"Cair Bram gaji bulan ini. Ada bonus juga dari bos, kita bisa senang-senang nih."
Aku menelan ludah. Jangankan senang-senang, gaji bulan ini saja masih kurang untuk membayar cicilanku."Bagaimana Bram? Kali ini kau ikut kan acara kami?"Kembali aku menarik napas karena kali ini pun, aku tak mungkin bisa ikut dengan teman-teman untuk nongkrong bareng."Tidak bisa, Rud. Kau kan tau, Amara bisa marah besar jika gajiku berkurang."Mendengar ucapanku, beberapa orang teman tertawa di belakangku. Mereka segera bergabung dan duduk santai di kantin kantor."Aku tak menyangka, di jaman sekarang masih ada tipe suami sepertimu, Bram. Kalau istrimu tak mengijinkan maka jangan bilang, jadikan ini rahasia seorang pria. Apa benar hidupmu selurus itu, Bram? Aku benar-benar tidak percaya."Kembali mereka tertawa, seolah mengejekku yang terlalu menuruti permintaan Amara. Apa benar hidupku begitu lucu bagi mereka."Jangan terlalu jujur pada istri, Bram. Kau berhak bahagia dengan mengunakan sedikit uang gajimu. Kau yang kerja, kenapa istrimu pula yang menguasainya."Aku menarik napas panjang, sepertinya apa yang diucapkan Danu ada benarnya. Setelah sebulan penuh bekerja seperti sapi. Kenapa Amara marah kalau aku mengunakan sedikit saja uang gaji itu."Kalau begitu nanti malam aku ikut kalian. Ada benarnya juga, untuk sesekali membahagiakan diri sendiri."Aku tertawa karena sudah mengambil keputusan. Untuk mengunakan sedikit uang gaji bulan ini, demi membahagiakan diriku sendiri."Aku tak masalah, Mas. Kalau kau mau mengunakan uang gajimu, asal kau berpikir cukup atau tidak uang itu, untuk membayar cicilanmu."Ucapan Amara masih aku ingat, tapi selama ini uang gajiku selalu cukup di tangannya. Bulan ini pun pasti lebih dari cukup."Sudah Bram, jangan memikirkan masalah rumah dulu. Lihat biduannya cantik banget, ayo goyang."Danu menarik tanganku dan mengajak naik ke panggung untuk berjoget. Dia juga mengajari untuk meraba bagian tubuh wanita itu. Aku terkejut, namun wanita itu tampak biasa saja, dia bahkan mengedipkan matanya dengan genit."Dua ratus ribu sekali goyang, Mas. Tempat dimana saja bisa."Wanita itu berbisik di kupingku, setelah menjauhkan mik di tangannya. Untuk sesaat aku terpaku, apa yang dia maksud barusan itu menawarkan tubuhnya."Iya, kau bisa meregangkan otot mu dengannya, Bram. Kau tau, rasanya pasti beda dengan istrimu di rumah." Danu menjelaskan begitu melihat kebingunganku.Aku benar-benar tak percaya, kalau Danu begitu mahir menjelaskan semuanya. Apa dia sudah biasa meniduri wanita yang bukan istrinya, aku bergidik ngeri dan memilih untuk pulang saja."Kau memang polos, Bram. Sudah sana pulang, sebelum itu habiskan minumanmu."Aku segera meneguk minuman di dalam gelas, yang tadi aku tinggal berjoget di depan. Setelah itu aku memilih duduk sebentar sebelum pulang, namun tak lama aku merasakan sesuatu yang terasa panas di dalam tubuhku."Sar ... Sari sini sebentar. Temani pria ini, aku rasa dia membutuhkan mu. Bawa saja kebelakang nanti aku bayar."Antara sadar dan tidak, aku mendengar Danu bicara pada biduan itu. Aku tak tau apa yang terjadi. Namun saat sadar, aku terbangun dalam keadaan bugil dalam pelukan biduan itu."Apa yang kau lakukan, Mbak? Kenapa kita ada di ruangan ini?" Aku memijat kepala yang terasa pusing.Aku mencoba mengelengkan kepala, agar rasa pusing ini segera hilang. Namun tawa kecil itu membuatku bingung."Mas kita baru saja bersenang-senang. Kau bahkan begitu hebat menyerang, pasti istrimu bahagia setiap habis bertempur denganmu. Lain kali datang saja jika perlu, tak perlu bayar karena aku sangat puas."Aku melihat jam dan terkejut setengah mati, karena ini sudah tengah malam. Bisa mampus kalau Amara marah.(Cepat pulang kalau tidak kau akan menyesal, Mas.)Benar saja selain panggilan tak terjawab, sudah ada puluhan pesan tak terbaca dari tadi. Amara pasti marah besar kali ini, karena aku tak pernah pulang setelat ini."Jangan pergi dulu, mas. Kita bisa main satu kali lagi."Menjijikan, wanita itu begitu tak tau malu. Dia berdiri dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, aku segera berlari keluar setelah memakai baju dengan lengkap."Kau mau kemana, Bram? Cepat amat. Lihat wanita itu masih belum selesai."Aku tak perduli dengan ucapan Danu yang terpenting sekarang harus segera pulang. Kalau tidak aku akan dalam masalah besar.Tok ... tok ... tok.Aku mengetuk pintu namun tak ada jawaban dari dalam rumah. Entah kemana Amara malam-malam begini, apa dia semarah itu hingga tak mau membukakan pintu."Amara buka pintunya, mas mau masuk!"Aku berteriak namun tak ada tanda-tanda pintu akan di buka. Dengan susah payah aku mencari kunci cadangan, namun tak ketemu entah di mana aku simpan."Lain kali kalau tak bawa kunci, kau bisa mencari di bawah pot bunga depan rumah. Aku biasa menyimpan di sana jika bepergian."Begitu ingat perkataan Amara, aku segera memeriksa pot dan mendapatkan sebuah kunci. Apa Amara benar-benar tak di rumah, lalu dia kemana malam-malam begini.(Kalau kau sudah pulang segera ke rumah ibu mu, Mas. Aku sudah sangat pusing dari tadi, jika kau tak datang juga, maka bersiaplah mengantarku pulang ke ruang emak dan bapak.)Aku terkejut membaca salah satu pesan dari Amara. Sialnya lagi itu pesan setengah jam yang lalu, apa dia ada di rumah ibu tapi buat apa dia di sana.Brak ....Aku terkejut ketika hendak membuka pintu, justru dari luar terdengar tendangan yang cukup kuat. Terlihat Amara berdiri dengan sangat marah."Darimana saja kau, Mas? Apa tak bisa kau baca dan membalas pesan yang aku kirimkan? Kau pikir aku kuat? Satu jam di rumah ibumu, hanya untuk mendengarkan caci-maki darinya."Amara sangat marah, dia menatap tajam seolah hendak menelanku hidup-hidup. Entah apa lagi yang dilakukan ibu padanya."Cepat pergi, bawa semua gajimu. Semoga dia masih hidup untuk menerima uang darimu," ujarnya ketus."Katakan juga padanya, tak usah bersusah payah memisahkan kita. Aku sendiri yang pergi, dia pikir aku senang sekali hidup dengan anaknya," pekik Amara.Dia terlihat sangat kesal. Untuk pertama kalinya dia berbicara dengan nada keras begini, aku yakin dia pasti habis bertengkar dengan ibu, ini pasti masalah uang lagi. Ibu memang tak pernah bisa bersabar jika menyangkut uang."Pelan kan suaramu, Ara. Kau kan bisa bersabar menghadapi ibu, dia memang sudah biasa seperti itu."Plak ....Aku terkejut mendapat tamparan dari Amara. Dia benar-benar kurang ajar padaku, semarah apapun dia tak pernah mengangkat tangannya, namun kali ini berbeda."Kau benar-benar tak berotak ya, Mas. Bisa-bisanya kau anggap ucapan ibumu itu biasa, sudah berkali-kali dia menghina dan menyumpahi aku, hanya karena kau telat setoran dan itu kau anggap biasa. Kau laki-laki atau bukan?" pekik Amara lagi.Dia melanjutkan mengemasi bajunya. Entah mau kemana dia malam-malam begini, apa mungkin ancamannya tadi akan dia lakukan."Kau tenang dulu, Ara. Jangan gegabah, kita bicarakan semua ini baik-baik. Tadi aku memang telat pulang, karena ada masalah di kantor jadi para pegawai dilarang pulang awal," ucapku.Aku terpaksa berbohong, kalau tidak masalah ini akan semakin panjang. Apalagi jika Ara tau apa yang aku lakukan tadi."Terserah, aku tak perduli yang penting sekarang juga kau ke rumah ibumu, lalu serahkan bagiannya. Katakan juga kalau dia bisa mengambil semua uang gaji mu, asal dia tak ribut soal cicilan padaku."Amara terlihat mulai agak tenang, lebih baik aku ke rumah ibu saja. Wanita itu bisa darah tinggi, jika aku menunda memberinya uang.Beberapa saat kemudian aku sudah berada di rumah ibu. Tentu saja wanita itu juga melanjutkan omelannya."Dasar anak kurang ajar, kau pasti di suruh istrimu untuk tidak memberiku uang. Pulang kerja jam lima tapi baru sekarang kau datang, kemana saja dari tadi. Ibu malu karena telat bayar arisan, Bram."Aku terkejut karena baru ingat hari ini jadwal ibu bayar arisan. Dengan tangan gemetar, aku menyerahkan lima lembar uang berwarna merah."Lepaskan tangan mu, Bram. Apa kau tak rela menyerahkan uang ini pada ibu. Apa begitu patuh kau pada Amara, hingga berat menafkahi ibu kandung mu?"Aku terpaksa melepas uang itu. Meski dengan berat hati aku harus siap menerima kemarahan Amara lagi, istriku pasti mengamuk jika tau bulan ini minus lagi."Aku tak mau tau kau selesaikan sendiri, Mas. Aku tak sanggup mendengar makian penagih hutang dan juga cacian dari mulut ibumu. Sudah cukup selama ini aku tutupi semua aibmu."Ucapan Amara bulan lalu, seolah baru semalam aku dengar. Sekarang aku mengingkari janji lagi, kenapa tadi harus mengunakan uang untuk bersenang-senang. Kalau tidak kan masih bisa pas dan tidak minus begini.Setelah menenangkan ibu kini saatnya menghadapi Amara. Di depan rumah aku menarik napas menenangkan diri, semoga kali ini amara masih mau mengerti keadaanku."Maaf Ara, untuk bulan ini mas hanya dapat gaji segini. Tolong kau atur sebaik mungkin, tetaplah bersyukur dengan rejeki kita."Prang ....Aku berlari keluar karena Amara sedang melampiaskan emosinya. Lebih baik menghindar dulu, kalau tidak bisa bonyok juga kena lemparan panci.Nanti setelah dia tenang baru aku pulang. Meski harus tidur di luar tak masalah, asal Amara tak lagi marah-marah. Aku takut ini batas dari kesabaran istriku, jika itu terjadi apa mungkin dia akan benar-benar pergi, seperti ancamannya selama ini.Aku benar-benar tak mau kehilangan Amara. Tapi ibu yang terus saja membuat aku dan dia hampir berpisah. Seandainya ibu tau siapa Amara, mungkin dia akan bertekuk lutut pada menantunya, namun itu akan membuatku terhina di mata ibu. Aku belum siap makanya mengorbankan istri yang baik itu."Ini sisa gajiku bulan ini, tolong kau atur, sebisa mungkin kita berhemat dulu."Aku meletakkan amplop gaji yang tersisa. Amara tersenyum sinis, lalu meraih amplop coklat itu."Tersisa berapa memangnya? Sampai kau meminta kita berhemat segala. Ini sudah di potong buat ibumu atau belum?"Amara menatap ku, sembari meletakkan kembali amplop berisi uang itu ke atas meja. Dia kembali sibuk dengan ponselnya."Aku sudah memberi ibu lima ratus ribu. Itu sisanya kau atur saja."Aku melangkah masuk ke kamar. Membawa amplop berisi uang gajiku yang Amara tinggal di meja depan, setelah mengamuk tadi dia tidak mengambil uang yang aku serahkan padanya. Melihat amplop coklat itu aku hanya bisa menarik napas panjang, bulan ini kembali uang itu hanya numpang lewat saja di tanganku."Amara kau masak apa? Aku mau mandi. Setelah itu aku mau makan cepat siapkan!"Aku berteriak agar Amara bergerak dari menatap ponselnya. Entah apa yang ada di dalam benda itu, dia sampai rela tak bergerak dari kursi."Amara,
"Bagus, akhirnya kalian sampai juga."Aku dan Amara menatap ke arah rumah. Ternyata sudah banyak orang menunggu, tak ketinggalan ibu juga datang. "Katakan apa yang dilakukan istrimu, Bram? Kenapa ada orang bikin ribut di rumahmu?"Aku menarik napas setelah mendengar pertanyaan ibu. Apalagi saat melihat tatapan mata Amara, jelas sekali dia menatapku dengan sinis. "Sudah gak usah banyak bacot kalian. Sekarang katakan apa salah ibuku? Sampai kau tega memukulinya," tanya Yanto.Mendengar pertanyaan pria itu sudah membuatku takut. Apalagi saat melihat matanya yang terlihat sedang marah besar. "Apa ibumu bisu? Sampai kau datang kemari cuma untuk bertanya. Kenapa aku menamparnya?" Aku terkejut mendengar ucapan Amara. Dia begitu berani melawan Yanto, pria yang terkenal brengsek di kampung ini. "Lancang kau betina, berani kau kurang ajar padaku."Aku bergerak mundur, saat Yanto mengangkat tangan, hendak menampar Amara. Namun mendengar ucapan Amara selanjutnya membuat semua orang terkejut."B
"Sisa seratus ribu?"Amara terlihat mengerutkan keningnya. Dia menatap buku di hadapannya lalu menatapku seolah tak percaya.Brak ...."Kau pikir aku akan tetap diam, menjalani pernikahan bodoh ini, Mas. Ini kau gunakan untuk sebulan."Amara terlihat sangat marah, dia bahkan melempar selembar uang yang tersisa itu, tepat di depan wajahku."Lima ratus sebulan saja kalang-kabut. Ini di sisain seratus ribu, enak betul hidupmu, Mas."Amara segera keluar dari rumah. Seperti biasanya dia akan melakukan itu jika marah. Aku segera menyusulnya sebelum dia membuka pintu."Selamat malam, Mbak. Apa mas Bram ada di rumah, saya datang mau mengembalikan kuncinya waktu terjatuh di pangkalan."Aku melotot saat melihat siapa yang datang. Sialnya lagi, Amara melihat raut wajahku saat melihat wanita itu."Pangakalan ojek atau pangkalan esek-esek kau temukan benda itu?""Pangkalan ojek.""Pangkalan bang Dudung."Mendengar jawabanku dan wanita itu yang bersamaan. Amara tampak tersenyum, karena ucapan kami
"Apa maksudmu, Bram?"Bapak Amara terkejut, saat mendengar kedatangan Bram untuk mencari Amara istrinya. Mereka hanya tau kalau anaknya bahagia hidup bersama suaminya."Jelaskan pada bapak apa yang terjadi? Kenapa kau mencari Amara kemari, sejak kapan dia pergi?"Bram menelan ludah saat mendengar pertanyaan bapak mertuanya. Sedang ibu mertuanya, menangis begitu mendengar Amara sudah menghilang selama seminggu."Sudah seminggu, kau baru mencari sekarang Bram, ada ponsel apa gunanya benda itu bagimu?"Bram tak mampu menjawab, dia menuruti ibunya untuk tidak menghubungi orangtua Amara. Agar mereka tau kalau perbuatan anaknya, melukai Bram sebagai suaminya."Pulanglah, aku muak melihatmu. Aku kira Amara berada di tangan yang tepat, ternyata aku salah besar."Pria itu meremas dadanya. Merasakan sakit luar biasa, karena putri tunggalnya entah berada di mana. Bram tak mampu bicara, dia memilih untuk kembali pulang daripada membuat marah mertuanya."Amara benar-benar menghilang, Pak De. Aku d
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa membuat keributan di rumah kami?" Bram dan ibunya terkejut, karena kedatangan Bandot yang langsung masuk ke rumahnya. Disaat dia dan ibunya sedang mempersiapkan sarapan."Kau tak usah banyak tanya, segera bereskan barang kalian dan segera keluar dari rumah ini. Karena aku sudah membelinya dengan harga mahal." Bram dan ibunya tertawa, mereka mengira kalau Bandot sedang bercanda. Mereka sampai terduduk, karena merasa lucu pada pria berperut buncit itu."Kau salah Bos, rumah yang kau beli milik ibuku. Tempatnya bukan di sini tapi di sebelah sana." Bram menunjuk ke arah rumah ibunya yang letaknya tak terlalu jauh. Namun Bandot seperti tak perduli, membuat Bram dan ibunya kesal padanya."Lagipula ini rumah tidak kami jual, Karena kami akan tinggal selamanya di sini," ujar Bram sinis. "Siapa bilang kalian akan tinggal disini? Karena Amara sudah pergi. Maka aku ambil lagi rumah yang aku izinkan kalian tempati, apalagi sertifikat rumah ini juga masih namaku.
"Kau mau kemana, Bram? Tunggu ibu, apa kau yakin menyewa rumah kecil ini?"Bram berhenti dan menatap ibunya. Dia sangat kesal dengan keegoisan keluarganya, mereka masih tak sadar, kalau sedang dalam masalah besar saat ini."Ibu tau, kita tak jadi pergi liburan dan semuanya hangus begitu saja. Uang penjualan rumah hanya tersisa sedikit lagi. Aku harus membuat bapak Amara tak jadi melaporkan kita ke polisi."Bram melangkah pergi. Dia harus segera bertindak, jika tak mau masuk penjara. Satu-satunya cara hanya dengan mengembalikan uang Amara."50 juta sudah aku transfer ke rekening Amara. Semoga bapak mau mengurungkan niatnya untuk melapor ke polisi," ujarnya pelan."Memangnya kau yakin, dengan mengembalikan uang itu, mertuamu tak akan melanjutkan laporan ke kantor polisi, Bram?"Rudi, teman kerja yang dia minta untuk menemaninya ke bank untuk setor tunai. Bertanya seolah tak pasti, kalau laporan akan diurungkan setelah menerima uang dari sahabatnya."Aku hanya bisa berharap mertuaku tak
Tok ...tok ...."Mbak Amara, buka pintu cepat!"Amara bergegas membuka pintu. Karena terburu-buru kakinya sampai menendang kaki kursi, sakit luar biasa tapi dia tak perduli, karena takut terjadi sesuatu pada Bram suaminya."A ... Ada apa, ada apa?"Amara mencari keberadaan suaminya, namun hanya ada kedua adik iparnya yang menatapnya dengan pandangan aneh."Mbak sudah gila, Ya. Kenapa keluar dengan keadaan seperti ini? Memalukan, apa tak bisa pakai baju atau handuk, agar tak kelihatan basah semua rokmu." Amara terduduk lemas dia berlari karena kalut. Dia sedang mencuci baju tentu semua bajunya basah, teriakan adik iparnya sungguh membuatnya emosi.Plak ... Plak ....Kedua adik iparnya terkejut, saat merasa perih di pipi mereka. Amara memberikan masing-masing satu tamparan. "Apa tak ada otak kalian berdua? Sekolah tinggi-tinggi tapi tak beradab. Apa begini cara bertamu ke rumah orang? Kalian hampir membuatku mati karena terkejut. Apalagi yang kalian inginkan sekarang?!" pekiknyaAmara s
Bab9 (Gara-Gara Mesin Cuci)"Kau lihat itu istrimu, dia bahkan membeli mesin cuci. Daripada boros, uangnya kan bisa untuk DP motor buat adikmu sekolah." Dua hari setelah keributan bersama kedua iparnya. Kini sang ibu mertua datang-datang mengamuk karena Amara membeli mesin cuci.Brak ....Amara mengebrak meja, dia sudah capek menghadapi keluarga suaminya yang semakin tidak manusiawi. Bahkan untuk mesin cuci saja mertuanya datang bersama para tetangga."Cukup! Aku sudah muak, Bu. Memangnya kenapa kalau aku beli mesin cuci? Asal ibu tau, tak ada uang mas Bram yang aku pakai untuk membeli mesin cuci ini."Amara berteriak dia sudah sangat kehabisan kesabaran. Apalagi saat melihat suaminya hanya diam saja."Kenapa kau tak bicara, Mas. Katakan kalau mesin cuci ini aku beli, mengunakan uang kiriman bapak. Uang yang sebagian besar dinikmati oleh ...," ucap Amara yang terpotong pekikan Bram."Cukup Amara! Kau tak perlu berteriak, saat bicara dengan ibu. Apa kau tak punya sopan-santun." Amara m
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan