Apa keputusan yang akan Ikhram ambil setelah mendengar ucapan istrinya. yuk ikuti terus dan berikan GEMS biar semangat nulisnya. Yuk baca juga cerita ini: 1. Istriku Minta Cerai Setelah Aku Tagih Hutangnya. 2. Kunci Brangkas Rahasia Suamiku. 3. Maaf, Aku Pantang Cerai 4. Bawa Anak Lelakimu Pulang, Bu. 5. Talak Di Hari Kematian anakku. Happy reading and bantu vote ya guys. terima kasih.
Aku menatap sebuah kartu debit warna gold yang ada di atas meja. Kartu yang aku tinggalkan saat pergi ketika hamil, berarti hampir enam tahun aku tidak melihat kartu itu. Tidak menyangka Ikhram masih menyimpannya, meski aku tidak mengharap isinya. "Apa ini, dan untuk apa?" tanyaku."Tidak perlu kembali ke kampung, atau menjual rumah dan tanah bapak. Di kartu ini ada uang hampir lima belas miliar, jika kurang tinggal bilang aku akan transfer lagi," jawabnya dengan santai. "Untuk apa kau memberiku uang sebanyak ini?" tanyaku lagi. "Itu uangmu, aku sudah menjual rumah yang aku berikan sebagai mahar untukmu. Selain itu uang di kartu itu adalah nafkah, yang selama ini aku berikan kepadamu selama kita menikah." Ikhram menjelaskan dengan wajah datar. Aku tertawa lalu menyerahkan kembali kartu yang dia berikan padaku. Sejak pergi meninggalkannya, aku sudah tidak mengharapkan nafkah apapun darinya, jadi aku tidak akan menerima pemberiannya itu. "Aku tidak berhak menerimanya, selain menjual r
Aku keluar dari kamar, setelah selesai memakai baju dan mengeringkan rambut. Di ruang tengah aku justru bertemu dengan Denis, entah untuk apa pria ini datang kemari."Nyonya Amara," sapanya. "Hem," jawabku tanpa menatap wajahnya. Denis menggaruk kepalanya yang mungkin tak gatal, sedangkan Ikhram hanya diam sembari menatap tak berdaya."Jangan berpikir untuk kabur dari pintu itu, Karena sudah terkunci otomatis begitu tertutup," ujar Ikhram saat melihatku menatap pintu. Aku tidak bicara hanya melanjutkan langkah, menuju ke meja makan yang sudah terhidang banyak makanan.Tanpa melihat Ikhram dan Denis, aku segera mengisi piring dengan makanan. Aku hendak duduk kembali, ketika mendengar tawaran Ikhram agar Denis ikut makan. "Aku akan makan di kamar." Aku tidak jadi duduk lalu mengambil piring berisi makanan.Saat hendak pergi Denis buru-buru berkata, kalau dia ada urusan lain. Tanpa menunggu persetujuan Ikhram, pria itu langsung membuka pintu setelah menekan sidik jarinya. "Jadi benar per
"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil mengobati luka di tangan ikhram. Jelas ini karena dia meninju sesuatu, dari bekas yang menempel, sepertinya yang jadi korban dinding rumah sakit. "Tidak ada, hanya sedikit melepaskan perasaan geram," jawab Ikhram. Aku melirik Denis dari wajahnya jelas kalau dia tengah resah, ini pasti ada hubungannya dengan ucapanku tadi. Aku mengobati tangan Ikhram sambil berbaring miring. Sedangkan Ikhram duduk di sebelah tempat tidur, tiba-tiba terasa sebuah kecupan di dekat kupingku. Ternyata Ikhram baru saja mencium tempat itu. "Terima kasih, walau hanya perhatian kecil, setidaknya kau masih memperhatikanku." Dia tersenyum dengan penuh percaya diri.Aku menarik napas lalu menyerahkan kotak obat ke tangan Ikhram. "Setelah ini jaga dirimu baik-baik, aku mungkin tidak akan ada di sampingmu lagi. Jadi jangan melakukan sesuatu yang dapat melukai dirimu." Ikhram terdiam setelah mendengar ucapanku.Namun itu tidak berlangsung lama, setelah itu dia kembali mengambil mak
"Apa yang sudah kau minum?" tanya Ikhram yang tiba-tiba, hingga membuatku tersedak. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menepuk dada sembari menatapnya. "Bukan apa-apa," jawabku akhirnya, karena dia terus menatap tanpa berkedip. "Muntahkan!" Aku terkejut ketika dia membawaku ke kamar mandi, lalu memasukkan jarinya ke mulutku. "Brengsek, apa yang kau lakukan?!" pekikku di depan wajahnya. "Obat apa yang kau minum??" teriaknya tak mau kalah. "Melihat matanya berkaca-kaca, aku terdiam karena merasa bersalah. "Denis, apa yang kau lakukan? Baru satu jam aku pergi dan kau sudah kecolongan. Siapa yang masuk setelah kau pergi?" Denis yang tadi masuk karena mendengar keributan, kini terdiam setelah mendengar pertanyaan Ikhram. "Seorang perawat masuk untuk mengecek ke adaan Nyonya, setelah itu seorang perawat masuk lagi, untuk cek tekanan darah Nyonya Amara." Denis melaporkan apa yang terjadi saat Ikhram pergi."Cari mereka, aku mau tau obat apa yang mereka berikan pada istriku." Ikhram memberi
"Kau dengarkan saja pembelaan asistenmu ini, aku tidak membutuhkannya, jadi aku tidak peduli lagi." Aku beranjak hendak pergi, tapi Ikhram mencekal lenganku dengan keras."Bagaimana dia akan membela diri, jika kau tidak mendengarkan alasannya. Bukankah kau marah karena mama tidak mendengar penjelasanmu, begitu juga dengan Denis. Jika dia terbukti bersalah aku sendiri yang akan mengusirnya." Ikhram menatapku lalu menganggukkan kepalanya, aku tau dia memintaku untuk mendengarkan Denis."Terima kasih karena Tuan Ikhram dan Nyonya Amara, mau mendengarkan pembelaan saya. Namun saya masih tidak mengerti, mengapa Nyonya menuduh saya sedemikian rupa?" tanya Denis dengan wajah bingung. Menatap wajahnya membuatku mual, sungguh pandai sekali dia bersandiwara. "Kau sama persis seperti Kartika, sok polos tapi munafik. Sampai sekarang kau masih tidak mau jujur, tentang persekutuanmu dengan Kartika," ketusku sinis. "Anda terus saja menghina dan menyalahkan saya, tapi tak satu pun anda mengatakan, a
"Sudah selesai mandi?" Ikhram bertanya sembari mendekat. Aku tidak menjawab karena melihat, selain dirinya ada Denis dan seorang wanita. Aku mengingat wanita ini karena dia asisten pribadi Kartika. "Ada masalah apa?" Aku bertanya karena tidak mengerti, dengan kedatangan orang terdekat Kartika. "Kalau mau bicara masalah Kartika, sebaik tidak perlu. Aku tidak berniat berebut pria, kalau dia mau silakan ambil sendiri." Aku melepas pelukan Ikhram lalu mendorongnya ke arah asisten Kartika. "Apa kau harus melakukan ini padaku, sampai kapan kau menganggapku barang?" Ikhram bertanya dengan nada pelan, namun terdengar sangat mengerikan. "Bukan aku yang mengganggapmu barang, tapi kau sendiri yang bertindak seperti barang. Bisa pindah dari satu wanita ke wanita lain." Aku menjawab tanpa menatap, wajah Ikhram yang terlihat tidak sedap di pandang. "Bukankah anda yang seperti barang bekas? Lari dari suami sah. Kemudian kabur ke pelukan pria lain yang baru anda temui." Aku terkejut lalu menatap k
"Mau pergi kemana?" Aku memutar tubuhku pelan, setelah mendengar pertanyaan Ikhram. Hari ini aku akan bertemu seseorang, yang membawa berkas dan surat-surat rumah bapak. Aku memutuskan tidak menjual rumah dan tanah itu. Terlalu lama di sini, aku takut tidak bisa kembali pada kedua anakku. Perasaan cinta dan kasih sayang itu masih ada, namun kebencian banyak orang juga tidak bisa aku abaikan. "Bertemu seseorang yang akan menyerahkan, berkas dan surat-surat rumah bapak. Aku tidak berniat menjualnya lagi." Aku menjawab dengan wajah datar. "Memang kau tau cara keluar dari apartemenku, hingga kau tak bicara padaku terlebih dahulu?" tanya Ikhram sinis.Denis yang akan membawaku keluar dari tempat ini. Setelah itu kau akan tau betapa hebat, wanita yang pernah kau nikahi ini." Aku berkata dengan sombong. "Aku menantikan kehebatanmu, untuk melarikan diri dariku." Ikhram memelukku dari belakang, kemudian memberikan ciuman di leher dan bahuku. "Mandilah, bersihkan tubuh dan wajahmu. Aku tak ma
"Mereka baik-baik saja, Nona. Saya lihat mereka baru keluar dari rumah sakit, memeriksakan luka di kepala si asisten itu." Aku menerima laporan dari anak buah Aska, yang aku tugaskan mengawasi Ikhram dan Denis. "Apa mereka bergerak untuk mengejar atau mencariku?" tanyaku untuk memastikan. Anak buah Aska terdengar gugup, aku bisa merasakan ada yang aneh. "Mereka tidak melakukan apa-apa, sepertinya mereka juga tidak berniat mengejar anda." Pria itu kembali melaporkan keadaan di sana.Aku menatap ponsel yang baru aku letakkan ke meja, entah kenapa aku merasa ada perasaan sakit. Ketika mendengar Ikhram tidak lagi mengejar atau mencariku. Aku tertawa ketika menyadari kebodohan dalam diriku. "Bukankah ini sudah benar, dengan begini Ikhram akan melupakanku?" Aku menghibur diriku sendiri."Peri cantik!" Aku tersenyum, melihat dua anak itu berlari dengan kaki kecilnya. Dalam hati aku bersyukur, ini adalah yang terbaik untuk aku dan Ikhram. "Sudah kembali?" tanya Bara sambil merentangkan tangan
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan