Setelah istirahat beberapa waktu, saatnya kita mulai lagi. Happy reading semuanya.
"Huh, hanya nasi goreng dan semur ayam. Di tambah makanan yang seharga sepuluh ribu saja sudah sombong, mereka tidak tau kalau tas yang kita belikan harganya lima ratus ribu lebih." Suara anak laki-laki terdengar ketus. Tidak lama terlihat dua orang anak, masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Di belakangnya terlihat ibu mertuaku juga berwajah sama, masam dan cemberut."Ada apa, kenapa cemberut begitu? Kata kakek kalian pergi ke acara ulang tahun teman baru. Kenapa pulangnya berwajah cemberut begini?" tanya istriku dengan merentangkan tangan. Kedua anak itu terdiam sebentar, lalu berlari dengan heboh ke arah istriku. Mereka berada dalam pelukan Amara, lalu menciumi wajahnya istriku itu dengan meriah. "Mami sudah kembali, kapan sampai dengan siapa? Om Bara atau om Aska?" tanya mereka yang membuatku cemberut. "Masam banget wajah orang ini, siapa dia mami?" tanya anak laki-laki di pelukan Amara. Dia bertanya tapi matanya menatapku penuh dengan kebencian, aku terpaku sejenak sebelu
"Sedang apa kau di sini? Wajahmu juga kenapa masam begitu?" tanya Amara saat melihatku. Dia baru keluar dari kamar mandi jadi hanya memakai kimono saja, mataku berbinar ketika mengingat kebiasaan. "Sudah mau Maghrib Denis belum datang juga, dia sudah mencarikan kamar hotel untukmu kan?" tanyanya tanpa merasakan bahaya. Aku tidak menjawab hanya berjalan ke belakangnya, lalu memeluk tubuhnya dari belakang."Untuk apa mencari kamar hotel, kalau sekarang aku ada di kamar istriku?" Aku mencium bahunya lalu mengigit telinganya dengan lembut."Dasar mesum, ini sudah mau Maghrib. Bukannya bersiap ke masjid, kau malah sibuk menggerayangi tubuh janda." Aku melotot mendengar ucapan Amara. "Katakan sekali lagi, siapa yang janda?" Aku mencium bibirnya dan menggigitnya dengan keras. Amara meringis lalu memukuliku dengan cepat."Pergi sana." Amara mendorongku lalu melangkah menuju ke lemari baju, dia mematung lalu berbalik memelototi. "Kita suami-istri baju juga harus satu lemari." ujarku santai. T
Aku berkali-kali menarik napas, sembari menatap pintu kamar kedua anakku. Ucapan Rama tadi begitu menyakitkan, ternyata aku telah melukai begitu dalam hati istri dan anak-anakku. Dengan lemas aku mengusap air mata di wajahku, sungguh aku tidak pernah berniat menyakiti mereka, hanya saja kesalahpahaman itu benar-benar merusak segalanya.Perlahan aku mengangkat kepala saat melihat pintu kamar itu perlahan terbuka, Amara keluar dengan wajah sendu. Dia terkejut saat melihatku ada di depan pintu, dengan langkah pelan dia mendekat lalu meraba pipiku dengan lembut."Sudah malam pergilah tidur," pintanya lirih. Aku menarik napas lalu melangkah menuju ke kamarnya, dia terkejut lalu berlari mengejarku yang sudah masuk ke kamarnya. "Aku ... Aku menyuruhmu pergi tidur tapi tidak di kamarku." Aku berbalik lalu menatapnya dengan pura-pura bingung. "rumah ini hanya ada tiga kamar tidur. Satu di tempati bapak dan ibu, satu lagi di tempati Rama dan Rara. Sekarang aku harus tidur di mana selain kamar
Aku baru saja keluar dari kamar mandi, ketika melihat Amara termenung sembari menatap ponselnya. Entah apa yang tengah dia pikirkan kali ini, apa mungkin tengah memikirkan Aska atau Bara."Ada apa? Termenung seperti itu?" tanyaku lirih sembari menahan emosiku. "Anakmu memukuli anak orang." Aku tersentak mendengar ucapan Amara. Mau bertanya lebih jelas tapi istriku itu sudah berlari seperti orang gila keluar kamar."Bapak." Amara memangil bapak yang juga tengah berjalan dengan wajah panik. "Seumur mereka hidup baru kali ini, Rama memukuli anak orang." Akhirnya aku baru sadar apa yang terjadi, dengan panik kami berlarian keluar rumah. "Ini?" Bapak, ibu dan Amara tercengang, begitu melihat dua motor gede terparkir di depan rumah. Denis menggaruk kepalanya, saat melihat keterkejutan di wajah ketiga orang itu. "Beri bapak kuncinya, satu lagi serahkan padaku." Bapak terpaku sejenak lalu mengambil kunci di tangah Denis. Setelah itu membantu ibu naik ke motor gede itu."Menantu kurang ajar,
Kekuasaan memang bisa membutakan mata, sayangnya pria ini terlalu buta sehingga tidak melihat kenyataan di depan mata. Cara bicaranya begitu arogan sehingga tidak menatap tingginya langit di atas sana."Bu Weni termasuk warga lama di sini, begitu juga dengan mbak Desi. Sedangkan kalian termasuk pendatang karena bukan warga sini, setahu saya baru beberapa bulan saja kalian datang kan?" tanya pria yang ternyata RT lingkungan sini. Aku mengerutkan kening, karena sepertinya dia tidak mengetahui tentang bapak dan ibu yang warga lama dari kampung ini. Aku menatapnya karena bingung, seharusnya dia mengenal bapak karena warga lama sini saja mengenal beliau."Apa kau mengenal Franky?" tanyaku tiba-tiba. Pria itu terdiam sebentar sebelum menganggukkan kepala. Aku tersenyum sinis lalu segera berdiri karena aku tak mau menghabiskan waktu dengan percuma."Kalau begitu silakan tinggalkan rumah mertuaku, kita ketemu di kantor polisi. Satu lagi temui Franky, aku rasa ada yang akan dia katakan padamu.
"Sepi, katamu ada tamu," tanyaku dengan heran, karena begitu keluar dari kamar aku tidak mendengar, suara atau gerakan di ruang tamu. "Mana aku tau, kau yang menahanku tadi, mungkin saat ini Denis sudah membawa orang yang mencarimu itu pergi. Lagi pula siapa yang tahan, menunggu hampir dua jam tanpa kepastian," ujar Amara ketus. "Tuan." Tiba-tiba terdengar suara Denis, dari depan pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah. Aku dan Amara saling pandang lalu menarik napas panjang. "Padahal aku berniat membawamu kembali masuk ke kamar," ujarku lirih di telinga Amara. "Huh, maumu terus aja itu," ketus Amara sambil melangkah menuju ke dapur. "Nyonya, tidak usah membuatkan minuman lagi, karena saya sudah menyiapkan di depan." Aku tersenyum mendengar ucapan Denis ternyata dia gesit juga. "Nyonya Amara, tolong maafkan saya, saya mohon." Tiba-tiba seorang wanita mendekat lalu berlutut di depan istriku. Aku kesal begitu mengetahui siapa wanita itu. "Denis sepertinya kau semakin lambat da
"Memangnya kenapa, tidak mengijinkan aku dekat dengan Aska dan Bara?" tanyaku sambil menatap wajah suami yang menyebalkan itu."Masih perlu aku beritahukan alasannya?" jawab Ikhram dengan kesal. Aku mendengus lalu meninggalkannya, "Kalau tidak mau ngomong, gak usah pasang wajah seperti itu juga kali.""Mau kemana lagi?" tanyanya saat melihatku beranjak pergi. "Ke kamar melihat barang yang baru aku beli, selama ini aku bodoh telah mengabaikan uang yang sebanyak ini. Sekarang aku akan menghabiskan sebisaku selagi menjadi istrimu," ketusku sinis."Bagus, ada kemajuan jadi pergunakan sebanyak yang kau mau. Kalau habis aku akan kerja lebih keras lagi, asal bayaran cukup memuaskan di atas ranjang," bisiknya di telingaku. "Semakin lama kau semakin mesum, aku heran apa Kartika tidak cukup memuaskanmu," ujarku pelan. Tiba-tiba terdengar suara pintu di tutup dengan kencang, setelah itu aku terdorong hingga jatuh ke atas tempat tidur. Tidak lagi, pria ini masih mau berhubungan intim, setelah tad
"Mami, Abang dan Adik sudah tidak bisa sekolah lagi?" tanya Rama yang membuatku tersentak, untung Ikhram segera menjawab pertanyaan itu, "Sekolah dong, tapi tidak di tempat itu lagi. Kita akan pindah dan masuk ke sekolah baru." Sayangnya aku justru terkejut dengan jawaban Ikhram. Sejak kapan dia memutuskan kami akan pindah, dengan bingung mau menatap bapak dan ibu, tapi mereka terlihat tenang seolah mereka sudah tau keputusan Ikhram itu. "Ikhram benar, sebaiknya kalian pindah. Selama ada keluarga mantanmu itu, kita tidak akan bisa tenang. Lagipula sebagai istri kau harus mengikuti kemana pun suamimu pergi." Aku melotot begitu mendengar ucapan bapak. Aku tidak menyangka dalam waktu sedemikian cepat, Ikhram kembali mengambil hati bapak dan ibu. "Kita bicarakan lagi nanti." Ikhram memegang tanganku lalu memberi tanda untuk diam."Terserah kau saja, aku akan keluar membeli sayuran dan daging untuk makan siang nanti." Aku beranjak keluar dan berjalan menuju ke gerobak tukang sayur. Sialn
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan