~••°••~Mendekati waktu Dzuhur, terapi berjalan dihentikan. Dari ruangan terapi, dibantu dengan penyangga punggung, perlahan tapi pasti aku nekad berjalan ke kamar. Jaraknya tidak begitu jauh, tapi sukses membuat peluhku bercucuran sebesar biji-biji jagung. Menurutku, sesekali memang harus dipaksakan. Jika didiamkan terus, dimanjakan terus, bisa lama sembuhnya.Emak berkali-kali bertanya dengan mimik wajah cemas. Beliau se-khawatir itu, melihat bajuku yang basah oleh keringat. Meski juga sudah dijawab berulang-ulang, tetap saja tiap beberapa menit sekali emang bertanya lagi. "Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, Rin?" atau "Nggak apa-apa kan, Rin ... apa yang sakit, mana yang harus Emak pijat?"Itulah Emak, selalu khawatir untuk keadaan anak-anaknya.Setelah berjuang dengan maksimal, akhirnya bisa juga mencapai ranjang. Dengan sangat hati-hati aku duduk, menjaga agar tidak terjadi gerakan tiba-tiba yang bisa membuat ngilu di rusuk. Sebab, apabila itu terjadi aku bisa meradang kesakitan b
~••°••~Sore itu menjadi petang yang diselimuti rasa haru dan syukur tak terhingga. Pak Arzen beserta istrinya dipindahkan ke kamar VIP. Akhsan tidak mematok berapa biaya yang harus ia gelontorkan. Katanya, sampai istri Pak Arzen sembuh, ia bersedia saja membayarnya.Pertama, Akhsan memang anak orang kaya. Dia putra semata wayang pemilik perusahaan karpet nomor satu di Kota Padang. Selain itu, ayahnya juga mengelola banyak perumahan subsidi di berbagai tempat. Akhsan bukan orang kaya kaleng-kaleng. Ayah Akhsan asli Arab Saudi yang sudah lama menetap di Padang. Uang sejuta dua juta ibarat recehan baginya.Kendati demikian, Akhsan adalah gambaran sultan low profil. Dia merakyat sekali. Meski diakui sebagai salah satu crazy rich kota Padang, Akhsan tidak pernah segan makan di angkringan. Ngopi di mana saja ia mau. Makan pinggir jalan ia tak menolak. Mirip-mirip gaya Raffi Ahmad menurutku.Melupakan tentang Akhsan dan Pak Arzen, aku beralih pada Kak Rani yang sore itu tiba di Rumah Sakit
~••°••~Pak Arzen terduduk lemas di sofa setelah melihat bekas lebam-lebam hampir di sekujur tubuh Kak Rani. Emak duduk di tepi ranjang, menahan emosi agar tidak meluap. Megap-megap napas Pak Arzen di sela tangisannya yang tak mereda."Kenapa begini, Rani? Ayah pikir selama ini kamu hidup senang dan tenang di sana. Anak-anakmu ke mana?""Dengan teman-teman Rindu, Pak. Mereka cari makan keluar," sambarku cepat."Cucu-cucu aku disentuhnya juga, Rani? Kalau sampai iya, kupenggal kepala lelaki itu!" Pak Arzen mengepalkan tinjunya yang gemetar."Maafkan Rani, Yah.""Seumur hidupmu, Nak ... jangankan lekat tangan sampai memar-memar seperti ini, menjentikkan jari sedikit saja padamu, Ayah tidak pernah."Mendengar perkataan Pak Arzen membawaku pada situasi bernama de javu. Aku pernah mendengar kalimat itu beberapa tahun silam. Ketika aku ditampar seorang guru di sekolah, sampai meninggalkan jejak memar di sudut bibir. Dengan air mata bercucuran, bapak menemui sang guru. Beliau dengan rendah d
~••°••~"Gue mau ngomong banget sama kalian, please untuk sekali ini percaya." Raisya meremas jemari sendiri. Di ruangan VIP Mayang Terurai yang sudah kutempati lebih dari seminggu ini hanya ada aku dan empat kawanku.Siang ini mereka akan kembali ke Padang. Sebelum mereka bertolak, Emak izin ke pasar sebentar membeli beberapa printilan. Dengan begitu, kami juga leluasa bicara hal-hal yang sifatnya harus dirahasiakan dari Emak."Apa sih, tegang banget?" celetuk Robby. "Orang tuh bukannya nggak mau percaya sama elu, Cha. Tabiat sendiri yang bikin orang males. Dikit-dikit 'tapi boong', bentar-bentar 'canda' ... ya wajarlah akhirnya orang susah bedain mana yang candaan mana yang seriusan.""Nggak biasanya lo kayak gini, Cha. Tegang dan kaku kayak kanebo kering. Biasanya juga pecicilan nggak jelas." Fuji berkomentar juga."Kalian janji harus percaya sama gue. Ini tuh urgent soalnya, soal Kak Rani."Aku yang tadinya tidak begitu tertarik dengan pembahasan mereka, mengangkat kepala menatap
~••°••~"Mak?"Emak yang baru datang, menoleh cepat. Beliau sedikit terkejut. Apa suaraku barusan terlalu keras, ya?"Orang tuanya Rosemary katanya besok ke sini, Mak."Beliau tidak mengacuhkan. Malah sibuk melipat kain dan menyusun ke dalam tas besar yang biasa dijadikan tempat kain kotor. Aku tunggu-tunggu jawaban Emak, kok tidak ada. Apa beliau tidak mendengar penuturanku barusan?"Emak kok beres-beres?" Aku agak mendesak."Kain-kain yang jarang terpakai ini, mau Emak titip ke Doni kalau dia mampir nanti. Katanya lembur, ada urusan ke arah Singkarak. Begitu, pas pulang nanti mau singgah dulu sebelum ke rumah." Akhirnya, Emak bersuara juga."Ooh, kok Emak begitu, kayak ada yang aneh deh?""Aneh apa, Rindu?""Dingin gitu sikapnya?" tanyaku mulai mengorek-ngorek sikap Emak.Lagi Emak cuek saja. Malah semakin sibuk mengemas barang-barang yang jarang digunakan. Hampir dua Minggu di sini, seperti pindah rumah. Segala keperluan dan tetek bengeknya diangkut semua. Paling sepele, piring ena
~••°••~Sambil menunggu Bang Farid mengurus berkas-berkas administrasi, aku dan Emak menemui Pak Arzen ke kamar beliau. Sejak dari semalam, beliau sudah aku beritahu akan pulang hari ini. Senang dan sedih rasanya bercampur menjadi satu."Pak, Rindu pulang dulu." Kusalami Pak Arzen, beralih pada istri beliau yang sudah jauh lebih baik. Kami berpelukan seadanya."Cepat pulih ya, Bu." Aku mencium tangan beliau—istri Pak Arzen."Bapak nggak bisa ngomong apa-apa lagi, Rindu. Setelah semua yang kamu berikan ke Bapak. Insya Allah ada waktunya nanti untuk mampir ke Madila. Minta tolong didoakan semoga ibu juga lekas bisa pulang.""Insya Allah, selalu Rindu do'akan, Pak.""Ini temanmu si Akhsan, masa katanya mau bawa ibu ke Malaysia untuk berobat. Bapak ya kaget, Rin. Tetapi, orang tuanya Akhsan tadi Subuh menelpon Bapak. Katanya sudah dipesan tiket pesawat. Kalau Bapak nggak salah dengar tadi, katanya berangkat dalam minggu ini.""Masya Allah, Alhamdulillah, semoga jadi jalan untuk kesembuhan
Desember, 2014~••°••~Pak Gunadarma izin untuk duduk di luar, bersama dengan istrinya. Rumah Emak memang rendah atapnya, ketika matahari mulai terik akan terasa panas di sini. Keadaan tersebut diperparah dengan kondisi ventilasi yang tidak bagus.Mereka berdua duduk di kursi rotan tua, di tempat kami dulu biasanya membersihkan bawang. Aku di dalam rumah, hanya berbatas dinding dengan kedua orang tersebut. Mengambil posisi di pojokan, sambil menyalakan laptop dan mencari jaringan internet untuk HP. Posisi kampung Madila di kaki gunung, pohon-pohon rindang masih banyak. Kabarnya, hal tersebut mempengaruhi tangkapan sinyal internet di perangkat yang digunakan.Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan orang tua Rosemary, sumpah!"Mami kira dia anak orang kaya, Pi. Minimal kayak anak pegawai gitu. Makanya Mami terprovokasi banget waktu Mary bilang mau direbut posisinya sama dia. Tahu begini, astaga ... berdosa banget kita, Pi. Kita sudah jahat, Tuhan pasti marah sama kita." Itu suara Bu
~••°••~Hari ke-3, rumah Emak sudah rampung. Ini hampir seperti program bedah rumah yang sering aku tonton di televisi. Perabotan rumah Emak juga diganti dengan yang baru.Bagian luar dicat warna biru telur asin, sesuai permintaan Emak. Bagian dalam warna putih semuanya. Benar-benar cantik rumah beliau. Tak hentinya syukur terucap dari mulut kami."Ya Allah, Emak sampai nggak bisa berkata-kata, Rin. Coba bapakmu masih ada, Nak." Emak mengusap air mata yang tak mau berhenti. Beliau menangis bahagia, terharu dengan semua yang sudah terjadi."Rindu, terima kasih banyak sudah mewujudkan cita-cita Bapak untuk merenovasi rumah kita. Bapakmu pasti tersenyum bahagia sekarang," ulas Emak.Kupeluk Emak, tak ingin rasanya melepaskan. Emak satu-satunya tempat aku bersandar. Dalam hatiku memohon pada Allah agar Emak diberikan kesehatan dan umur panjang. Aku bukan apa-apa jika tidak ada Emak di dunia ini. Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Engkau maha pengabul doa-doa hamba-Mu. Aku sa
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,