Bu Elis seperti tersadar dengan apa yang diucapkan, sontak menutup mulutnya dengan telapak tangan.'Aduh, bagaimana ini? Kenapa bisa keceplosan, sih?', rutuk Bu Elis menyesali ucapannya. "Apa, Bu? Sertifikat dibawa Mira? Sertifikat apa?" tanya Angga penuh curiga.Bu Elis tergeragap. Andin menatap ibu mertuanya penuh selidik. "Mira? Bukankah dia yang dulu mau dijodohkan sama Yudha, kenapa ibu nyebut nama wanita itu? Ada apa ini sebenarnya?" tanya Andin dalam hati."Eh i-itu, apa, sih!" Bu Elis mengibaskan tangan di depan wajah. "Sertifikat apa. Ibu salah bicara. M-Mira cuma pinjam kok, sebentar, buat cari pinjaman. Aduh!"Bu Elis memukul mulutnya berkali-kali. Niat hati ingin mengelak, justru berkata jujur apa adanya. Wanita itu ketar-ketir, sebab semenjak Mira memegang sertifikat sawah miliknya, gadis itu seperti menghilang.Jika sebelumnya sering mampir dan dia bisa curhat banyak hal, tapi tidak dengan belakangan ini.
Angga berniat menyusul istrinya, akan tetapi, teriakan Bu Elis membuat langkahnya terhenti."Satu langkah saja kamu melewati pintu itu, jangan lagi panggil aku ibu!"Lelaki itu mematung sejenak, menatap nanar pada istri dan kedua anaknya yang berjalan beriringan menuju jalan raya.Hatinya bagai diamuk badai, seperti dipaksa makan buah simalakama. Menuruti perintah ibu, ia akan kehilangan istri dan anaknya. Tapi, mengejar mereka bertiga, ia akan menjadi anak durhaka yang melawan sang ibu, sementara dia meyakini kalau surga ada di bawah telapak kaki wanita yang telah bertaruh nyawa saat melahirkan dulu."Tetaplah di sini, Angga, bukankah itu wasiat bapak kamu sebelum meninggal? Apa kamu lupa?" cecar Bu Elis masih berdiri tegak di tempatnya.Angga mengalihkan pandang pada sang ibu."Saya ingat, Bu. Saya akan terus ingat. Tapi, apa dengan cara seperti ini? Apa ibu benar-benar ingin rumah tangga saya hancur dan rusak hanya karena wasiat bapak dan keras kepalanya ibu?" cicit Angga memprotes.
"Kita ke rumah Mira, Bu!" sentak Angga setelah beberapa saat berpikir.Bu Elis urung merebahkan badan. Gegas mengikuti Angga yang melangkah lebar-lebar menuju motor yang terparkir di halaman."Cepat naik!" perintah Angga. Bu Elis menurut bagai kerbau dicucuk hidungnya.'Apa pun, Ngga, asal kamu ada dekat ibu pasti akan ibu lakukan. Ah, apa dia setuju untuk menikahi Mira dan meninggalkan Andin yang suka membangkang itu?' monolog Bu Elis dalam diam..Karin keheranan melihat ruang tamunya kosong."Ke mana semua orang? Bukannya tadi rame, ya? Kayak lagi debat juga. Mas Angga juga kok kayaknya pergi nggak sama anak-anak, malah sama ibu? Mana nggak pamit lagi si ibu mau ke mana?"Karin bertanya-tanya sendiri. Ia terlonjak kaget saat berbalik badan dan nyaris bertabrakan dengan Yudha."Ih, Mas ngagetin aja!" cemberut Karin. Tangan kanannya memukul dada Yudha dengan gemas, membuat suaminya tergelak."Waja
Di tempat lain, Andin disambut hangat oleh seorang wanita bergamis merah marun di halaman rumahnya. Bu Ida namanya, guru SMP Andin."Ya Allah, cucuku," ucap beliau mensejajarkan tinggi dengan kedua anak Andin."Salim sama Eyang, Nak," titah Andin pada kedua anaknya.Lusi dan Dani segera menyambut uluran tangan wanita itu lalu menciumnya dengan takdzim. "Ibu," sapa Andin kemudian. Kedua wanita beda usia itu lalu berpelukan demi melepas rindu."Ibu sehat, kan?" tanya Andin seraya melerai pelukan."Alhamdulillah sehat. Ayo, ajak anak-anak masuk," pinta Bu Ida.Keduanya kini duduk di bangku panjang ruang tengah. Lusi dan Dani langsung menuju rak mainan yang ditunjukkan pemilik rumah."Ibu senang sekali kamu mau berkunjung ke sini." Bu Ida mengulas senyum tulus.Andin menghela napas lalu melarikkan senyum mendengar ucapan ibu gurunya. Sepanjang umur pernikahannya dengan Angga, ia nyaris tak pernah datang ke rumah itu kecuali saat hari raya idul Fitri. Bukan karena ia tak ingin datang, me
"Andin, kau bawa ke mana cucuku?!"Andin menjauhkan ponsel, menghindar dari lengkingan suara sang ibu mertua. Samar ia mendengar suara Angga disertai suara kresek-kresek. Rasa takut akan kehilangan buah hatinya hadir lagi. Andin memejamkan mata kuat-kuat. Mendengar suara Bu Elis tag melengking selalu menghadirkan ingatan tentang celaan dan hinaan yang pernah ditujukan padanya bertahun lalu.Maaf sudah tentu diberi, sebab Andin telah menganggap bahwa orang tua dari suaminya adalah orang tuanya juga. Biar bagaimanapun, ada darah beliau yang mengalir di tubuh kedua anaknya. Hanya saja, setiap kali bersinggungan dengan sesuatu yang berhubungan dengan Bu Elis, terlebih lagi jika bertemu atau mendengar suara seperti sekarang ini, hatinya kembali mengecil. Bukan dia membenci wanita itu melainkan kecil hati."Saya di rumah Bu Ida, Bu," jawab Andin akhirnya.Bu Elis menyentak napas, terdengar jelas oleh Andin. "Cepat pulang! I
Beberapa saat sebelumnya …Bu Elis dan Angga tiba di hotel Cantika, sesuai informasi dari Bu Yumna. Setelah bertanya pada bagian informasi, mereka berdua diminta menunggu untuk bertemu Mira.Mendengar nama tamunya disebut, Mira tentu saja terkejut. Tak menyangka sama sekali kalau keberadaannya dapat diketahui."Pasti Bu Elis mau nagih uang sepuluh juta yang belum juga kukirim itu. Gimana ini, mana lagi nggak pegang uang segitu lagi," gerutu Mira. Beberapa saat lamanya dia terdiam, menyusun rencana akan menjawab apa dan bagaimana nanti.Perempuan muda dengan rambut disanggul ke belakang serta berpakaian rapi itu kemudian mengembangkan senyum saat melihat siapa yang datang. Bu Elis menyambut kedatangan calon menantu yang diidamkannya."Mira, kamu cantik sekali," puji Bu Elis tanpa basa-basi. Tentu saja, Mira memiliki wajah yang manis, ditambah dengan riasan sempurna, membuat tampilannya nampak prima."Ah, ibu bisa saja. T
"Ka-kantor polisi?" tanya keduanya, nyaris bersamaan."Ya! Mau bagaimana lagi. Diminta baik-baik tidak dikasih malah muter-muter. Untung saja dia perempuan. Kalau laki-laki sudah say-.""Mau apa kalau saya laki-laki, Mas?" tanya Mira dengan suara tercekat. "Mas mau pukul saya? Silakan. Nyatanya surat itu sudah tidak di tangan saya, tapi terbawa sama ibu dan bapak."Mira terisak, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Bu Elis. Wanita paruh baya itu mengusap kepala Mira dengan raut bingung.Angga mengepalkan tangan, meninju kursi di mana ia duduk."Lagipula, Mas Angga juga tidak punya bukti kalau saya yang meminjam, kan? Belum tentu juga kalau sertifikat yang pernah Bu Elis kasih ke saya itu asli!" seru Mira lagi.Bukti?Angga membelalakkan mata. Ia melupakan satu hal. Adakah hitam di atas putih saat proses pinjam meminjam itu terjadi?Tatapannya menyorot sang ibu. Bu Elis surut ke belakang, gentar dengan ekspresi
Matahari telah bergeser ke arah barat. Cahaya keemasan telah muncul, menyeruak di antara pepohonan tinggi yang mengelilingi perumahan tempat Andin tinggal.Indah. Ya, seharusnya pemandangan sore ini memanglah indah, tapi, karena ada tamu tak diundang, justru suasana keruh lah yang terasa di ruang tengah sebuah keluarga, yakni keluarga Andin.Bu Elis memperkenalkan Mira sebagai calon istri Angga kepada Andin. Mira tersenyum paling manis pada calon kakak madunya. Sementara Andin, membalas dengan senyum tipis.Hatinya telah ikhlas melepaskan jika memang inilah suratan takdir yang harus ia jalani. Mungkin, ini yang terbaik demi menyelamatkan kewarasan yang berusaha ia raih kembali. Kewarasan yang nyaris hilang semenjak menjadi seorang istri. Didaulat untuk full sebagai ibu rumah tangga dengan fasilitas seadanya, mengurus dua anak dengan jarak lahir yang berdekatan, ditambah dengan suami yang memprioritaskan keluarganya sendiri, lantas tekanan-tekanan
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern