Sayangnya kesalahan itu sangat besar, akan sulit untuk mendapatkan pengampunan. Semangat Am, jangan menyerah sebelum berperang.
"Kita sudah bisa masuk, Tuan." Denis menyerahkan pasport dan tiket pesawat. Kali ini aku berniat kembali mengejar istriku, tak akan melepaskannya lagi."Kau sudah pastikan, kontrak kerjasama itu sampai ke tangan Aska?" tanyaku pada Denis. "Sudah Tuan, saya bisa pastikan kalau pria itu tidak akan menyetujuinya," jawab Denis dengan pasti.Kerjasama dengan Aska, hanya bisa terjadi dalam mimpi. Aku hanya akan mengunakan pria itu untuk menekan Amara, kali ini aku tidak akan bersikap lembek lagi, istriku harus kembali dan pulang dalam dekapanku."Pastikan tidak ada yang tau di mana kita tinggal, aku tak mau ada yang mendatangi apartemenku lagi." Denis segera mengangguk begitu mendengar ucapanku."Aku mau melihat kedua anak itu, pastikan posisi mereka begitu kita sampai di sana." Aku masih penasaran dengan kedua anak itu. Benarkah salah satunya mirip denganku."Maaf Tuan, kedua anak itu selalu bersama dengan orang tua Nyonya. Kadang sampai menginap di rumah Nyonya, pagi hari baru mereka kemba
Dengan jari mengetuk meja, aku menatap Amara yang tengah berdebat dengan Andin. Wanitaku yang dulu lemah lembut itu, kini telah berubah menjadi pemberani dan percaya diri. Tepatnya dia telah kembali, menjadi Amara yang aku kenal waktu remaja. Bukan Amara yang lemah karena menikah dengan Bram. Ish, melihatnya seperti itu membuatku bergairah, sayang gairah itu menurun begitu mendengar suara Bara.Interaksi pria itu dengan istriku terlihat begitu akrab, aku cemburu melihat tatapan matanya pada Amara, apalagi istriku itu juga menangapi dengan baik pertanyaan Bara."Tuan," panggil Denis, begitu melihatku mengepalkan tangan karena istriku di bawa pergi brondong. "Menurutmu, antara aku dan brondong itu. Siapa yang lebih tampan dan mempesona?" tanyaku seperti anak kecil. "Tak perlu kau jawab," selaku sambil berjalan pergi.Tadi aku melihat Amara keluar dari ruangan pribadi yang di pesan Bara, tanpa menghiraukan Andin aku mengejar istriku itu. Hasilnya aku harus gigit jari karena Amara pergi
"Tuan." Suara Denis membuatku berbalik, lalu meninggalkan tepi jendela. Sudah satu jam sejak mendarat di tempat ini, aku belum istirahat sama sekali. "Sudah dua bulan, apa belum ada kabar soal istriku?" tanyaku pelan.Denis tidak menjawab hanya menarik napas lalu mengelengkan kepala, kali ini Amara benar-benar menghilang seperti di telan bumi. "Orang-orang yang mengawasi Aska dan Bara tidak menemukan apa-apa, Tuan. Sepertinya mereka memang tidak tau di mana Nyonya berada, bahkan Bara juga mengirim orang untuk mencari beliau." Mendengar laporan Denis membuat kepalaku makin pusing. "Ada apa kau datang kemari?" tanyaku dengan heran, karena tak tau kenapa asistenku ini datang ke kamarku daripada istirahat. "Ada undangan dari tuan Tanaka, nanti malam di klub miliknya." Denis menyerahkan sebuah undangan. Aku mengambil lalu melihat isinya, ternyata undangan anniversary pernikahannya. "Siapkan hadiahnya."Setelah memberi perintah aku berjalan menuju ke kamar, lebih baik aku istirahat sebe
Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan gelisah, aku tidak memperdulikannya dan lebih memilih menikmati kopi panas di depanku. Sesekali aku melirik ketika melihatnya mulai kehilangan kesabarannya. "Katanya mau bicara, tapi aku lihat kau begitu menikmati kopi panasmu, seolah hidup tanpa beban sama sekali," ketusnya sambil duduk di depanku. "Sayang, dari tadi kita sedang bicara. Aku hanya memberimu waktu untuk berpikir, memilih menjelaskan dengan jujur atau aku bertindak kasar, itu saja yang harus kau pilih," ujarku dengan tenang."Omong kosong, bicara apa maksudmu. Kau bahkan bicara yang tidak-tidak, anak apa yang sejak tadi kau tanyakan. Sudah jelas anak kita sudah meninggal, apa lagi yang membuatmu bingung." Amara kembali kehilangan kesabarannya, aku tau itu tanda dia mulai resah. Mungkin takut ketahuan telah berbohong padaku."Dokter yang membantumu bersalin telah tertangkap, ada namamu yang menjadi salah satu pasiennya. Untung ada polisi yang ingat namamu dan curiga, jadi menghub
"Sayang, mana yang sakit?" tanyaku saat melihat Amara terbangun dan membuka matanya. Dia tidak menjawab hanya memejamkan kembali matanya, lalu menatapku tajam. Tiba-tiba sebuah bantal melayang tepat mengenai wajahku. Denis dan dokter yang ada di ruangan terdiam, setelah itu beranjak pergi keluar dari kamar. "Sialan, kenapa gak ma ...." Amara tidak melanjutkan ucapannya, hanya kembali melempariku dengan bantal. "Keluar, keluar!" teriaknya dengan sekuat tenaga. Aku segera mundur ketika melihatnya memegangi kepala, tak ingin membuatnya marah jadi aku memilih untuk pergi sejenak. Begitu aku menutup pintu, terdengar suara gaduh di dalam kamar. Jelas Amara tengah melepaskan amarahnya, aku menarik napas lalu mengintip lewat lobang kunci. Kamarku sudah seperti kapal pecah, banyak barang berakhir di lantai.Tak lama kemudian aku melihatnya duduk memeluk lutut di atas tempat tidur, melihatnya tenang aku memilih untuk segera masuk. Aku tidak memperdulikan apapun selain istriku itu, dengan la
Aku duduk dengan wajah cemberut, di depanku Amara juga duduk sambil memainkan garpu di tangannya. Siapa sangka benda itu bisa di gunakan untuk mengancam Denis, agar tidak membuka mulut meski melihat Amara merekam pembicaraan kami. "Maaf Tuan, tadi Nyonya menempelkan benda itu di leher anda. Saya tidak mau mengambil resiko, apalagi tadi anda terlalu rapuh." Aku melotot mendengar penjelasan Denis, berani sekali dia mengatakan aku sedang rapuh. "Sudahlah, setidaknya aku mendapatkan kembali. Istri, anak dan kedua mertuaku, kau siapkan semuanya segera. Kita kembali sekarang juga, aku sudah tak sabar bertemu anak-anakku." Aku tersenyum melihat wajah pucat istriku. Dia pikir sudah menang tapi aku melemparkan pukulan terakhir yang tak dia duga sama sekali. "Tunggu dulu, mana bisa begitu. Mereka tidak mengenalmu, bisa-bisa mereka ketakutan. Jangan lupa terakhir kali mereka bertemu denganmu." Amara mengengam tanganku, lalu menariknya agar mendekat padanya."Baiklah, kau bisa bertemu mereka,
Aku duduk diam sambil menyentuh luka di wajahku, di depanku bapak mertua juga duduk diam tanpa bicara. Sedangkan di sebelahnya, anak perempuannya terlihat tanpa perasaan, makan siomay yang dia beli saat aku sedang di pukuli oleh bapaknya. Wanita itu benar-benar tanpa perasaan, dia bahkan tidak melirik sama sekali, meski aku sudah mendesis tanda kesakitan.Bapaknya juga sama saja, meski diam tak bicara tapi mulutnya terus terbuka menerima suapan anak perempuannya. "Bapak heran denganmu, kalau memang tak menginginkannya, kenapa harus mengejarnya seperti ini? Akan lebih baik kalian jalani hidup masing-masing dan tidak saling menyakiti lagi." Bapak mertua akhirnya membuka mulutnya, meski masih ada makanan di mulutnya. "Ara juga sudah sudah bahagia, meski tanpa suami dan ayah anak-anaknya. Kau juga bisa lebih aman dan lebih leluasa memanjakan wanita-wanita simpananmu di luar sana," ketus mertuaku semakin pedas."Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya tidak pernah memiliki wanita lain selain is
"Huh, hanya nasi goreng dan semur ayam. Di tambah makanan yang seharga sepuluh ribu saja sudah sombong, mereka tidak tau kalau tas yang kita belikan harganya lima ratus ribu lebih." Suara anak laki-laki terdengar ketus. Tidak lama terlihat dua orang anak, masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Di belakangnya terlihat ibu mertuaku juga berwajah sama, masam dan cemberut."Ada apa, kenapa cemberut begitu? Kata kakek kalian pergi ke acara ulang tahun teman baru. Kenapa pulangnya berwajah cemberut begini?" tanya istriku dengan merentangkan tangan. Kedua anak itu terdiam sebentar, lalu berlari dengan heboh ke arah istriku. Mereka berada dalam pelukan Amara, lalu menciumi wajahnya istriku itu dengan meriah. "Mami sudah kembali, kapan sampai dengan siapa? Om Bara atau om Aska?" tanya mereka yang membuatku cemberut. "Masam banget wajah orang ini, siapa dia mami?" tanya anak laki-laki di pelukan Amara. Dia bertanya tapi matanya menatapku penuh dengan kebencian, aku terpaku sejenak sebelu
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan