Matahari telah bergeser ke arah barat, menyisakan warna jingga di langit menjelang malam yang cerah ini. Petang ini, untuk kedua kalinya Karin mendatangi rumah kakak iparnya, sesuai pinta sang ibu mertua. Sepeda motor yang membawanya telah sampai setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sebab dikendarai dengan kecepatan sedang cenderung lambat. Perjalanan yang dinikmati oleh keluarga kecil yang terlihat bahagia itu diselingi suara nyanyian dari mulut mungil si kecil Dinar, serta bermacam pertanyaan sebab kritisnya gadis kecil yang memiliki rambut ikal berwarna kecoklatan.Berhenti dan turun di halaman, tatapan Karin menyorot kebun kecil di sudut halaman berisi bermacam tanaman sayur dan cabe. Tangan terampil Andin lah yang menyulap lahan berukuran satu kali dua meter persegi itu menjadi kebun yang produktif.Dalam keremangan cahaya lampu teras, dapat terlihat olehnya kalau cabe yang terlihat subur itu tengah berbuah lebat. Karin tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.Sedikit pe
Waktu terus bergulir. Hari pernikahan putri sulung Bulek Ratih segera tiba. Di rumahnya, Karin tengah mematut diri di depan cermin, mencoba kebaya serta rok barunya yang akan dikenakan di acara pernikahan Sita, anak kedua Bulek Ratih. Kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum, melihat pantulan diri di depan cermin besar.Gamis bernuansa biru muda itu terlihat pas di badan. Demikian pula sang ibu mertua, ikut mematut diri seperti menantunya."Dah siap kondangan ini, Bu," ucap Karin dengan senyum menghiasi bibirnya."Iya, bagus ya, hasil jahitannya," timpal Bu Elis. Karin menganggukkan kepalanya."Sudah, ayo ganti baju, Bu. Yang ini biar dicuci dulu. Bisa gatel nanti kalau langsung dipakai. Kalau di penjahit kan suka kena debu, kadang ditaruh di lantai juga."Menadahkan tangan, meminta gamis yang dikenakan Bu Elis. "Iya, bentar to, Rin. Nyucinya besok aja. Sudah malam ini," tawar Bu Elis, yang terlihat senang dengan tampila
Ada banyak kursi di halaman depan rumah Bulek Ratih. Namun, mengabaikan rasa malu, Karin memilih duduk di pangkuan sang suami yang tengah menyerahkan bobot tubuh pada sebuah kursi di dekat pintu keluar. Ibu dari Silvi dan Dinar itu seakan tak peduli dengan keadaan sekitar yang sedang banyak tamu undangan untuk menghadiri pernikahan Sita.Dinar sendiri sedang bersama sang nenek, menunggu tamu dari pihak mempelai pria datang beberapa saat lagi.Bu Elis yang sedang momong Dinar, seketika membuang muka begitu melihat pemandangan yang terlihat di depan mata. Malu, tentu saja. Beberapa orang di belakangnya bahkan mulai berbisik-bisik, membawa nama menantu dan anak keduanya.Tatapan Bu Elis terhenti pada Andin yang duduk di ruang tamu, tengah tertawa ringan bersama beberapa wanita dewasa. Seketika ingatannya ditarik pada sebuah masa, di mana dengan lantang mencerca menantu pertama.Saat itu, Andin tengah hamil muda anak pertamanya. Dalam kondis
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Angga mengajak keluarga kecilnya untuk meninggalkan rumah Bulek Ratih, setelah mengikuti semua rangkaian acara pernikahan sang sepupu.Dalam hatinya, Angga ikut berbahagia atas pernikahan Sita, meski sedikit menyayangkan, anak yang cerdas dan selalu menjadi juara satu itu justru memilih menikah, bukannya melanjutkan kuliah setelah lulus SMA lima bulan lalu. "Padahal orang tuanya mampu membiayai, anaknya juga cerdas. Ah, semoga mereka bahagia lah, setidaknya suaminya orang berada," gumam Angga seorang diri.Sampai di rumah, Andin meminta kedua anaknya untuk membersihkan diri, sebelum bermain dengan mainan baru yang dibeli dari penjual di dekat rumah Bulek Ratih.Angga sendiri langsung merebahkan badan dan sibuk dengan ponsel. Sementara Andin langsung menuju dapur, meneguk air hangat, lalu menemani anak-anaknya bermain.Hari telah mulai gelap ketika Angga memekik mengucap istighfar. Semua orang ikut terke
Mendengar suara orang bercakap-cakap, membuat Karin mengerjapkan mata. Wanita itu mengerjap, beradaptasi dengan cahaya matahari sore yang mulai redup dari luar jendela yang dibuka lebar-lebar."Siapa, ya, yang tega …," gumam Bu Elis, masih memikirkan tentang uangnya yang hilang begitu saja.Yudha memandang sang ibu dengan jengah. Lelaki itu memilih tak meladeni ucapan Bu Elis, karena merasa percuma memberi masukan atau pun pendapat."Ibu yakin. Pasti orang dekat pelakunya. Dia pasti sudah mengamati sejak jauh hari, di mana ibu menyimpan uang. Jadi waktu rumah ini kosong sebab semua orang pergi, dia langsung beraksi."Bu Elis berkata dengan pandangan menerawang. Dalam benaknya berjejalan nama-nama yang paling mungkin melakukan pencurian di saat rumahnya kosong."Ngapain, sih, Bu, malah curiga kayak gitu?!" ketus Yudha tak suka dengan omongan ibunya. Bu Elis menoleh."Sudah dibilang ikhlaskan saja susah amat, sih!""Ya gim
"Mohon maaf, saya tidak bisa menyebutkan namanya. Yang saya lihat, dia masih keluarga, tinggal dekat rumah ibu di sebelah kiri.".Beberapa hari telah berlalu sejak didapatkan kabar dari saudara Karin yang bisa 'melihat'. Bu Elis telah mengantongi sebuah nama mengenai siapa pelakunya.Dugaan beliau semakin kuat seiring berubahnya sikap saat bertemu muka. Bu Elis berniat melaporkan kejadian tersebut pada kepala desa, minimal RT dengan harapan kampung tempat tinggalnya kembali aman seperti sediakala."Kalau nggak dikasih efek jera bukan nggak mungkin dia akan merasa kalau aksinya aman dan mengulangi lagi di kemudian hari," ujar Bu Elis saat niatnya kembali ditolak mentah-mentah oleh Yudha.Karin pun mulai bosan dengan pembahasan yang itu-itu saja dari hari ke hari. Ia memilih diam, menyimak, lalu mengiyakan apa yang disampaikan ibu mertuanya."Besok hari Minggu. Ibu mau minta Angga supaya ke sini buat nemenin ibu ke kepala desa yang baru. Dia masih muda, pun masih ada hubungan saudara. I
Bu Elis seperti tersadar dengan apa yang diucapkan, sontak menutup mulutnya dengan telapak tangan.'Aduh, bagaimana ini? Kenapa bisa keceplosan, sih?', rutuk Bu Elis menyesali ucapannya. "Apa, Bu? Sertifikat dibawa Mira? Sertifikat apa?" tanya Angga penuh curiga.Bu Elis tergeragap. Andin menatap ibu mertuanya penuh selidik. "Mira? Bukankah dia yang dulu mau dijodohkan sama Yudha, kenapa ibu nyebut nama wanita itu? Ada apa ini sebenarnya?" tanya Andin dalam hati."Eh i-itu, apa, sih!" Bu Elis mengibaskan tangan di depan wajah. "Sertifikat apa. Ibu salah bicara. M-Mira cuma pinjam kok, sebentar, buat cari pinjaman. Aduh!"Bu Elis memukul mulutnya berkali-kali. Niat hati ingin mengelak, justru berkata jujur apa adanya. Wanita itu ketar-ketir, sebab semenjak Mira memegang sertifikat sawah miliknya, gadis itu seperti menghilang.Jika sebelumnya sering mampir dan dia bisa curhat banyak hal, tapi tidak dengan belakangan ini.
Angga berniat menyusul istrinya, akan tetapi, teriakan Bu Elis membuat langkahnya terhenti."Satu langkah saja kamu melewati pintu itu, jangan lagi panggil aku ibu!"Lelaki itu mematung sejenak, menatap nanar pada istri dan kedua anaknya yang berjalan beriringan menuju jalan raya.Hatinya bagai diamuk badai, seperti dipaksa makan buah simalakama. Menuruti perintah ibu, ia akan kehilangan istri dan anaknya. Tapi, mengejar mereka bertiga, ia akan menjadi anak durhaka yang melawan sang ibu, sementara dia meyakini kalau surga ada di bawah telapak kaki wanita yang telah bertaruh nyawa saat melahirkan dulu."Tetaplah di sini, Angga, bukankah itu wasiat bapak kamu sebelum meninggal? Apa kamu lupa?" cecar Bu Elis masih berdiri tegak di tempatnya.Angga mengalihkan pandang pada sang ibu."Saya ingat, Bu. Saya akan terus ingat. Tapi, apa dengan cara seperti ini? Apa ibu benar-benar ingin rumah tangga saya hancur dan rusak hanya karena wasiat bapak dan keras kepalanya ibu?" cicit Angga memprotes.
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern