"Apa maksudmu, Bram?"
Bapak Amara terkejut, saat mendengar kedatangan Bram untuk mencari Amara istrinya. Mereka hanya tau kalau anaknya bahagia hidup bersama suaminya."Jelaskan pada bapak apa yang terjadi? Kenapa kau mencari Amara kemari, sejak kapan dia pergi?"Bram menelan ludah saat mendengar pertanyaan bapak mertuanya. Sedang ibu mertuanya, menangis begitu mendengar Amara sudah menghilang selama seminggu."Sudah seminggu, kau baru mencari sekarang Bram, ada ponsel apa gunanya benda itu bagimu?"Bram tak mampu menjawab, dia menuruti ibunya untuk tidak menghubungi orangtua Amara. Agar mereka tau kalau perbuatan anaknya, melukai Bram sebagai suaminya."Pulanglah, aku muak melihatmu. Aku kira Amara berada di tangan yang tepat, ternyata aku salah besar."Pria itu meremas dadanya. Merasakan sakit luar biasa, karena putri tunggalnya entah berada di mana. Bram tak mampu bicara, dia memilih untuk kembali pulang daripada membuat marah mertuanya."Amara benar-benar menghilang, Pak De. Aku dengar dia pergi dalam keadaan aneh, ada yang bilang dia seperti ... Gila."Bapak dan ibu Amara terkulai lemas. Mereka terkejut mendengar ucapan gadis yang ada di depan mereka."Kenapa kau juga baru bicara sekarang, Tari? Seharusnya dari kau dengar berita itu. Kalau begini kemana kita cari dia." Tari menunduk, dia sebenarnya ingin bilang dari awal, tapi takut di kira memfitnah Amara."Kita tak bisa tinggal diam saja, Pak. Kita pergi mencari Amara, hidup atau mati kita harus temukan dia."Bapak dan ibu Amara bergegas mempersiapkan diri. Mereka harus ke kampung tempat tinggal Amara, lalu mencaritahu apa yang terjadi pada anak mereka."Aku tak akan memaafkan Bram, jika ternyata Amara menderita di sana, tidak seperti ucapannya ketika menghubungi kita." Pria itu terlihat marah. Dia merasakan kalau ada yang tak beres pada kepergian anak mereka."Bu, ayo cepat kita harus segera berangkat. Agar dapat bis siang hari, jadi kita bisa sampai sebelum malam."Pria itu mendekati istrinya. Namun dia heran karena wanita itu hanya menatap ponselnya. "Kita tak akan pergi sekarang, Pak. Amara berada di tempat yang aman, kita hanya perlu membalas sakit hati Amara saja."Pria itu merampas ponsel istrinya. Dia terkejut melihat Vidio yang baru dilihat sang istri. "Kita tertipu oleh Bram dan keluarganya. Baiklah sudah waktunya kita balas perbuatan mereka semua."Setelah melihat Vidio di ponsel istrinya. Bapak Amara terlihat sangat marah, dia segera bergegas pergi setelah pamitan dengan istrinya. "Tenang sedikit pak, jangan sampai darah tinggi bapak kumat lagi."Bapak Amara mengangguk lalu segera pergi bersama motor tuanya. Dia bergegas menuju ke rumah seorang pria yang bisa membantunya. "Kau yakin akan melakukannya? Pikirkan sekali lagi. Bagaimanapun Amara itu anakmu satu-satunya." Pria itu menasehati bapak Amara. Setelah mendengar apa yang diminta padanya."Karena dia putri tunggal ku, makanya ini harus segera di lakukan." Pria itu menarik napas, dia tak bisa lagi mencegah niat bapak Amara. Apalagi setelah menerima sebuah map dari bapak Amara."Lakukan secepatnya, tapi dapatkan harga yang pantas, karena Ara membutuhkan uang yang banyak." Pria itu mengangguk meski ada rasa penasaran dihatinya. Tapi dia tak mau mencoba, untuk mengorek keterangan dari bapak Amara."Baiklah beri waktu aku satu Minggu. Aku akan membawa penawaran bagus untukmu." Setelah berjabat tangan kedua pria itu berpisah. Bapak Amara segera bergegas pulang, menemui istrinya yang menunggu dengan tak sabar."Kita tunggu seminggu, setelah itu kita temui anak malang itu." Bapak Amara menarik napas, apalagi saat menyadari kalau istrinya terus menatap rekaman Vidio yang dia terima dari nomor tak dikenal."Meski nomor ini tak kita kenal. Melihat tempat itu, ibu yakin dia baik-baik saja." Bapak Amara mengangguk, dia juga yakin semua akan baik-baik saja. Saat ini dia harus memberi pelajaran pada menantunya."Bram hidup terlalu nyaman. Sampai tak berpikir untuk berbuat baik, kita akan membuatnya sadar siapa dirinya." Pria itu mengepalkan tangannya. Ada rasa kecewa yang terlalu besar di hatinya, untuk menantu yang dia anggap baik selama ini."Aku rasa ini ada campur tangan ibunya, Pak. Tak mungkin Bram bisa berubah sedrastis ini, kecuali sejak awal kita sudah tertipu olehnya." Bapak Amara mengangguk, dia akan segera mencaritahu. Menurutnya tak mungkin ada asap kalau tak ada api."Misrah, aku akan menemuinya, Bu. Dia pasti mengetahui banyak hal, tentang kejadian di kampung itu." Melihat istrinya mengangguk, bapak Amara kembali meraih tas ransel, lalu memasukkan beberapa helai baju ke dalamnya."Bapak akan pergi sebentar, Bu. Insyaallah besok malam bapak sudah kembali. Kita harus mencaritahu apa yang sudah dialami oleh Amara, selama dia menikah dengan Bramantyo." Meski berat wanita itu melepaskan suaminya pergi. Setelah meminta bantuan seorang gadis untuk menemani istrinya, bapak Amara segera pergi menuju pangkalan bus.****"Akhirnya kau datang juga, Husin. Setelah anakmu menjadi gila, baru kau temui aku."Husin menarik napas panjang kalau bukan karena Amara. Dia tak akan menemui wanita penyebar gosip ini, tapi saat ini dia butuh keterangan dari mulut wanita ini. "Katakan, apa yang kau ketahui. Aku harap kau jujur jangan coba menipuku, Misrah."Melihat pria yang menatapnya tajam, membuat Misrah segan. Dia tak bisa bicara omong-kosong dengan bapak Amara. "Anak perempuanmu mengalami penyiksaan luar biasa, Husin. Bukan di tubuhnya tapi di hati dan perasaannya. Mungkin itu sudah membuat jiwanya rapuh, hingga memaksanya untuk pergi."Bapak Amara mengepalkan tangannya. Berarti rekaman Vidio itu benar adanya, dia tak menyangka Bram bisa bertindak sekejam itu."Sekarang kau lihat saja, betapa tak berharga putrimu. Disaat menghilang suaminya justru akan pergi liburan dengan keluarganya." Misrah tersenyum setelah memberitahu Husin, kalau Bram pergi liburan dan tak mencari istrinya."Bagus kalau begitu, biar aku membalas mereka sekarang juga. Berikan nomor Bandot, aku rasa si tua bangka itu masih berminat, dengan apa yang dimiliki Amara." Misrah terkejut, namun dia tetap memberikan nomor Bandot. Orang yang terkenal gatal dan serakah."Kalau tak salah tebak, kau akan menerima tawaran Bandot, Sin?" Husin tak menjawab, tapi dia segera menghubungi nomor pria tua itu. Cukup lama menghubungi akhirnya di angkat juga.Aku Husin, kalau ada waktu temui aku segera.' Husin segera mematikan panggilan setelah terdengar persetujuan dari sebrang sana."Baiklah Misrah, terima kasih karena kau mau memberikan keterangan. Sekarang aku permisi dan ini ada sedikit untukmu." Bapak Amara pergi, setelah menyerahkan amplop berisi uang. Dia tak mau punya hutang-budi pada Misrah."Husin, kalau butuh bantuan cari aku saja. Pasti kau tak akan menyesal!" Wanita itu berteriak, namun bapak Amara tak perduli. Pria itu bergegas menuju ke tempat dia janjian dengan Bandot.****"Seperti permintaanmu, aku terima tawaran ini. Besok segera kita eksekusi, karena aku ingin segera menikahi janda, yang sangat menginginkan mahar tempat itu."Husin tersenyum sinis, dia tak perduli untuk apa tempat itu bagi Bandot. Baginya yang terpenting membalas perbuatan Bram dan keluarganya. Dia yakin besok pasti akan menjadi kejutan luar biasa bagi Bram dan keluarganya."Apa kau tau, Sin. Menantu mu sudah menjual rumah ibunya untuk pergi liburan. Besok siang mereka akan berangkat, dari yang aku dengar mereka hampir menghabiskan semua uangnya untuk mengambil paket liburan itu."Husin tersenyum sinis, itu berarti Bram masih bisa menikmati kejutan darinya. Dia ingin tau wajah menantunya, saat dia kehilangan segalanya. "Kalau begitu temui aku pagi-pagi. Ingat jangan sampai terlambat, kalau tidak kau sendiri yang akan kesulitan, menghadapi Bram dan keluarganya."Bandot tertawa, tentu saja dia tak akan sudi berurusan dengan keluarga Bram. Yang terpenting masalahnya selesai dan dia bisa menikahi janda idamannya. "Kau tenang saja, aku pasti datang tepat waktu. Tentu membawa janda yang akan aku nikahi, dia pasti senang dengan mahar yang dia minta."Husin merasa jijik setiap kali Bandot bicara tentang janda idamannya. Dia segera pamit untuk mencari penginapan yang dekat dengan kampung ini, dia juga menghubungi istri dan temannya, untuk mengabarkan kalau urusan di sini sudah selesai."Apa yang kalian lakukan? Kenapa membuat keributan di rumah kami?" Bram dan ibunya terkejut, karena kedatangan Bandot yang langsung masuk ke rumahnya. Disaat dia dan ibunya sedang mempersiapkan sarapan."Apa yang kalian lakukan? Kenapa membuat keributan di rumah kami?" Bram dan ibunya terkejut, karena kedatangan Bandot yang langsung masuk ke rumahnya. Disaat dia dan ibunya sedang mempersiapkan sarapan."Kau tak usah banyak tanya, segera bereskan barang kalian dan segera keluar dari rumah ini. Karena aku sudah membelinya dengan harga mahal." Bram dan ibunya tertawa, mereka mengira kalau Bandot sedang bercanda. Mereka sampai terduduk, karena merasa lucu pada pria berperut buncit itu."Kau salah Bos, rumah yang kau beli milik ibuku. Tempatnya bukan di sini tapi di sebelah sana." Bram menunjuk ke arah rumah ibunya yang letaknya tak terlalu jauh. Namun Bandot seperti tak perduli, membuat Bram dan ibunya kesal padanya."Lagipula ini rumah tidak kami jual, Karena kami akan tinggal selamanya di sini," ujar Bram sinis. "Siapa bilang kalian akan tinggal disini? Karena Amara sudah pergi. Maka aku ambil lagi rumah yang aku izinkan kalian tempati, apalagi sertifikat rumah ini juga masih namaku.
"Kau mau kemana, Bram? Tunggu ibu, apa kau yakin menyewa rumah kecil ini?"Bram berhenti dan menatap ibunya. Dia sangat kesal dengan keegoisan keluarganya, mereka masih tak sadar, kalau sedang dalam masalah besar saat ini."Ibu tau, kita tak jadi pergi liburan dan semuanya hangus begitu saja. Uang penjualan rumah hanya tersisa sedikit lagi. Aku harus membuat bapak Amara tak jadi melaporkan kita ke polisi."Bram melangkah pergi. Dia harus segera bertindak, jika tak mau masuk penjara. Satu-satunya cara hanya dengan mengembalikan uang Amara."50 juta sudah aku transfer ke rekening Amara. Semoga bapak mau mengurungkan niatnya untuk melapor ke polisi," ujarnya pelan."Memangnya kau yakin, dengan mengembalikan uang itu, mertuamu tak akan melanjutkan laporan ke kantor polisi, Bram?"Rudi, teman kerja yang dia minta untuk menemaninya ke bank untuk setor tunai. Bertanya seolah tak pasti, kalau laporan akan diurungkan setelah menerima uang dari sahabatnya."Aku hanya bisa berharap mertuaku tak
Tok ...tok ...."Mbak Amara, buka pintu cepat!"Amara bergegas membuka pintu. Karena terburu-buru kakinya sampai menendang kaki kursi, sakit luar biasa tapi dia tak perduli, karena takut terjadi sesuatu pada Bram suaminya."A ... Ada apa, ada apa?"Amara mencari keberadaan suaminya, namun hanya ada kedua adik iparnya yang menatapnya dengan pandangan aneh."Mbak sudah gila, Ya. Kenapa keluar dengan keadaan seperti ini? Memalukan, apa tak bisa pakai baju atau handuk, agar tak kelihatan basah semua rokmu." Amara terduduk lemas dia berlari karena kalut. Dia sedang mencuci baju tentu semua bajunya basah, teriakan adik iparnya sungguh membuatnya emosi.Plak ... Plak ....Kedua adik iparnya terkejut, saat merasa perih di pipi mereka. Amara memberikan masing-masing satu tamparan. "Apa tak ada otak kalian berdua? Sekolah tinggi-tinggi tapi tak beradab. Apa begini cara bertamu ke rumah orang? Kalian hampir membuatku mati karena terkejut. Apalagi yang kalian inginkan sekarang?!" pekiknyaAmara s
Bab9 (Gara-Gara Mesin Cuci)"Kau lihat itu istrimu, dia bahkan membeli mesin cuci. Daripada boros, uangnya kan bisa untuk DP motor buat adikmu sekolah." Dua hari setelah keributan bersama kedua iparnya. Kini sang ibu mertua datang-datang mengamuk karena Amara membeli mesin cuci.Brak ....Amara mengebrak meja, dia sudah capek menghadapi keluarga suaminya yang semakin tidak manusiawi. Bahkan untuk mesin cuci saja mertuanya datang bersama para tetangga."Cukup! Aku sudah muak, Bu. Memangnya kenapa kalau aku beli mesin cuci? Asal ibu tau, tak ada uang mas Bram yang aku pakai untuk membeli mesin cuci ini."Amara berteriak dia sudah sangat kehabisan kesabaran. Apalagi saat melihat suaminya hanya diam saja."Kenapa kau tak bicara, Mas. Katakan kalau mesin cuci ini aku beli, mengunakan uang kiriman bapak. Uang yang sebagian besar dinikmati oleh ...," ucap Amara yang terpotong pekikan Bram."Cukup Amara! Kau tak perlu berteriak, saat bicara dengan ibu. Apa kau tak punya sopan-santun." Amara m
Husin dan istrinya menatap seorang wanita yang duduk dengan pandangan kosong. Dari balik jendela kaca mereka hanya bisa menyeka airmata, karena wanita yang di ruangan itu tak lain adalah Amara putri mereka."Dia sudah mulai membaik, Pak. Setelah menemui psikolog beberapa kali." Husin berbalik, lalu menatap seorang pria yang mengaku telah menolong Amara."Malam itu saya menolong, saat seorang pria mencoba melecehkan dirinya. Dengan sekuat tenaga dia mempertahankan kehormatannya, hingga tanpa sadar telah mengalami pendarahan." Husin kembali menarik napas, dia tak menyangka putrinya mengalami nasib yang begitu menyedihkan."Apa pria itu berhasil di tangkap?" tanya Husin. Pria itu menarik napas saat melihat pria muda di depannya mengelengkan kepala. Ada sesal karena tak berhasil melihat wajah pelaku yang membuat putrinya berakhir di rumah sakit jiwa."Dia tidak gila hanya depresi saja. Saat ini kami sengaja membawanya bertemu psikiater, kami berusaha menyembuhkan dirinya." Husin mendekati
POV : Amara.Aku memilih keluar dari rumah untuk menenangkan diri. Masalah demi masalah membuatku hampir gila. Belum lagi ketika mengetahui, betapa hinanya pria yang aku nikahi. Dia rela mendatangi pangkalan demi memuaskan nafsunya."Setan!"Aku berteriak sembari menendang kaleng kosong bekas minuman. Terlalu emosi hingga tak menyadari seseorang mengikuti sedari tadi. "Kau tak perlu marah-marah, kita bisa bersenang-senang seperti yang Bram lakukan."Aku terkejut saat seorang pria berdiri di depanku. Sepertinya dia mengenalku buktinya dia menyebut nama mas Bram. "Kau tau Ara, aku selalu memimpikan mu sejak Bram berkata. Kalau kau jauh lebih hebat dari wanita-wanita pangkalan, itu salah satu alasan kenapa Bram menolak ketika diajak pergi, namun akhirnya dia mulai mencoba mendatangi pangkalan. Mungkin ingin merasakan perbedaan istrinya dengan pela**r."Aku terkejut mendengar ucapan pria asing ini bicara. Aku bisa menyimpulkan kalau dia teman mas Bram, kurang ajarnya lagi, mas Bram membic
Teriakan mas Bram tak membuatku takut lagi. Kini sebuah ponsel telah aku miliki, setelah dua bulan menipu mereka semua soal uang kiriman bapak."Aku membeli ponsel baru, sama seperti punyamu. Jangan protes karena ini mengunakan uang pemberian bapak, kalau kau tak suka kita pisah saja, bapak pasti mengerti karena aku sendiri yang akan bilang." Aku menarik napas berharap mas Bram takut. Ternyata ancamanku berguna juga, mas Bram takut aku minta cerai."Sial, kalau begini tak perlu begitu lama tersiksa, hidup tanpa uang bersama mas Bram," pikirku."Kenapa kau tak mau mengerti juga. Kita hanya perlu bertahan lima tahun saja, sampai angsuran motor itu selesai. Setelah itu kita terbebas dari ketua adikku karena mereka sudah tamat sekolah." Aku mendengus kesal, ini sudah hampir lewat dua tahun. Aku masih diminta bersabar lagi, apa mas Bram mau aku benar-benar gila."Maaf aku tak bisa lagi mas, jangankan lima tahun, sekarang saja aku sudah mulai tak waras."Aku pergi meninggalkan mas Bram. Lal
Brak ....Husin mengebrak meja dia tak sadar tengah berada di mana. Ucapan Amara sungguh membuatnya emosi. "Kau sudah hampir gila, Ara. Tapi kau masih berat berpisah dengan Bram, dimana akalmu tersimpan?"Husin sampai kehabisan akal untuk menyadarkan anaknya. Dia merasa Amara memang sudah gila, karena masih berat melepaskan Bram suaminya. "Aku sudah kehilangan segalanya, Pak. Bram tak boleh lepas begitu saja, aku yakin pria yang mencoba memperkosaku adalah temannya," ucap Amara.Husin dan istrinya terkejut, mereka menatap Amara seolah tak percaya. Apalagi kalau orang yang membuat mereka kehilangan calon cucu adalah teman Bram. "Lalu apa rencanamu? Jangan bilang kau berniat kembali dengan Bram untuk balas dendam."Mendengar pertanyaan bapaknya, Amara tampak terdiam karena dia belum punya rencana untuk membalas dendam. "Aku bisa membantumu, Ra. Aku tau dimana suamimu kerja, mungkin kau bisa temukan pria, yang hendak memperkosa-mu itu di tempat yang sama."Kali ini semua orang menatap Ik
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan