belum sempat masuk ke sana, dua sosok familiar menyambut mereka dengan tatapan kaget. Dini dan Lira, yang semula niat untuk bertandang, langsung terperanjat begitu melihat Raka dan Sarah yang tampak dekat sekali."Duh, kalian pulang barengan nih? Wah, romantis amat," celetuk Dini, matanya melirik tangan Raka yang tak sengaja menyentuh bahu Sarah.Sarah langsung mundur selangkah, mencoba menjaga jarak, tetapi Raka dengan tenang tetap berdiri di sisinya."Dini, Lira, kok kalian …di sini?" tanya Sarah, suaranya gemetar. Napasnya terasa tercekat di tenggorokan."Ya ampun, Ra. Jelas aja kami nungguin kamu. Lupa ya k
Setelah mengatakan kalimat itu, Raka menatap Dini dan Lira secara bergantian. Pandangannya tajam, seolah menyampaikan bahwa larangan tadi adalah mutlak dan tak terbantahkan. Kedua sahabat Sarah tersebut saling melirik sebelum mengangguk paham, meski ada kilatan penasaran di mata mereka yang masih tersisa."Kamu mau makan apa, Sarah?" tanya Raka, suaranya kali ini terdengar lembut dan penuh perhatian.Sarah, yang masih mencoba memproses perubahan sikap Raka yang tiba-tiba tegas tadi, menjawab pelan, "Terserah Mas saja."Raka memandangnya sejenak sebelum berkata, "Ya sudah. Aku pesankan soto ayam, ya?"Sarah mengangguk. "Boleh," jawabnya singkat, pandangannya tertunduk untuk menghindari tatapan sahabat-sahabatnya.Raka melangkah keluar, menutup pintu dengan tenang. Suasana hening sejenak, hanya suara langkah kaki Raka yang memudar di kejauhan. Begitu yakin pria itu tak lagi mendengar, Dini langsung mendekat dengan senyum jahilnya."Ra, Ra...,"
Pagi itu, Sarah sedang menyiapkan sarapan ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat. Ia tampak sudah rapi dengan kemeja biru berlengan panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang sedikit basah menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi.Sarah menoleh sekilas. “Sarapan dulu, Mas.”Raka hanya mengangguk sambil merapikan lengan kemejanya. “Kamu juga siap-siap. Hari ini kita berangkat bareng ke kantor.”Sarah, yang sedang menuangkan teh, berhenti sejenak. “Bareng? Maksudnya… kamu mau aku ikut sama kamu?”Raka menatapnya, nadanya santai tapi tegas. “Ya. Aku enggak mau ada lagi gosip soal kita. Kalau kita datang bareng, semuanya jelas.”Sarah mengerutkan dahi. “Tapi, Mas, bukannya itu malah bikin aku tambah jadi bahan omongan? Apalagi posisi aku ‘kan cuma anak magang.”Raka menghela napas, lalu menghampiri Sarah. “Sarah,” panggilnya dengan nada yang lebih lembut, “aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku enggak mau kamu terus-terusan di posisi diserang tanpa bisa membela diri. Kali i
“Ada hal yang harus kami benahi sebelum kembali ke sini lagi.”Raka menjawab dengan nada tegas tapi tetap sopan. Pak Herman mengangguk pelan, menerima jawaban itu dengan sikap yang tenang. Namun, sorot matanya menunjukkan bahwa ia memahami lebih banyak daripada yang diungkapkan oleh kata-kata.“Baiklah,” kata Pak Herman akhirnya. “Oh ya, ayo kita makan. Papa sudah lapar. Tadi Rini masak soto ayam kesukaanmu, Ka.”Ucapan itu membuat Sarah menoleh sejenak. Rini, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah datar, melirik Sarah sekilas sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Aura dingin dan sinis wanita itu terasa begitu mencolok. Meski Rini tidak mengatakan apa pun, Sarah dapat merasakan ketidakramahan yang disembunyikan di balik sikap formalnya.Raka menggenggam tangan Sarah dengan lembut, mengisyaratkan agar istrinya mengikutinya ke meja makan. Meski ragu, Sarah mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara.Saat hendak
Langkah Sarah terhenti begitu matanya menangkap sosok pria yang berdiri di dekat jendela ruangan. Wajah itu terasa akrab, namun ia nyaris tak percaya. Udara di sekitarnya terasa lebih berat seiring dengan munculnya rasa terkejut.Pria itu menoleh perlahan, dan senyumnya mengembang seketika. “Ara?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Rafly?” Sarah nyaris berbisik.Pria bernama Rafly tersebut melangkah mendekat, wajahnya memancarkan kegembiraan. “Jadi kamu anak magang pindahan yang diceritakan papaku?”Sarah mengangguk, masih sulit memproses kenyataan bahwa teman masa kecilnya itu kini berdiri tepat di depan mata.“Kamu kerja di sini?” Sarah akhirnya menemukan suaranya.Rafly tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Papaku baru balik dari dinas luar kota, jadi dia nyuruh aku handle di sini. Dunia sempit banget ya?”Sebelum Sarah sempat menjawab, suara langkah terdengar dari belakangnya. Raka muncul dari pintu ruangan, pandangannya langsung tertuju pada Rafly. Ekspresi wajahnya berubah saa
“Apa?” suara Sarah bergetar, disertai jantung yang berdetak kencang.Bagaimana tidak? Belum pernah sebelumnya dia dan Raka berada di posisi sedekat ini. Suaminya itu kini menatapnya dengan napas yang menyapu permukaan wajah, begitu hangat namun menekan. Bahkan jarak pandang mereka tak sampai satu jengkal.“Kenapa malah diam? Jawab aku, Sarah,” gumam Raka, suaranya mulai merendah, tapi tetap sarat emosi.Sarah masih membeku. Hanya kelopak matanya yang berkedip berulang-ulang, mencoba mengatasi ketegangan yang memuncak. Sementara itu, dada Raka bergemuruh, hampir kehilangan akal sehatnya. Ia mengencangkan rahang, seperti menahan sesuatu yang hendak meluap.Namun, seketika ia menarik diri, berdiri dengan gerakan cepat dan menegakkan badan. “Sial!” desisnya sambil membalikkan badan, melangkah dengan cepat menuju kamar mandi.Sarah yang masih terpaku di atas ranjang hanya bisa memandang punggung Raka yang menghilang di balik pintu kamar mandi dengan tatapan kosong.Sementara di dalam kamar
"Aku ingin meminta hakku."Suara Raka serak, nyaris berbisik, namun penuh dengan ketegasan yang membuat Sarah membatu. Tatapannya yang gelap dan dalam tak pernah lepas dari matanya, membuat dada Sarah sesak dengan berbagai perasaan yang membaur."Mas..." Sarah berusaha mencari kata-kata, tetapi tenggorokannya tercekat.Raka mendekat, perlahan namun pasti. "Aku suamimu, Sarah," ucapnya, dengan nada yang lebih rendah tapi masih sarat emosi. "Aku lelah berada di posisi ini. Kita menikah, tapi kamu terus membangun dinding yang aku enggak bisa tembus. Sampai kapan kita akan seperti ini?"Sarah menggelengkan kepalanya, mencoba mencari jalan keluar dari perdebatan ini. Namun, Raka sudah melanjutkan. "Aku enggak mau terus merasa seperti tamu di sini. Aku ingin kamu, Sarah. Aku ingin kita benar-benar menjadi suami istri, bukan sekadar status di atas kertas."Tatapan matanya yang tajam melembut, berubah menjadi sorot yang penuh dengan kerinduan dan luka. "Tolong, Sarah," bisiknya. "Aku hanya in
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb