Bapak tidak bisa membatalkan begitu saja Pak perjanjian kita kemarin, karena sudah masuk ke dalam akad jual beli dan sudah sah dimana sebelumnya Bapak juga sudah memberi DP atas pemesanan tersebut."Wisnu berucap pelan dan hati-hati pada lelaki tua yang terkenal sangat cepat tersulut emosi itu."Saya membatalkan juga ada yang mendasari Pak Wisnu. Coba Bapak bayangkan saja, perjanjian kita barang sampai dua hari yang lalu, tapi sampai hari ini saya masih diminta menunggu. Gimana coba? Sedang saya 'kan butuh cepat, berapa banyak waktu saya terbuang hanya untuk mengurusi urusan seperti ini. Makanya saya putuskan untuk beralih ke Doni saja Pak Wisnu, di sana semua sudah tersedia lo Pak. Bahkan kalau saya mau ambil hari ini pun barangnya sudah ada gitu lo. Dan Pak Wisnu coba deh main-main ke sana, lihat berapa perbedaan harga yang Bapak letakkan pada barang di toko Bapak dengan barangnya Pak Doni. Selisihnya luar biasa. Maaf ya Pak, sebenarnya saya tidak ingin membandingkan, tapi karena se
[Ma, Kakak mau ke tempat Papa.][Ke tempat Papa? Beda pulau, Nak.][Naik pesawat Ma, Hamid juga katanya mau ikut. Boleh 'kan, Ma?]Dila terdiam sejenak. Bagaimana mungkin dia mengiyakan, melepas anak gadis dan bujang yang bahkan sekalipun belum pernah keluar kota seorang diri, apalagi jika naik pesawat. Sungguh tidak diterima akal pikirannya.[Jangan Kak, bahaya. Kakak nggak tahu pasti 'kan alamatnya di sana. Jauh perjalanannya, kalau dari Bandara sampai lebih lima jam supaya bisa sampai ke desa tempat tinggalnya Papa.][Nanti Kakak pedoman sama Google Map, Ma.][Bukan masalah Google Map nya Kak, tapi keselamatan Kakak. Siapa yang mau jamin? Nunggu aja dulu ya, siapa tahu besok Papa udah sadar.]Safia terdiam sejenak, masih ingin berdebat tapi sangat tahu jika wanita itu tidak akan mengijinkan ia pergi jauh seorang diri.[Nggak papa, Mama yakin pasti Papa akan sadar. Yang penting kalian terus berdoa ya untuk kesembuhan Papa. Nanti biar Mama telpon Dita untuk nanyakan kabarnya.][Kaka
Sudah empat hari dari berita Mas Wisnu koma berlalu. Bu Rena memberi kabar bahwa keadaan mantan suamiku itu belum juga membaik. Jujur, aku memang mengkhawatirkan keadaan Mas Wisnu, terlebih jika melihat Safia yang selalu merengek minta ditemani menjenguk sang papa. Tapi perasaan itu hanya sebatas mengkhawatirkan seorang kerabat. Tidak lebih.Tapi yang membuatku sangat kesal, kenapa Dita sampai tega meninggalkan Mas Wisnu. Padahal di saat seperti ini, kehadiran seorang istri tentu sangat berpengaruh. Siapa tahu dengan dirawat oleh tangannya sendiri, Mas Wisnu justru bisa sadarkan diri.Belum ada yang tahu kenapa Dita pergi dan kemana dia menghilang. Bahkan untuk biaya rumah sakit yang tak sedikit, wanita itu benar-benar lepas tangan. Syukur Bu Rena punya inisiatif untuk menjual mobil, untuk menutupi hutang-hutang Mas Wisnu serta kebutuhan lainnya.Dan yang paling kusyukuri adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah, dimana Bu Rena mau menjaga Mas Wisnu selama ia terbaring tak sadarkan
"Tentu Mas bersedia, 'kan sudah pernah Mas bilang dahulu.""Iya, Mas. Dila cuma merasa nggak yakin aja sama jawaban Mas saat itu.""Tapi sekarang udah yakin 'kan?"Farhan menggerakkan kembali tangannya memeluk sang istri, lalu mengecup di kening. Dila menerima dengan perasaan bahagia."In Syaa Allah jika untuk kebahagiaan anak-anak, Mas akan mendukung.""Safia pasti akan sangat bahagia, Mas."Mereka saling membalas senyum."Habis makan malam nanti kita beritahu anak-anak akan hal ini. Sebaiknya kita langsung berangkat besok.""Besok?""Mumpung weekend. Tapi malam senin harus langsung balik. Mas belum bisa cuti.""Iya, Mas. Aku setuju."Dila memeluk suaminya penuh bahagia. Perasaan sayang dan cinta semakin subur tumbuh di dalam dada. Sebuah perjuangan berat tapi berbuah bahagia. Ia kini mendapat pendamping yang benar-benar bisa mencintai tidak hanya pada dirinya sendiri tapi juga pada anak-anak sambung dari pernikahan pertamanya.*Perjalanan satu jam lebih tidak membuat Dila dan anak-
Aku menarik napas panjang membaca pesan yang dikirimkan Dita ke ponsel. Hanya sampai di sinikah perjuangannya?Pikiran kini tertuju pada Mas Wisnu, kasihan kamu Mas jika tahu Dita tak siap hidup susah bersamamu. Kuputuskan untuk membalas pesannya.[Semoga kamu tidak menyesal dengan keputusanmu ini, Dit.]Tak ingin basa basi, sebab jika untuk memberi nasihat dulu saat dia mendatangi rumah di Jakarta. Aku sudah cukup banyak memberinya nasihat yang kuyakini dapat membuat rumah tangga mereka akan sampai Jannah. Ternyata, semua tak seperti harapan.Kusimpan ponsel dalam tas, langkah kembali tergerak menuju tempat tujuan semula. Bertemu Rabb pemilik seluruh alam. Usai melaksanakan shalat empat rakaat, aku kembali mengangkat dua tangan memohon kesembuhan untuk Mas Wisnu.Setelah selesai shalat, diri kembali ke depan ruang ICU. Betapa terkejut saat Safia berlari menghampiri membawa kabar gembira."Ma, Papa sudah sadar."Kedatangan Safia diikuti Bu Rena, beliau menatapku di kejauhan. Dua netr
Pak Yasir membuka pagar, lalu naik kembali ke mobil dan menjalankan kendaraan sampai ke halaman. Pandangan ini masih tertuju pada Dita yang bersiap bangkit ketika melihat mobilku masuk. Kendaraan berhenti sempurna, tapi aku justru merasa malas untuk turun. Melihat wajah Dita, ada amarah yang berusaha menguasa hati. Tapi semua harus kuselesaikan, sesulit apapun itu.Dengan dibantu supir, akhirnya aku turun dari mobil dan duduk di atas kursi roda. Setelah sempurna mendudukkan diri, kualihkan pandangan menatap Dita yang menyunggingkan senyuman untuk diri ini."Masuk sekarang Pak Wisnu?" tanya Pak Yasir ragu.Kuanggukkan kepala. Lalu lelaki paruh baya itupun mendorong kursi roda yang kududuki untuk lebih dalam menjejak teras.Hati masih tak menyangka jika Dita berani menampakkan diri tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dia justru berterima kasih pada Pak Yasir."Saya minta tinggalkan kami, Pak.""Baik, Mas."Pak Yasir berjalan kaki keluar pagar lalu berbelok ke kiri dan entah kemana mengang
"Papa?"Lekas gadis itu mengangkat telpon. Suara cukup berisik terdengar di seberang sana. Seperti api yang sedang melahap bangunan."Papa, apa yang terjadi?""Safia ... Papa-"Sambungan telpon dibiarkan hidup, tapi suara Wisnu tak lagi terdengar."Pa, Papa. Papa kenapa? Papa nggak kenapa-kenapa 'kan?"Tak ada jawaban."Papa dengar Safia 'kan Pa. Apa yang terjadi, Pa?"Masih tak ada jawaban, dengan begitu ketakutan sang anak berlari keluar kamar. Ia abaikan perasaan tak enak lalu mengetuk pintu kamar mamanya."Ma, Mama ...."Tak ada jawaban, Safia kembali memanggil sang ibu."Mama ....."Ketukan di pintu lebih dikencangkan."Ada apa, Kak?""Ma, bisa bicara sebentar.""Iya, sebentar Kak."Tak lama pintu kamar Dila terbuka, wanita yang memakai kimono itu menatap sang anak."Ada apa, Kak? Nggak bisa tidur?""Papa, Ma.""Papa kenapa?""Papa barusan nelpon, tapi suaranya aneh. Perasaanku nggak enak, Ma. Aku coba nelpon lagi nggak diangkat. Mama punya nomor telpon siapa gitu yang bisa dihub
[Dila, kamu tahu nggak kabar terbaru Dita?]Sari mengirim pesan padaku.[Emang ada kabar apa, Sar?][Coba buka IG Dita, kemarin-kemarin dia 'kan sempat bercadar tu ceritanya, eh tau-tau kemarin majang foto nggak pakai jibab, mana dandanannya udah kayak artis Bollywood. Coba deh kamu cek, dapat banyak hujatan. Kasihan.][Yang benar, Sar?][Iya benar, Dila. Masak iya aku bohong. Kasihan ya, kukira benaran dia insyaf dan mau hijrah. Ternyata ada maksud pastinya itu.]Aku menghela napas panjang. Dulu saat pertama melihat Dita berniqab, jujur perasaan hati cukup gembira. Kukira dia benar-benar sudah berubah ke arah yang lebih baik. Tapi mendengar kabar bahwa ia tak mau mendampingin Mas Wisnu yang tertimpa musibah. Jujur hati begitu kecewa.Dan sekarang, apa yang Dita lakukan semakin membuatku malu telah mengenalnya.[Sari, kebetulan aku lagi diluar ne. Nanti biar aku cek deh.][Oh yaudah, lanjut aja say. Aku cuma nggak mau kamu ketinggalan berita aja. Oke ya, jangan lupa dicek.]Kututup te
"Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg
Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*
Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin
Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb
"Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl
Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an
"Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih
Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me
Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b