Sejak kepulangan Andira dari rumah Pak Soleh semalam, hati Andira terus saja dilanda gelisah. Keanehan-keanehan yang ia rasakan di rumah itu membuat hatinya tak tenang.
Mulai dari sikap aneh Pak Soleh, kejadian aneh saat Andira menatap patung-patung yang Pak soleh koleksi serta larangan bagi siapa saja untuk melihat metode pengobatannya.
Namun ketika Andira menceritakan semua rasa kegelisahannya pada sang ibu mertua, mertuanya malah mengatakan kalau itu hanya perasaannya saja.
Akhirnya semalaman Andira tidak bisa tidur dengan nyenyak dan terus saja memikirkan keadaan suaminya. Hingga hari ini pun, dia bahkan tidak bisa melakukan atifitasnya dengan benar.
Matahari pun kini mulai terbenam, namun Andira sama sekali belum mendapatkan kabar dari sang ibu mertua tentang kepulangan sang suami. Semua pekerjaan kantor yang ia kerjakan kacau, dia bahkan tidak bisa berkonsentrasi saat rapat tengah berlangsung, pikirannya kalut, hatinya pun berkabut.
<"Sayang, kamu kenapa?" Andira bergegas masuk, menyusul suaminya. "Kamu yang kenapa?" Bagas langsung berbalik dan menatap wajah istrinya. "Aku? Memangnya aku kenapa?" tanya Andira mengerutkan keningnya. "Kamu pulang dengan siapa? Kenapa gak kasi kabar?" tanyanya dengan suara yang agak meninggi. "Apa maksudmu? Aku pulang bareng Sisi. Lagi pula bagaimana aku bisa kasi kabar, aku saja tidak tahu kalau kamu sudah pulang." jelas Andira kembali meraih tangan suaminya. "Alasan!" bentak Bagas sembari menepis kasar tagan istrinya. Andira tertegun seketika saat mendengar ucapan suaminya. Ini kali pertama kalinya Bagas memperlakukannya dengan kasar. Air matanya pun luruh seketika sembari menatap kepergian suaminya. "Dira kenapa?" Andira segera mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya. Ia tidak ingin mertuanya tahu dan malah akan menambah beban pada ibu mertuanya. "Kelilipan Bu." kilahnya kemudian. "Oh, ya sudah
Rasa bersalah mendadak muncul dalam hati Bagas ketika ia menyadari sikap kasarnya terhadap sang istri. Bukan tanpa alasan Bagas melakukan hal itu. Dia tidak ingin istrinya itu tahu keadaan dirinya ketika ia sedang menunaikan ibadah sholat. Maka dari itu dia menolak ajakan Andira untuk sholat berjamaah dengannya. Semenjak Bagas berada di rumah pak Sholeh, dia menjadi sangat sulit untuk menunaikan ibadah sholat. Jangankan untuk sholat, berjalan untuk megambil wudhu pun dia seolah tak mampu. Kadua kakinya terasa amat berat untuk melangkah, bahunya pun terasa sangat sakit seakan tengah memikul sesuatu yang sangat berat. Seperti halnya malam ini, Bagas membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk menyelesaikan ibadah sholat isya'nya. Rasa sakit di bahunya pun semakin menjalar ke bagian dada kiri, ketika ia tengah menjalankan ibadah sholat. Bahkan Bagas sampai membungkuk karena menahan rasa sakit. Meski begitu, Bagas merasa senang karena sejak kemarin ia tidak kambuh.
Di saat matahari belum menampakkan sinarnya di permukaan bumi, Bagas sudah lebih dulu terbangun dari tidurnya. Ia merasa amat senang karena semalam penuh dia tidak terjaga dan bisa tidur dengan nyenyak sembari memeluk istrinya. Dipandanginya wajah wanita yang sudah setia menemaninya dalam keadaan susah maupun senang itu dan dia pun kembali teringat dengan pertanyaan yang sempat dilontarkan oleh istrinya semalam. Saat itu Bagas menatap lekat wajah istrinya yang nampak murung, raut wajahnya pun juga terlihat sedih seakan tengah memikirkan sesuatu. "Kamu kenapa?" tanyanya pada sang istri. "A-aku takut! Aku takut saat kita berhubungan, mereka yang merasuki tubuhmu masih ada di sana dan itu sama saja dengan mereka juga menikmati tubuhku." ucap Andira menutup rapat kedua matanya. Bagas tertegun seketika, ia pun langsung bangkit dan duduk bersila menghadap istrinya. "Sayang, dengarkan aku." Bagas membimbing Andira agar duduk berhadapan dengannya.
Bagas terbelalak, tubuhnya juga membeku seketika. Perlahan dia mulai mengatur nafasnya. Lalu ia berbalik dan tersenyum pada istrinya. "Sudah bangun Sayang?"serunya."Kamu kenapa gak bangunin aku?" keluh Andira pada suaminya.Bagas beranjak dari duduknya lalu perlahan mendekati istrinya yang masih terduduk di atas kasur. Terlihat jelas wajah kesal istrinya yang tengah merajuk. "Aku kasian lihat kamu tidur nyenyak tadi, aku pasti sudah membuatmu capek semalam." ucapnya sembari mengusap lembut pucuk kepala istrinya."Biasanya juga begitu, tapi kamu tetep bangunin aku!" Andira melirik sekilas ke arah Bagas, lalu membuang pandangannya dan kembali memasang wajah yang kesal.Cup!Satu kecupan berhasil mendarat di pipi kanan Andira. "Kamu mau, aku ajak mandi bareng lagi?" Bagas menatap istrinya dan tersenyum penuh arti padanya.Andira langsung menoleh, ditatapnya sang suami yang tengah tersenyum penuh arti padanya. "Tidak mau
Bagas bergantian menatap tajam ke arah kotak dan pria yang bertugas sebagai kurir itu. "Untuk apa kau mencari istriku?" tanyanya tanpa mengaihkan pandangannya."Anu, i-itu. A-ada paket untuk Ibu Andira." Jawab kurir itu dengan gemetar.Tanpa mengatakan sepatah kata pun Bagas langsung menyambar kotak merah itu, lalu pergi begitu saja meninggalkan sang kurir.Brak!"Astaghfirullah!" sang kurir langsung tersentak saat Bagas menutup pintu rumahnya dengan keras. Dia menggelengkan kepala dan langsung pergi dari rumah Bagas.Bagas memasuki rumah dengan tergesa, wajah pun terlihat tak bersahabat. Ia menatap sang istri serta ibunya tengah menunggunya di meja makan.Pyar!Dengan kasar Bagas melempar kotak merah itu ke hadapan istinya, hingga menyenggol gelas yang berada di atas meja.Andira dan Leni pun terperanjat, terlebih saat gelas itu terjatuh dari atas meda hingga pecah dan berhampuran di lantai."Bagas! Apa-apaan ini?
Sejak kejadian tadi pagi di depan kantor, Andira terus saja merasa gelisah. Pikirannya terus tertuju pada sang suami yang sudah salah paham padanya. Beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi suaminya, namun Bagas tetap enggan untuk mengangkat panggilan darinya. "Kamu kenapa Ra?" tanya Sisi yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. "Eh Sisi, ada apa? Tumben ke sini?" tanyanya Andira sambil mengerutkan keningnya. "Aku lagi kesel! Punya Bos yang sukanya ngasih tugas gak kelar-kelar! Dikira aku ini robot apa?" gerutunya sambil berkacak pinggang. "Sudah tahu tugas yang ini belum kelar, malah ditambah lagi dengan tugas lain." keluhnya sembari melempar berkas ke atas meja kerja Andira.Di saat Sisi terus mengoceh di hadapannya, Andira justru tengah terhanyut dengan pikirannya sendiri. "Woi! Kamu kenapa sih?" protes Sisi saat Andira tidak meresponnya.Andira langsung tersentak saat Sisi tiba-tiba menepuk bahunya. "Iya, kenapa Si?" ucap Andira reflek. Ia pu
Detak jantungnya yang masih berdebar kencang kian berpacu cepat, deru nafasnya pun juga terdengar saling memburu. Dengan tubuh yang masih gemetar, Andira memberanikan diri untuk melirik ke arah belakang tubuhnya. "Aaargh!"Belum juga ia sempat menoleh, sesuatu tiba-tiba menahan dan menarik kakinya hingga tubuhnya terseret masuk ke dalam bilik kamar mandi. Brak!Pintu bilik tiba-tiba tertutup dengan keras. Andira pun langsung berusaha melepaskan sesuatu yang menahan kakinya, namun sayang kakinya tetap tidak bisa digerakkan. Beberapa saat kemudian, telinganya samar-samar mendengar beberapa teman kantornya memasuki kamar mandi."Tolong! Tolong!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu bilik yang terkunci.Namun bak sebuah angin, tidak ada satu pun di antara mereka yang mendengar suara teriakan Andira.Andira berusaha mengintip dari celah bawah pintu bilik, tangannya lalu menjulur ketika salah satu dari mereka mendekat ke arahnya. Namun tiba-tiba temann
"Dira? Kamu sudah sadar sayang?"Perlahan Andira mulai membuka kedua matanya yang masih terasa berat, kepalanya pun ia pegangi saat sakit kembali ia rasakan. Kedua matanya kemudian mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya sekitar yang menyilaukan mata. Suasana kamar bernuansa putih tiba-tiba menyambutnya. Andira megedarkan pandangannya dan melihat seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di pinggiran ranjangnya."Ibu..." serunya lemah. Ia lalu kembali menelisik seluruh sudut kamar, tapi ia tidak menemukan seseorang yang ia cari. "Sebentar, ibu panggilkan Dokter dulu." ucap Leni yang kemudian diangguki oleh menantunya. Leni pun langsung berlari keluar kamar perawatan untuk menemui dokter.Setelah kepergian ibu mertuanya, rasa sedih kembali mendera Andira saat sesorang yang ia harapkan ternyata tidak ada disampingnya ketika ia sadar.Cklek."Sayang..." ucap Andira seketika saat pintu kamar perawatannya terbuka. Namun wajahnya kembali murung seketika saa