"Ini sisa gajiku bulan ini, tolong kau atur, sebisa mungkin kita berhemat dulu."
Aku meletakkan amplop gaji yang tersisa. Amara tersenyum sinis, lalu meraih amplop coklat itu."Tersisa berapa memangnya? Sampai kau meminta kita berhemat segala. Ini sudah di potong buat ibumu atau belum?"Amara menatap ku, sembari meletakkan kembali amplop berisi uang itu ke atas meja. Dia kembali sibuk dengan ponselnya."Aku sudah memberi ibu lima ratus ribu. Itu sisanya kau atur saja."Aku melangkah masuk ke kamar. Membawa amplop berisi uang gajiku yang Amara tinggal di meja depan, setelah mengamuk tadi dia tidak mengambil uang yang aku serahkan padanya. Melihat amplop coklat itu aku hanya bisa menarik napas panjang, bulan ini kembali uang itu hanya numpang lewat saja di tanganku."Amara kau masak apa? Aku mau mandi. Setelah itu aku mau makan cepat siapkan!"Aku berteriak agar Amara bergerak dari menatap ponselnya. Entah apa yang ada di dalam benda itu, dia sampai rela tak bergerak dari kursi."Amara, aku lapar kau masak apa?"Aku kembali bersuara, karena sudah selesai mandi. Wanita itu ternyata tak beranjak sama sekali dari kursi, hanya pindah posisi saja.Prang ....Aku sengaja membanting piring hingga pecah ke lantai. Itu cukup membuat Amara mengalihkan pandangan dari ponselnya. Perlahan dia menarik napas dan segera beranjak pergi, bukan menyiapkan makanan atau membersihkan pecahan piring tapi dia memilih keluar."Kau mau kemana, Amara? Aku lapar. Apa kau tak mau melayani suamimu lagi?"Amara berhenti setelah mendengar ucapanku. Dia berbalik, lalu melemparkan amplop gaji tepat di depan wajah ku."Kau bereskan kekacauan yang kau buat. Kalau tidak, segera angkat kaki dari rumahku. Bawa uang mu itu jauh-jauh, dasar tak tau diri, uang segitu masih minta berhemat."Amara mengomel panjang, sembari melangkah keluar dari rumah. Dia pasti menuju warung langganannya itu lagi."Mbak Amara jangan marah-marah terus. Nanti di tinggal suami baru tau rasa, gak enak loh jadi janda."Kali ini terdengar suara mbak Murni, dia janda sebelah rumah. Sekaligus musuh bebuyutan Amara, karena janda itu terlihat genit setiap kali menatap ku."Memangnya janda genit seperti mu? Tak semua menderita jadi janda, kalau mau kau bisa mengambil bekasku itu," teriak Amara.Aku marah mendengar ucapannya barusan. Dia berani mempermalukan suaminya di depan orang lain. "Tak usah emosi begitu, Mas. Kau suka kan di pandangi janda itu, sana nikmati saja selagi di kasih gratis ... Apem nya."Amara melenggang pergi setelah mempermalukan janda sebelah. Aku membanting pintu, setelah melihat janda itu mau mendekat. Aku tak mau berbuat kesalahan lagi, kalau tidak bisa habis kalau Amara mengamuk."Mas, kok pintunya di tutup sih? Aku kan mau bertamu sebentar."Janda itu mengetuk pintu dengan keras. Dia benar-benar bikin aku susah kalau begini."Tolong pergi saja, di rumah tak ada Amara. Aku tak mau terkena fitnah, hanya karena kita berdua."Aku meninggalkan pintu dan melangkah menuju dapur. Membersihkan pecahan kaca sebelum makan, setelah selesai aku melotot melihat isi di dalam tudung saji."Amara!"Aku berteriak karena di dalam tudung saji, hanya ada gambar rendang daging dan gulai ayam. Amara seolah melampiaskan emosinya, karena aku telat beberapa jam memberinya uang."Sial perut lapar tapi tak ada makanan di rumah. Kalau begini aku harus mengejar Amara, dia pasti mau membeli bakso."Aku bergegas menyusul Amara ke warung bakso langganannya. Aku yakin dia pasti di sana."Mbak Amara, dia tidak kemari hari ini, Mas?" ujar pemilik warung bakso. Aku menatap ke dalam warung, memang tak terlihat Amara di sana kalau begitu kemana dia?""Percuma kau cari Amara di sini. Tadi aku lihat, dia dijemput seorang pria naik mobil." Wanita itu tersenyum setelah memberiku informasi.Tapi aku masih belum percaya, karena tak mungkin ada pria yang menyukainya karena dia buluk dan kucel. "Aku tau dia buluk dan kucel. Tapi kalau mandi pasti masih bisa di pakai."Plak ... plak ....Aku terkejut setengah mati, saat seseorang menampar wajah wanita itu. Saat melihat orangnya ternyata Amara."Tua bangka gila. Mulut mu memang perlu di hajar, berani kau memfitnahku." Amara menggila dia menghajar wanita itu. Untung ada yang dengar dan memisahkan mereka."Apa kau sudah gila, Amara? Kau menghajar orang tua."Seorang pria menatap Amara. Seolah tak percaya kalau istriku begitu kurang ajar, Wanita itu terlihat begitu menderita."Amara cepat minta maaf."Plak ...Aku melotot saat merasakan panas di pipi, karena tamparan Amara. Dia menatap ku penuh dengan emosi."Setelah wanita ini memfitnah istrimu. Kau tak mampu membela kehormatannya, sekarang kau mau aku minta maaf di mana otak mu?!" pekik Amara.Dia melotot saat menatap wanita di depannya. Meski masih meringis kesakitan, wanita itu masih tak mau pergi."Perempuan sundal, kau berani menghajar-ku. Lihat apa yang akan dilakukan Yanto, saat dia tau perbuatan mu ini!" teriak wanita itu.Dia menunjuk wajah Amara. Membuatku takut, karena dia menyebut nama anaknya yang terkenal kejam."Bagus, kita lihat sehebat apa anak lelaki mu itu. Jangan sampai aku memakaikan baju perempuan padanya."Semua orang terkejut mendengar ucapan Amara. Kalau begini, aku tak akan bisa menolong istriku lagi."Amara, kau minta maaf saja. Jangan sampai terlibat dengan Yanto, kau kan tau perangai pria itu," ucapku pelan.Amara seolah tak perduli, dia segera pergi dan tak jadi masuk ke dalam warung bakso. Aku hanya mengekor dari belakang takut dia marah lagi."Amara, tolong berpikirlah. Ini demi keselamatan mu juga, tak masalah minta maaf saja."Aku menutup mulut saat Amara berbalik dan menatap ke arahku. Dia benar-benar keras kepala, aneh biasanya dia tak seganas ini kalau marah. Kenapa dia bisa berubah seperti ini."Kau tak perlu takut, Mas. Biar aku yang menangani semua masalah ini, bukankah sudah biasa aku yang menghadapi segalanya."Amara berkata dengan nada sinis. Aku heran sebenarnya apa yang dia maksudkan, dari tadi dia bicara tapi tak ada yang aku mengerti."Aku mohon kalau bicara yang jelas. Aku tak paham apa yang kau katakan, aku hanya minta kau minta maaf, agar masalah tadi tak semakin panjang. Aku takut berandalan kampung itu akan menganggu kita." Aku mencoba menjelaskan, namun Amara seperti tak mau mengerti. Dia masih terlihat tak perduli padaku."Terus uang gajiku kenapa kau tinggal begitu saja. Seharusnya kau simpan sebelum pergi, kalau hilang bisa habis kita."Aku terkejut karena tiba-tiba Amara berhenti berjalan. Dia menatapku dengan heran entah karena apa."Kita?" tanyanya."Iya kita, kau kan tau cicilan harus di bayar dengan uang itu. Kalau tidak bisa kacau semuanya." Kali ini Amara terlihat mengerti apa yang aku ucapkan. Baguslah, jadi dia tau harus melakukan apa dengan uang itu."Kadang aku heran, Mas? Sebenarnya kau punya otak atau tidak? Aku sudah sangat lelah dengan semuanya. Bagaimana kalau kita berpisah saja?"Aku terkejut mendengar ucapan Amara. Dia seolah begitu ringan saat meminta pisah, apa tak terpikir susahnya menjadi janda. "Kalau bicara dijaga, jangan sampai di kabulkan Tuhan. Kau tak mau kan menjadi janda di usia muda?"Aku menatapnya yang terlihat menarik napas. Terlihat kalau dia tengah memikirkan ucapanku, makanya dia hanya bisa diam saja sekarang."Apa kau pikir, sekarang ini aku tak seperti janda, Mas. Akan lebih baik aku sendiri, tanpa harus memikirkan nasib anak orang."Aku terpaku mendengar ucapan Amara. Karena itu aku segera berlari mengejarnya, namun mataku melotot melihat siapa yang berdiri di depan rumah kami. "Bagus, akhirnya kalian sampai juga.""Bagus, akhirnya kalian sampai juga."Aku dan Amara menatap ke arah rumah. Ternyata sudah banyak orang menunggu, tak ketinggalan ibu juga datang. "Katakan apa yang dilakukan istrimu, Bram? Kenapa ada orang bikin ribut di rumahmu?"Aku menarik napas setelah mendengar pertanyaan ibu. Apalagi saat melihat tatapan mata Amara, jelas sekali dia menatapku dengan sinis. "Sudah gak usah banyak bacot kalian. Sekarang katakan apa salah ibuku? Sampai kau tega memukulinya," tanya Yanto.Mendengar pertanyaan pria itu sudah membuatku takut. Apalagi saat melihat matanya yang terlihat sedang marah besar. "Apa ibumu bisu? Sampai kau datang kemari cuma untuk bertanya. Kenapa aku menamparnya?" Aku terkejut mendengar ucapan Amara. Dia begitu berani melawan Yanto, pria yang terkenal brengsek di kampung ini. "Lancang kau betina, berani kau kurang ajar padaku."Aku bergerak mundur, saat Yanto mengangkat tangan, hendak menampar Amara. Namun mendengar ucapan Amara selanjutnya membuat semua orang terkejut."B
"Sisa seratus ribu?"Amara terlihat mengerutkan keningnya. Dia menatap buku di hadapannya lalu menatapku seolah tak percaya.Brak ...."Kau pikir aku akan tetap diam, menjalani pernikahan bodoh ini, Mas. Ini kau gunakan untuk sebulan."Amara terlihat sangat marah, dia bahkan melempar selembar uang yang tersisa itu, tepat di depan wajahku."Lima ratus sebulan saja kalang-kabut. Ini di sisain seratus ribu, enak betul hidupmu, Mas."Amara segera keluar dari rumah. Seperti biasanya dia akan melakukan itu jika marah. Aku segera menyusulnya sebelum dia membuka pintu."Selamat malam, Mbak. Apa mas Bram ada di rumah, saya datang mau mengembalikan kuncinya waktu terjatuh di pangkalan."Aku melotot saat melihat siapa yang datang. Sialnya lagi, Amara melihat raut wajahku saat melihat wanita itu."Pangakalan ojek atau pangkalan esek-esek kau temukan benda itu?""Pangkalan ojek.""Pangkalan bang Dudung."Mendengar jawabanku dan wanita itu yang bersamaan. Amara tampak tersenyum, karena ucapan kami
"Apa maksudmu, Bram?"Bapak Amara terkejut, saat mendengar kedatangan Bram untuk mencari Amara istrinya. Mereka hanya tau kalau anaknya bahagia hidup bersama suaminya."Jelaskan pada bapak apa yang terjadi? Kenapa kau mencari Amara kemari, sejak kapan dia pergi?"Bram menelan ludah saat mendengar pertanyaan bapak mertuanya. Sedang ibu mertuanya, menangis begitu mendengar Amara sudah menghilang selama seminggu."Sudah seminggu, kau baru mencari sekarang Bram, ada ponsel apa gunanya benda itu bagimu?"Bram tak mampu menjawab, dia menuruti ibunya untuk tidak menghubungi orangtua Amara. Agar mereka tau kalau perbuatan anaknya, melukai Bram sebagai suaminya."Pulanglah, aku muak melihatmu. Aku kira Amara berada di tangan yang tepat, ternyata aku salah besar."Pria itu meremas dadanya. Merasakan sakit luar biasa, karena putri tunggalnya entah berada di mana. Bram tak mampu bicara, dia memilih untuk kembali pulang daripada membuat marah mertuanya."Amara benar-benar menghilang, Pak De. Aku d
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa membuat keributan di rumah kami?" Bram dan ibunya terkejut, karena kedatangan Bandot yang langsung masuk ke rumahnya. Disaat dia dan ibunya sedang mempersiapkan sarapan."Kau tak usah banyak tanya, segera bereskan barang kalian dan segera keluar dari rumah ini. Karena aku sudah membelinya dengan harga mahal." Bram dan ibunya tertawa, mereka mengira kalau Bandot sedang bercanda. Mereka sampai terduduk, karena merasa lucu pada pria berperut buncit itu."Kau salah Bos, rumah yang kau beli milik ibuku. Tempatnya bukan di sini tapi di sebelah sana." Bram menunjuk ke arah rumah ibunya yang letaknya tak terlalu jauh. Namun Bandot seperti tak perduli, membuat Bram dan ibunya kesal padanya."Lagipula ini rumah tidak kami jual, Karena kami akan tinggal selamanya di sini," ujar Bram sinis. "Siapa bilang kalian akan tinggal disini? Karena Amara sudah pergi. Maka aku ambil lagi rumah yang aku izinkan kalian tempati, apalagi sertifikat rumah ini juga masih namaku.
"Kau mau kemana, Bram? Tunggu ibu, apa kau yakin menyewa rumah kecil ini?"Bram berhenti dan menatap ibunya. Dia sangat kesal dengan keegoisan keluarganya, mereka masih tak sadar, kalau sedang dalam masalah besar saat ini."Ibu tau, kita tak jadi pergi liburan dan semuanya hangus begitu saja. Uang penjualan rumah hanya tersisa sedikit lagi. Aku harus membuat bapak Amara tak jadi melaporkan kita ke polisi."Bram melangkah pergi. Dia harus segera bertindak, jika tak mau masuk penjara. Satu-satunya cara hanya dengan mengembalikan uang Amara."50 juta sudah aku transfer ke rekening Amara. Semoga bapak mau mengurungkan niatnya untuk melapor ke polisi," ujarnya pelan."Memangnya kau yakin, dengan mengembalikan uang itu, mertuamu tak akan melanjutkan laporan ke kantor polisi, Bram?"Rudi, teman kerja yang dia minta untuk menemaninya ke bank untuk setor tunai. Bertanya seolah tak pasti, kalau laporan akan diurungkan setelah menerima uang dari sahabatnya."Aku hanya bisa berharap mertuaku tak
Tok ...tok ...."Mbak Amara, buka pintu cepat!"Amara bergegas membuka pintu. Karena terburu-buru kakinya sampai menendang kaki kursi, sakit luar biasa tapi dia tak perduli, karena takut terjadi sesuatu pada Bram suaminya."A ... Ada apa, ada apa?"Amara mencari keberadaan suaminya, namun hanya ada kedua adik iparnya yang menatapnya dengan pandangan aneh."Mbak sudah gila, Ya. Kenapa keluar dengan keadaan seperti ini? Memalukan, apa tak bisa pakai baju atau handuk, agar tak kelihatan basah semua rokmu." Amara terduduk lemas dia berlari karena kalut. Dia sedang mencuci baju tentu semua bajunya basah, teriakan adik iparnya sungguh membuatnya emosi.Plak ... Plak ....Kedua adik iparnya terkejut, saat merasa perih di pipi mereka. Amara memberikan masing-masing satu tamparan. "Apa tak ada otak kalian berdua? Sekolah tinggi-tinggi tapi tak beradab. Apa begini cara bertamu ke rumah orang? Kalian hampir membuatku mati karena terkejut. Apalagi yang kalian inginkan sekarang?!" pekiknyaAmara s
Bab9 (Gara-Gara Mesin Cuci)"Kau lihat itu istrimu, dia bahkan membeli mesin cuci. Daripada boros, uangnya kan bisa untuk DP motor buat adikmu sekolah." Dua hari setelah keributan bersama kedua iparnya. Kini sang ibu mertua datang-datang mengamuk karena Amara membeli mesin cuci.Brak ....Amara mengebrak meja, dia sudah capek menghadapi keluarga suaminya yang semakin tidak manusiawi. Bahkan untuk mesin cuci saja mertuanya datang bersama para tetangga."Cukup! Aku sudah muak, Bu. Memangnya kenapa kalau aku beli mesin cuci? Asal ibu tau, tak ada uang mas Bram yang aku pakai untuk membeli mesin cuci ini."Amara berteriak dia sudah sangat kehabisan kesabaran. Apalagi saat melihat suaminya hanya diam saja."Kenapa kau tak bicara, Mas. Katakan kalau mesin cuci ini aku beli, mengunakan uang kiriman bapak. Uang yang sebagian besar dinikmati oleh ...," ucap Amara yang terpotong pekikan Bram."Cukup Amara! Kau tak perlu berteriak, saat bicara dengan ibu. Apa kau tak punya sopan-santun." Amara m
Husin dan istrinya menatap seorang wanita yang duduk dengan pandangan kosong. Dari balik jendela kaca mereka hanya bisa menyeka airmata, karena wanita yang di ruangan itu tak lain adalah Amara putri mereka."Dia sudah mulai membaik, Pak. Setelah menemui psikolog beberapa kali." Husin berbalik, lalu menatap seorang pria yang mengaku telah menolong Amara."Malam itu saya menolong, saat seorang pria mencoba melecehkan dirinya. Dengan sekuat tenaga dia mempertahankan kehormatannya, hingga tanpa sadar telah mengalami pendarahan." Husin kembali menarik napas, dia tak menyangka putrinya mengalami nasib yang begitu menyedihkan."Apa pria itu berhasil di tangkap?" tanya Husin. Pria itu menarik napas saat melihat pria muda di depannya mengelengkan kepala. Ada sesal karena tak berhasil melihat wajah pelaku yang membuat putrinya berakhir di rumah sakit jiwa."Dia tidak gila hanya depresi saja. Saat ini kami sengaja membawanya bertemu psikiater, kami berusaha menyembuhkan dirinya." Husin mendekati
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan