Bram terkejut saat seseorang memukul pagar tepat di depannya. Dia melotot saat melihat satpam berbadan tegap, menatapnya dengan pandangan curiga. "Mau apa kau menatap rumah ini? Mau melihat kondisinya untuk kau rampok, iya?"Bram mengelus dadanya karena terkejut. Untung dia tak punya penyakit jantung, kalau tidak mungkin sekarang dia sudah menjadi mayat, karena terkejut atas perbuatan satpam itu.."Dasar tidak punya otak. Kau hanya kacung, harusnya bersikap sopan pada tamu. Aku mau bertemu Amara, beritahu dia Bram ingin bertemu. Kalau perlu suruh keluar juga pria yang memelihara pelac** itu."Trang ...Trang ....Bram menutup kupingnya, saat satpam itu dengan beringas memukuli pagar dengan tongkat yang dia pegang. Bram berteriak, meminta pria itu untuk berhenti memukuli pagar. "Hentikan Beno? Kau menganggu ketenangan warga kampung. Untuk apa kau lakukan itu?"Amara bersama kedua orangtuanya keluar menemui satpam. Mereka melihat apa yang membuat Beno melotot keluar pagar."Kau?"Bram m
"Bram, bangunlah jangan membuat ibu takut," panggil ibu Bram lirih di telinga Bram yang tidak sadarkan diri.Bram membuka mata perlahan, dia melihat ibunya menangis di samping tempat tidur. Dia berusaha mengerakkan tubuhnya, tapi terasa aneh karena kakinya seolah tak bergerak. "Kenapa kakiku tak bisa bergerak, Bu?"Bram mulai menyingkap selimut yang menutup tubuhnya. Sesaat kemudian napasnya terasa tersekat di tenggorokan, bagaimana tidak, dia melihat kakinya sudah tinggal satu. "Apa yang terjadi? Kenapa kakiku tinggal satu?"Bram mulai menangis, tak lama dia berteriak seperti orang gila. Dia tak menyangka akan menjadi orang cacat. Sekarang dia tak punya kesempatan, untuk bersaing dengan kedua pria yang mendekati Amara. "Sudahlah Bram, terima saja nasibmu. Sekarang cobalah untuk melupakan Amara, ibu tak mau kau memikirkan wanita itu lagi." Kata-kata ibunya membuat Bram murka. Dia merasa ibunya tak punya perasaan, di saat dia terpuruk begini, bukan membuat tenang justru membuatnya sem
Bab 19B (kebodohan ibu Bram)"Amara keluar! Buka pintu!" Ibu Bram berteriak di depan rumah Ikhram yang di tempati Amara. Banyak warga yang melihat wanita yang bertingkah seperti orang gila itu, tapi tak ada yang datang untuk menegurnya, mereka ingin tau apa yang hendak wanita itu lakukan lagi kali ini.Amara segera keluar begitu mendengar teriakan mantan ibu mertuanya. Entah mau apa lagi wanita itu datang ke rumahnya, kadang dia menyesal telah meminta Ikhram menarik laporannya di kantor polisi, kalau ternyata Bram dan ibunya tidak berubah sama sekali."Mau apa lagi kau kemari? Belum puas mendekam di penjara. Bukannya menjaga anak yang sedang terbaring di rumah sakit, kau justru mulai cari gara-gara."Ibu Bram seolah tak perduli pada ucapan bapak Amara. Dia tetap berteriak memanggil mantan menantunya. "Heran gak ada kapoknya, baru semalam anaknya kecelakaan. Sekarang ibunya bikin ulah gak ada jeranya."Terdengar suara para tetangga yang melihat, karena suara ibu Bram begitu keras. Meli
Manda baru saja akan merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Namun dia terkejut saat mendengar teriakan ibunya, meski malas dia bergegas juga keluar, karena takut terjadi sesuatu pada ibunya saat tidak ada orang di rumah. "Itu tidak mungkin, kalian pasti salah."Manda mendekati ibunya yang tengah menerima telpon entah dari siapa. Namun dia heran karena sang ibu terlihat panik, akhirnya dia bertanya karena penasaran. "Ada apa Bu? Siapa yang baru menghubungi nomor ibu?"Bukannya menjawab sang ibu justru menangis makin keras, hal itu membuat Manda makin pusing dan sakit kepala. "Bu, tolong jangan menangis lagi. Cepat katakan apa yang terjadi?" tanya Manda dengan nada tinggi."Mbakmu Manda, dia ditangkap warga, saat berbuat mesum di rumah pacarnya," jawab ibu Bram lirih. Amanda terkejut, dia tak menyangka kakaknya bisa sebebas itu. Apalagi sampai di tangkap warga."Apa yang harus kita lakukan Manda? Dia masih SMA, mana mungkin kita nikahkan." Manda menarik napas panjang, dia juga tak tau har
Iya, sudah sana berisik amat sih. Nanti pulang cepat, bisa bantu jaga Bram. Ibu mau istirahat capek tau." Mendengar permintaan ibunya Manda terlihat kesal. Sebenarnya dia tak mau terbebani dengan Bram, tapi mau bagaimana lagi pria itu saudara kandungnya."Desi bangun bantu ibu masak, jangan mengurung diri terus di kamar! Setelah Manda pergi, kini ibu Bram berteriak pada anak satunya lagi. Dia heran sejak pulang tadi, Desi langsung mengurung diri di kamar."Kenapa kau menangis? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta pada pria tak berguna itu?" Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Desi justru menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya."Bagaimana kalau Desi hamil Bu? Mana mungkin dia mau tangung jawab, setelah ibu hajar habis-habisan." Mendengar ucapan Desi sang ibu tampak terdiam. Dia kesal mendengar ucapan anaknya."Makanya lain kali gunakan otakmu itu, Des. Kalau begini kau yang rugi kan, lihat sampai sekarang pria itu tak ada menghubungimu." Desi bergerak cepat menyingkap selimutnya
Bram menatap kedua mempelai yang duduk dihadapannya. Ada rasa sakit luar biasa, melihat resepsi pernikahan adiknya yang terlihat sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dari pernikahan yang dia berikan pada Amara."Tidak usah kau sesali lagi Bram. Sekarang kau sudah terlepas, satu tanggungjawab pada adikmu. Masih ada Manda yang bisa kau buat untuk menebus kesalahanmu, kelak beri dia pernikahan paling mewah," pinta ibunya.Bram menarik napas panjang, mendengar ucapan ibunya. Jangankan memikirkan pernikahan Manda, untuk masa depannya saja dia masih belum tau lagi. "Carilah kerja, Bram. Agar kita bisa bilang pada Amara dan orangtuanya, kalau kita baik-baik saja tanpa mereka."Kembali Bram menarik napas. Mengedarkan pandangan ke seluruh tempat, tak terlihat Amara dan keluarganya, meski dia sudah mengundang mereka semua. "Bahkan mereka tak sudi datang, Bu. Padahal aku sendiri yang mengantar undangan."Bram terlihat sedih, sebenarnya dia berniat membuat Amara iba atau kasihan. Sehingga mau k
"Kenapa kita kemari lagi?" tanya Amara. Wanita itu menatap gedung yang sangat ingin dia lupakan. Tempat yang dia habiskan waktu depresi dulu."Dokter Liana ingin bertemu denganmu, Ra. Dia bilang sudah lama kau tak menemuinya, apa benar kau tak lagi konsultasi padanya?" tanya Ikhram.Amara tak menjawab pertanyaan Ikhram. Dia tau pria itu ingin dia benar-benar sembuh, dia orang pertama yang membawanya kemari. Jika bukan karena pria itu, mungkin dia sudah berakhir di jalanan sebagai orang gila."Aku tidak gila mas, aku sudah sembuh. Lihat aku bahkan bisa membalas dendam pada Bram kan?" Amara mencoba menjelaskan, kalau dia sudah tidak membutuhkan psikiater. Dia yakin sudah sembuh dan bisa menjalani hidupnya seperti semula."Aku tau kau sudah sembuh, Ra. Karena itu dokter Liana ingin memastikan saja, kalau kau memang baik-baik saja." Ikhram menatap Amara. Dia tak mau wanita itu tertekan karena berada di rumah sakit jiwa, walau hanya untuk menemui dokter Liana."Kalau merasa tak nyaman, bag
Amara menarik napas panjang sebelum membuka matanya, entah berapa lama dia tertidur...tidur? "Di mana aku?" tanyanya dengan linglung. "Rumah, kau sudah di rumah, Nak," jawab seorang wanita yang ternyata ibunya. "Air, aku haus, Bu." Mendengar ucapan anaknya. Wanita itu bergegas meraih gelas berisi air minum."Kenapa aku bisa di rumah? Bukankah tadi aku di ... Rumah sakit jiwa?" Amara menekan kata rumah sakit jiwa. "Ikhram dan Rizwan membawamu pulang tepat waktu," jawab ibu Amara lirih.Amara tidak lagi bicara dia segera menerima air yang di sodorkan ibunya. Dengan rakus dia menghabiskan air dalam gelas itu, dia sampai menarik napas panjang begitu selesai minum. "Haus sekali, Bu," ujar Amara dengan malu-malu. "Mau lagi?" tanya sang ibu pelan. Amara segera mengelengkan kepala karena sudah cukup puas minum."Apa yang terjadi padamu tadi, Ara?" Amara terdiam begitu mendengar pertanyaan sang ibu. Matanya menerawang saat mengingat ucapan dokter yang selama ini merawatnya, jelas dokter itu b
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan