Di rumahnya, Angga menyiapkan alasan supaya bisa keluar rumah di hari libur, tanpa harus mengajak anak istrinya. Hal yang selalu dilakukan semenjak Bu Elis membangun rumah untuknya.Nyaris setiap Sabtu-Minggu, Angga berada di rumah Bu Elis sejak pagi hingga sore. Kadang pamit menjelang siang, jika anak-anaknya rewel. Jam berapa pun, ia akan tetap berangkat, asal memenuhi pinta sang ibu supaya datang di akhir pekan. Terkadang di hari Kamis sore pun ia langsung meluncur dari tempat kerjanya menuju kediaman orang tuanya."Ayah pergi sebentar, ya. Nanti sore ayah pulang," pamit Angga pada Lusi dan Dani. Kedua anak itu terlihat berat melepas kepergian sang ayah."Hari libur masa kerja, yah?" Si sulung Lusi, sudah mulai bisa memprotes aktivitas sang ayah di akhir pekan. Ia pun merasa kehilangan sosok ayah yang sebelumnya selalu ada untuknya di hari libur. Tapi, kini sudah dua bulan lebih, dan ia hanya menikmati waktu bersama ibu dan adiknya seorang."Kerja sebentar, sayang. Nanti kalau pulan
Angga dan karin segera memusatkan perhatian pada Bu Elis yang memasang wajah serius. Dinar dibiarkan menonton film kartun kesayangan sambil sesekali menimpali dengan bahasanya sendiri."Ibu harap kalian mau bantu ibu," ucap Bu Elis mengawali rencananya. Rencana yang telah ia susun sedemikian rupa."Bantu apa, Bu? Soal apa?" desak Yudha."Soal kakakmu." Bu Elis menghela napas besar setelahnya."Kalian tau ibu pengen kakakmu segera menempati rumah itu. Lihat, sekarang sudah jadi, kan rumahnya? Dan mereka masih tinggal di kontrakan. Ibu nggak rela. Di sini ada rumah bagus, nganggur, masa kakakmu malah ngontrak di rumah yang kecil itu," ucap Bu Elis dengan pandangan menerawang.Yudha dan Karin saling tatap sejenak, tapi mereka memilih diam dan menunggu titah Bu Elis selanjutnya."Nanti kalau sudah longgar, ganti rumah ini yang akan ibu perbaiki. Supaya kalian nggak saling iri," jelas Bu Elis lagi seakan mengerti apa yang ada di benak anak dan menantunya."Gini, Karin. Kita semua tau, kalau
Bu Elis duduk melamun sendirian di bangku panjang depan tokonya. Ramai suara kendaraan yang berlalu lalang memenuhi ruang dengarnya.Ingatannya melayang pada kedua anak dan menantu serta ketiga cucunya, yang kian sedang memenuhi rumah mungil Angga dan Andin. Membayangkan keakraban dua keluarga kecil itu, membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas begitu saja."Mereka pasti sedang bercanda dan tertawa bersama sekarang," gumam Bu Elis, lalu tersenyum sendiri. Wanita paruh baya itu menghembuskan napas panjang setelahnya."Jika saja waktu bisa diputar ulang, aku akan kembali ke hari di mana Andin menjadi pengantin. Tak akan kuusik kebahagiaan anak muda, yang kini justru seperti bumerang bagiku."Ah … sekarang hanya bisa berandai-andai. Aku harus susah payah membujuk dia supaya mau tinggal di sini, hanya karena masalah sepele saja dibesar-besarkan. Memang bikin repot saja anak itu, bikin susah anakku. "Sudah berapa banyak uang Angga yang h
"Bu, ini beneran nggak apa-apa saya bawa?" tanya Mira memastikan sekali lagi."Iya, kamu kan pintar, sudah pasti itu akan berguna buat kamu. Nggak seperti menantuku. Dua-duanya cuma menadahkan tangan sama suaminya. Ibu benar-benar tak habis pikir, kenapa anakku mau saja jadi mesin uang untuk istrinya yang pengangguran itu," keluh Bu Elis panjang pendek.Tak mau memperpanjang lagi, Mira menutup telinga dari curhatan Bu Elis. Yang paling penting baginya sekarang ialah, ia sudah mendapatkan sertifikat untuk dijadikan sumber dana."Ibu baik sekali sama saya. Seandainya ibu jadi mertua saya, sudah pasti saya akan menyayangi ibu sepenuh hati, seperti halnya ibu menyayangi saya selama ini," ucap Mira dengan suara disedih-sedihkan."Tenang saja. Ibu bakal bujuk Yudha supaya mau menerima kamu, Nak," bujuk Bu Elis."Oiya, nanti kalau kamu sudah dapat uang, kasih ibu sepuluh juta dulu, ya, buat nambahi bangun rumah kakakmu."Mira berdecak sebal.'Belum juga dicarikan dana, sudah diminta pula sepu
"Wow, banyaknya, Dek?"Angga bertanya dengan suara takjub. Andin menoleh sebentar lalu tersenyum pada sang suami.Suami dari Andin itu melihat deretan donat bertabur Ceres yang siap dijual. Ia mendapati Andin sedang membersihkan perabotan. Kedua tangan istrinya bergerak lincah membilas satu persatu dan memindahkan ke rak piring."Bangun jam berapa dia, sepagi ini sudah siap donat sebanyak ini? Biasanya aku bangun dia baru nggoreng. Kadang sampai telat juga aku karna nungguin dia," Angga bermonolog dalam hati.Gegas Angga masuk ke kamar mandi, mengambil wudhu dan melaksanakan sholat Subuh yang kesiangan. Bukan Andin tak membangunkan sang suami agar sholat tepat waktu, hanya saja, wanita itu memilih menyudahi memanggil dan menggoyang-goyangkan tubuh sang suami, saat mendapat penolakan berkali-kali. Ia hanya berusaha menjaga hatinya. Tak mau merasakan sakit sebab dibentak oleh sang suami, orang yang notabene menjadi pemimpin dalam biduk rumah tangganya, tapi pada kenyataannya justru teg
Matahari telah bergeser ke arah barat, menyisakan warna jingga di langit menjelang malam yang cerah ini. Petang ini, untuk kedua kalinya Karin mendatangi rumah kakak iparnya, sesuai pinta sang ibu mertua. Sepeda motor yang membawanya telah sampai setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sebab dikendarai dengan kecepatan sedang cenderung lambat. Perjalanan yang dinikmati oleh keluarga kecil yang terlihat bahagia itu diselingi suara nyanyian dari mulut mungil si kecil Dinar, serta bermacam pertanyaan sebab kritisnya gadis kecil yang memiliki rambut ikal berwarna kecoklatan.Berhenti dan turun di halaman, tatapan Karin menyorot kebun kecil di sudut halaman berisi bermacam tanaman sayur dan cabe. Tangan terampil Andin lah yang menyulap lahan berukuran satu kali dua meter persegi itu menjadi kebun yang produktif.Dalam keremangan cahaya lampu teras, dapat terlihat olehnya kalau cabe yang terlihat subur itu tengah berbuah lebat. Karin tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.Sedikit pe
Waktu terus bergulir. Hari pernikahan putri sulung Bulek Ratih segera tiba. Di rumahnya, Karin tengah mematut diri di depan cermin, mencoba kebaya serta rok barunya yang akan dikenakan di acara pernikahan Sita, anak kedua Bulek Ratih. Kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum, melihat pantulan diri di depan cermin besar.Gamis bernuansa biru muda itu terlihat pas di badan. Demikian pula sang ibu mertua, ikut mematut diri seperti menantunya."Dah siap kondangan ini, Bu," ucap Karin dengan senyum menghiasi bibirnya."Iya, bagus ya, hasil jahitannya," timpal Bu Elis. Karin menganggukkan kepalanya."Sudah, ayo ganti baju, Bu. Yang ini biar dicuci dulu. Bisa gatel nanti kalau langsung dipakai. Kalau di penjahit kan suka kena debu, kadang ditaruh di lantai juga."Menadahkan tangan, meminta gamis yang dikenakan Bu Elis. "Iya, bentar to, Rin. Nyucinya besok aja. Sudah malam ini," tawar Bu Elis, yang terlihat senang dengan tampila
Ada banyak kursi di halaman depan rumah Bulek Ratih. Namun, mengabaikan rasa malu, Karin memilih duduk di pangkuan sang suami yang tengah menyerahkan bobot tubuh pada sebuah kursi di dekat pintu keluar. Ibu dari Silvi dan Dinar itu seakan tak peduli dengan keadaan sekitar yang sedang banyak tamu undangan untuk menghadiri pernikahan Sita.Dinar sendiri sedang bersama sang nenek, menunggu tamu dari pihak mempelai pria datang beberapa saat lagi.Bu Elis yang sedang momong Dinar, seketika membuang muka begitu melihat pemandangan yang terlihat di depan mata. Malu, tentu saja. Beberapa orang di belakangnya bahkan mulai berbisik-bisik, membawa nama menantu dan anak keduanya.Tatapan Bu Elis terhenti pada Andin yang duduk di ruang tamu, tengah tertawa ringan bersama beberapa wanita dewasa. Seketika ingatannya ditarik pada sebuah masa, di mana dengan lantang mencerca menantu pertama.Saat itu, Andin tengah hamil muda anak pertamanya. Dalam kondis
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern