~••°••~Meninggalnya Bapak Leni, menancapkan belati panas di dadaku. Setiap rasa dirundung rasa bersalah. Sampai di Padang pun aku masih uring-uringan tidak menentu. Lalu, jatuh sakit hingga Emak harus meninggalkan Kak Kasih sendirian.Emak datang diantar oleh travel sampai ke rumah. Membawakan buah-buahan ala kampung. Jambu biji merah, jambu air, tebu yang sudah dibuka, dan lain-lain. Kata Emak, biasanya aku suka aneka buah jika sedang demam.Sebelum Emak datang, Bang Farid sempat membeli testpack untuk mengobati rasa penasaran. Beberapa merk, dari yang murah sampai yang agak mahal sudah dicoba. Tidak ada garis dua."Jangan-jangan sakit membawa kabar baik, Rind?" tanya Emak hati-hati."Belum, Mak. Tadi pagi sudah coba tes, belum dua garis. Lagian 'kan baru menikah, masa sudah hamil aja. Nanti malah disangka hamil duluan lagi.""Iya juga, ya, Rin. Saking paniknya Emak dengar kabar kamu sakit. Soal bapaknya Leni, jangan terlalu dibawa hati, Nak. Takdir Allah yang membawa beliau pergi,
Permulaan April, 2015~••°••~Ketika tubuh sudah kembali pulih, pekerjaan di kampus sudah menunggu untuk segera ditunaikan. Aku harus banyak-banyak bersyukur, Fuji dan Roby sudah lebih dahulu mengurus berkas-berkas administrasi untuk keberangkatan kami ke Universitas Indonesia. Segala bentuk perbekalan dari segi akademik dan financial sudah dirampungkan.Sementara itu, Emak kembali ke kampung. Beliau tertaut pikir oleh Kak Kasih yang masih belum pulih 100%. Sedangkan Bang Farid lebih dulu berangkat ke Depok, mencari kontrakan dibantu temannya yang ada di sana. Rasanya diburu oleh waktu. Segalanya seperti meronta untuk segera diselesaikan secepat mungkin.Dua hari setelah Bang Farid mendarat di pulau Jawa tersebut, dia mengabari sudah mendapatkan rumah yang dekat dengan kampus. Tidak pula jauh dari asrama tempat kandidat lain nanti akan stay. Dia begitu detail memikirkan, sebab aku dan kedua temanku—Fuji dan Roby—akan banyak bekerja secara tim.Barang-barang di rumah kontrakan Padang,
"Fadilah sering menyendiri, Pak?"Jika ingin mencari informasi akurat, maka yang diinterogasi adalah orang terdekatnya. Berhubung di dekatku hanya ada bapak dan ibu Fadilah, maka merekalah informan yang aku andalkan.Bapak itu menoleh sebentar kepada orang di sebelahnya, lalu menatap padaku lagi. "Dibilang sering, tidak juga, Dek. Kalau siang dan di sekolah, dia bermain seperti biasa dengan teman-temannya. Asal mulai sore, dia mulai tidak terkendali seperti ini. Orang-orang sini sudah lumrah sih kalau Fadilah kambuh.""Kata Pak Ustaz yang tadi, Fadilah diikuti oleh jin. Nah, jinnya itu yang membuat Fadilah begini tiap senja," ulas Ibu Fadilah.Aku mengambil napas dalam, menatap iba pada Fadilah yang meringkuk di atas kasurnya. Anak itu gadis remaja yang manis. Wajahnya ayu dan khas. Sekujur badannya biru-biru memar."Ini memar-memar kenapa, Pak, Bu?""Anu ...." Ibu Fadilah tampak ragu-ragu untuk menjawab."Tutup pintunya," titah Bapak Fadilah kepada istrinya. "Gini, Dek ... jadi Pak U
~••°••~Memang puas terasa di hati, bisa membungkam Tante Resa dan Tante Ajeng. Namun, di balik itu aku juga memikirkan perkataan mereka. Bagaimana kalau Ibu tidak sempat menimang anak kami? Atau bahkan Emak yang pergi. Bukankah maut begitu dekat. Atau justru aku sendiri yang dipanggil lebih dulu. Astaghfirullah.Satu per satu sudah mulai pergi. Rumah kembali sepi, hanya aku dan Bang Farid, Ibu, Bang Wahyu dan istrinya—Kak Sina. Anak-anak Bang Wahyu sudah pergi ikut dengan Tante Ajeng. Katanya mau cari minuman segar ke pasar Solok.Setelah ngobrol-ngobrol sejenak, Bang Wahyu juga pamit pergi ke toko. Sekarang benar-benar sepi. Beberapa menit kemudian, barulah datang pekerja yang biasa bantu-bantu Ibu. Istilahnya Asisten Rumah Tangga yang dipanggil harian saja. Tidak menetap tinggal atau digaji bulanan. Dia dipanggil sewaktu-waktu Ibu butuh. Digajinya juga per-tiap kali dia bekerja. Paling sering hanya diminta temani kalau malam hari Ibu sendirian. Atau kalau cucian Ibu sudah terlalu m
~••°••~"Kok malah Emak yang minta maaf. Uda Revan itu jahat, Mak. Pokoknya Etek Yarni dan keluarganya jahat," bantahku menahan geram."Rindu!" tegur Bang Farid. "Kok begitu bicaranya sama Emak, nggak sopan.""Rindu kesal, Bang.""Iya, Rindu. Etekmu salah, anak-anaknya juga salah. Tetapi jangan jadi hakim juga untuk mereka."Huft, Emak selalu seperti ini."Besok Rindu mau balik ke Depok, kalau Uda Revan begini, mana bisa hati tenang berangkat. Ya Allah, ada-ada saja," keluhku."Emak nggak apa-apa, Rindu.""Kita nggak tau dia akan berbuat apalagi, Mak. Lagian kok dia cepat banget keluar dari penjara. Harusnya seumur hidup aja sekalian. Dari pada meresahkan seperti ini."Sungguh.Aku benar-benar kesal sampai ke ubun-ubun dengan kedatangan Uda Revan. Tamu yang tidak beradab sama sekali. Manusia satu itu, apa sudah putus urat malunya? Apa dia amnesia selama di penjara? Bisa dia tebal muka mendatangi rumah Emak, bahkan meminjam uang dengan nominal besar. Kok ada manusia tanpa rasa segan se
"Ibu pasti kecewa lantaran Rindu nggak kunjung hamil, Bang."Tiba-tiba saja hari itu mood-ku rusak. Tentu saja karena omongan miring di grup keluarga. Alih-alih membangun silaturahmi, justru memojokkan aku setiap hari. Ibu tidak ada di grup tersebut. Hal itu jelas menguntungkan untuk mereka yang memang kontra denganku sejak awal."Tau dari mana ibu kecewa," balas Bang Farid, awalnya santai."Abang tu nggak ngerti rasanya!" Suaraku meninggi, kesal. "Abang nikah lagi deh, cari istri kedua yang bisa hamil cepat. Rindu ikhlas dimadu.""Astaghfirullah!" serunya. "Masih pagi begini loh, Rindu."Bang Farid merampas ponsel dari tanganku. Tanpa berpikir dua kali, tanpa basa-basi, bahkan tanpa permisi, dia menekan tombol keluar dari grup. Ya, Bang Farid mengendalikan WhatsApp-ku sekarang."Kamu cuma punya dua tangan, Rin. Nggak bisa menyumpal banyaknya mulut orang. Pergunakan aja untuk menutup telinga. Ibu bukan orang yang berpikiran sempit seperti itu. Ibu juga bukan orang munafik, baik di lua
~••°••~Setelah menyelesaikan ujian terakhir, tinggal satu bulan untuk persiapan berangkat ke Jepang. Bang Farid sudah terbang lebih dulu ke sana, bersama kenalan di Jakarta yang sering wara-wiri ke Jepang. Sengaja Bang Farid berangkat lebih awal, karena di Jepang tidak mudah mencari rumah sewaan.Selama itu pula Fuji menemaniku di rumah. Barulah aku sadari gelagat aneh dari Fuji. Mas Anton sering berkunjung, mereka kerap pergi keluar. Intens sekali antara keduanya. Aku teringat pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta tumbuh karena terbiasa.Tidak.Fuji telah berani bermain api. Pada Mas Anton dia seakan-akan memberi harapan. Begitu pula dengan calon pilihan papinya. Hubungan mereka juga semakin dekat meski hanya melalui udara. Seolah-olah kini siang untuk Mas Anton, malam untuk lelaki pilihan sang papi. Astaga.Satu bulan kurang lebih, harus berangkat ke Jepang. Namun Fuji kian hari semakin lalai. Dia yang biasanya rajin, kini menjadi pejuang deadline. Tugas-tugas dike
~••°••~"Aku kecewa sama kamu, Ji. Sampai nggak tau mau ngomong apa lagi."Mungkin memang sudah menjadi kebiasaan bagiku. Ketika berada di titik tersedih dan amat sangat kecewa, hanya bisa diam seribu bahasa. Dalam diam itu, mencoba berdamai dengan hati sendiri. Tidak pula bisa menangis berlebihan meluapkan perasaan. Sesak sangat, tentu. Mau marah, tapi kepada siapa dan untuk apa? Toh tidak akan membuat keadaan berubah dan bisa kembali ke masa lalu."Aku memang bukan siapa-siapa kamu, Ji. Kita cuma kebetulan kenal dan sekamar selama ini. Namun, apa iya di dunia ini yang namanya kebetulan? Kebaikan Papi dan Mami membuatku merasa penting untuk menjaga kamu. Ya, aku memang anak bungsu, Fuji ... tapi aku dibesarkan dengan keadaan yang sukar. Aku tau kerasnya hidup. Makanya aku begini banget protektif dan posesif sama kamu. Sayang aku ke kamu setara dengan sayang kepada Emak dan Kak Kasih."Fuji hanya menunduk dalam-dalam."Ketika aku kecelakaan, yang aku pikirkan adalah kamu. Siapa yang m
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,