Desember, 2014~••°••~Pak Gunadarma izin untuk duduk di luar, bersama dengan istrinya. Rumah Emak memang rendah atapnya, ketika matahari mulai terik akan terasa panas di sini. Keadaan tersebut diperparah dengan kondisi ventilasi yang tidak bagus.Mereka berdua duduk di kursi rotan tua, di tempat kami dulu biasanya membersihkan bawang. Aku di dalam rumah, hanya berbatas dinding dengan kedua orang tersebut. Mengambil posisi di pojokan, sambil menyalakan laptop dan mencari jaringan internet untuk HP. Posisi kampung Madila di kaki gunung, pohon-pohon rindang masih banyak. Kabarnya, hal tersebut mempengaruhi tangkapan sinyal internet di perangkat yang digunakan.Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan orang tua Rosemary, sumpah!"Mami kira dia anak orang kaya, Pi. Minimal kayak anak pegawai gitu. Makanya Mami terprovokasi banget waktu Mary bilang mau direbut posisinya sama dia. Tahu begini, astaga ... berdosa banget kita, Pi. Kita sudah jahat, Tuhan pasti marah sama kita." Itu suara Bu
~••°••~Hari ke-3, rumah Emak sudah rampung. Ini hampir seperti program bedah rumah yang sering aku tonton di televisi. Perabotan rumah Emak juga diganti dengan yang baru.Bagian luar dicat warna biru telur asin, sesuai permintaan Emak. Bagian dalam warna putih semuanya. Benar-benar cantik rumah beliau. Tak hentinya syukur terucap dari mulut kami."Ya Allah, Emak sampai nggak bisa berkata-kata, Rin. Coba bapakmu masih ada, Nak." Emak mengusap air mata yang tak mau berhenti. Beliau menangis bahagia, terharu dengan semua yang sudah terjadi."Rindu, terima kasih banyak sudah mewujudkan cita-cita Bapak untuk merenovasi rumah kita. Bapakmu pasti tersenyum bahagia sekarang," ulas Emak.Kupeluk Emak, tak ingin rasanya melepaskan. Emak satu-satunya tempat aku bersandar. Dalam hatiku memohon pada Allah agar Emak diberikan kesehatan dan umur panjang. Aku bukan apa-apa jika tidak ada Emak di dunia ini. Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Engkau maha pengabul doa-doa hamba-Mu. Aku sa
~••°••~Emak sama tercengangnya denganku. Malah berbalik ke dalam memastikan waktu yang ditunjukkan oleh jarum jam. Belum tepat pukul tujuh, orang ini dari mana?"Nak Farid?" sambut Emak, tatkala dia sudah di depan pintu dan langsung mencium punggung tangan beliau."Assalamualaikum," katanya."Walaikumsalam." Aku dan Emak menjawab serentak.Roman air muka Bang Farid menunjukkan sesuatu yang tidak beres. Aku paham sekali mimik wajahnya. Sangat mudah mengenali suasana hati dari gambaran ekspresi yang terpampang."Abang dari mana?" Aku ajak dia duduk di depan rumah, Emak kembali ke dalam mungkin membuat kopi."Habis jemput beras."Mendengar itu aku langsung menoleh ke arah mobil yang dikendarainya tadi. Kosong. Tidak ada karung beras di sana. Benar-benar kosong melompong. Berarti benar, ada sesuatu yang tidak beres. Aku menatap padanya lagi.Emak datang membawa kopi dan sedikit camilan. Menaruhnya di atas meja kecil yang menjadi batas antara aku dan Bang Farid. Kursi plastik dari dalam r
~••°••~"Abang jangan aneh-aneh masih pagi," sambarku mendelik kepadanya."Rindu, jangan meninggikan suara!" Emak balas marah padaku. "Tidak begitu adabnya bicara dengan orang yang lebih tua. Terlepas nanti Farid akan jadi suamimu atau bukan."Bang Farid malah tertawa terbahak-bahak melihat aku dimarahi Emak. Dia tampak puas dengan omelan Emak barusan."Kalau Emak ya terserah bagaimana Rindu saja. Yang akan menjalani kalian. Apalagi Rindu akan masuk semester akhir begini. Khawatirnya nanti begini, Rindu tidak bisa menunaikan tugas sebagaimana mestinya seorang istri. Demi mengejar dunia, terabaikan akhirat.""Tuh denger, Bang." Aku mencari celah membalas."Kan, Rindu ... tidak boleh olok-olok seperti itu," tegas Emak lagi.Duh, Emak.Sejujurnya, aku hanya ingin menghindari pembahasan dengan topik berat sepagi ini. Untuk membahas tentang pernikahan, harus di saat-saat otak lagi tenang dan mood lagi bagus. Bukan aku tidak mau, pun alangkah baiknya jika hubungan aku dan Bang Farid terikat
~••°••~Di hari pernikahan Febi pun semangatku menguar entah kemana. Meski kupaksakan tetap tersenyum dan menebar wajah ceria, tapi gundah di hati tak mau pergi. Masih membekas di ingatan sikap Uda Andri kemarin. Mereka bukan orang lain, kami bertautan darah. Tetapi mengapa sikap Etek Yarni sampai ke anak-anaknya selalu seperti itu. Rupanya deretan cobaan yang mereka terima, belum cukup untuk membuat sadar."Seperti sedang memikirkan sesuatu, Rin?" tegur Febi, dia baru saja selesai dirias, kini akan dipasangkan jilbab oleh MUA yang datang jauh dari Solok.Aku memindai wajah Febi, dia sangat cantik dan ayu. Tergambar sosok Mintuo Yeni di wajahnya yang oval dan terbentuk sempurna seperti dipahat. Mata tajam milik Mak Rustam menyempurnakan keindahan paras Febi."Kamu cantik sekali, Feb. Aku pangling," kataku melebarkan senyum."Rindu, ih. Ditanya malah mengalihkan pembicaraan." Febi sedikit merajuk mencucukan bibir.Sekali lagi aku mengulum senyum, "Enggak ada apa-apa, Feb. Cuma masalah
~••°••~Bulir air mata yang semakin banyak membasahi manik bening milik Bang Farid, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa dia tulus mencintaiku. Aku berani berpikiran demikian, setelah tiga tahun lebih kami jalani hubungan, selama itu juga Bang Farid menahan diri tidak ada sentuhan yang bisa menimbulkan syahwat. Jika ingin menemui aku, dia akan datang ke rumah secara gentle minta izin kepada Emak atau Kak Kasih. Tidak pernah ada dalam kamus Bang Farid, antar-jemput di depan gang."Kamu sedang bercanda, Rin?" lirihnya.Kini haru itu menular kepadaku, mata ini terasa memanas dan seakan-akan sedang membendung air bah."Rindu serius, Bang. Keputusan ini mantap Rindu ambil, setelah dinasehati oleh Kak Kasih. Sebetulnya juga karena memikirkan Emak. Rindu akan pergi jauh, tidak ingin meninggalkan kecemasan untuk beliau. Dengan adanya Bang Farid sebagai suami yang siaga, insya Allah, ya ... pastinya Emak enggak khawatir banget, 'kan.""Ya Allah, sampai nggak tahu mau ngomong apalagi,
~••°••~Pagi-pagi sekali Emak sudah berangkat ke rumah Mak Rustam, lebih tepatnya ke rumah istri muda Mak Rustam. Di kampung sebelah, melampaui rumah Etek Yarni. Emak pergi dengan ojek Bang Heru. Kebetulan Kak Kasih sedang main ke rumah, berhubung tidak ada singkong untuk diolah hari ini, ia meliburkan karyawannya.Sementara Kak Kasih memasak sarapan di dapur, aku duduk di teras ditemani buku Psikologi Lanjut. Sejenak aku hentikan perhatian dari lembaran kertas bermuatan ilmu tersebut. Menyapu pandang ujung ke ujung teras.Beberapa bulan lalu, tempat ini beralaskan tanah dengan sampah urat bawang di mana-mana. Terakhir aku pulang, kondisinya sangat buruk, karena atap depan bocor. Air hujan menggenang dan membuat becek area yang biasa digunakan Emak untuk bekerja.Dulu, dinding rumah adalah tempat sandaran karung-karung berisi bawang merah yang siap untuk dibersihkan. Kini sudah berganti dengan rak bunga cantik sebagai penghias pandangan. Tidak ada lantai tanah lagi, sudah digantikan k
~••°••~Sejak pagi, ibu-ibu sudah ramai di rumah. Setiap orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku dan Kak Kasih hanya duduk-duduk dalam kamar. Di Masjid Baitul Ilmu tidak jauh dari rumah, baru saja selesai salat Jum'at diselenggarakan. Kak Kasih merias wajahku tipis-tipis. Meski perutnya sudah sangat besar, tak menghalangi geraknya sedikit pun.Hampir pukul 2 siang, rombongan keluarga besar Bang Farid datang. Dulu, ketika dia pertama kali ke sini, ±3 tahun silam ... rumah ini masih gubuk reyot. Dia disambut oleh lantai tanah sedikit basah. Sampah bawang menjadi pajangan penghias kala itu.Pertemuan pertama yang melahirkan benih-benih asmara antara kami. Strata sosial antara aku dan dia yang sangat kontras, bagaikan bumi dan langit. Bahkan, ketika hubungan ini semakin serius sempat aku berpikir ... akankah dia bisa tidur nyenyak di bawah atap yang berdebu ini?Kini, ketika ia datang untuk kesekian kalinya, rumah yang dulu hampir rubuh sudah jauh lebih baik. Tidak lagi tanah yang
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,