Happy Reading*****"Ayah," teriak Rini. "Biar saja, Bu. Mungkin dengan memberikannya pukulan kesadarannya bisa pulih. Seenaknya saja kalau ngomong. Sakitmu itu masih bisa diupayakan penyembuhannya. Mbak, itu bukan divonis mandul atau mati. Ngerti kamu!" bentak Lutfi penuh amarah. Entah mengapa lelaki yang telah membesarkan Risma bisa khilaf dan memukul putrinya. Walau pelan, tetapi hal seperti itu tak pernah sekalipun dilakukan oleh Lutfi. Sampai putrinya berusia dewasa, dia tak sekalipun pernah main tangan. Rini berusaha memegangi lengan suaminya agar amarah lelaki itu tak meledak kembali. Sementara Riswan masih sedikit syok. Belum pernah dia melihat kemarahan ayah mertuanya seperti sekarang. "Sabar, Yah. Kenapa mesti emosi seperri ini," bisik Rini, tetapi masih mampu di dengar oleh semua yang ada di ruangan itu. "Mbak Risma butuh dukungan kita, bukan amarah seperti ini."Rofikoh juga masih terdiam. Bingung harus berkata apa untuk meredakan situasi yang tak diinginkan seperti in
Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, Riswan menyempatkan diri ke toko milik istrinya. Sudah saatnya jam tutup dan biasanya Risma yang akan membawa kunci. Kali ini, lelaki itu harus memberikan tanggung jawab pada salah satu karyawan untuk memegang kunci dan mengelola toko selama istrinya sakit. Mau tak mau, Riswan harus melakukannya. Risma tak lagi bisa bekerja keras seperti sebelumnya. Lelaki itu masuk ke toko dengan wajah galau. "Sebelum kalian pulang, saya mau ngobrol sebentar. Tolong setelah beberes temui saya di ruangan Mbak Risma," pinta Riswan saat melihat karyawan istrinya sedang beres-beres."Baik, Pak," jawab keduanya bersamaan. Salah satu karyawan yang tak berjilbab dan yang paling muda, berbisik, "Ada apa, ya, Mbak? Tumben kita dipanggil sama Pak Riswan.""Kurang tahu, Ran. Mungkin terkait dengan keadaan Mbak Risma. Tahu sendiri tadi beliau kesakitan dan dibawa ke rumah sakit," kata perempuan berjilbab yang bernama Hamimah. "Oh, ya. Bisa juga karena itu." Pemili
Happy Reading*****"Suami macam apa kamu, hah?" teriak lelaki itu yang tak lain adalah Zikri. Melihat sikap manja perempuan di samping Risma, dia tersulut amarah. Sepertinya sahabat Risma itu mulai emosi. Sejak tadi, dia sudah mengamati gerak-gerik perempuan yang bergelayut manja pada suami sahabatnya. Kemarahannya juga tersulut karena perempuan itu adalah orang sama yang pernah ditemuinya di mal beberapa bulan lalu. Perempuan yang mendapat perhatian lebih dan dibelanjakan banyak susu hamil oleh Riswan. Sahabat mana yang tidak akan marah, jika mengetahui temannya dizolimi. Begitulah pikiran Zikri apalagi keadaan Risma yang sedang sakit saat ini. "Apa-apaan kamu?!" kata Yustina tak terima Riswan dipukul mendadak seperti tadi. Zikri menatap nyalang pada perempuan di depannya. "Diam! Kamu perempuan nggak punya malu. Sudah tahu, dia ini punya istri masih saja mepet kayak perangko. Dasar nggak punya otak! Memangnya kamu nggak laku sampai terus nempelin Mas Riswan?""Zik, tenang dulu! K
Happy Reading*****Tubuh Risma menegang, mungkinkah lelaki yang dimaksud adalah Farel. Secara keseluruhan jika dilihat dari mata perempuan lain, mungkin sang dokter lebih segalanya. Karier dan ekonomi mapan. Wajah tampan dengan bentuk tubuh yang pastinya membuat semua perempuan mana pun akan terpesona. Apalagi jika dia sudah mengenakan pakaian dinas, jas berwarna putih serta stetoskop yang bergelantung di leher. Maka, ketampanan Farel naik berkali-kali lipat dibanding sebelumnya. Cepat, Risma menguasai diri dan membalik perkataan Yustina. "Berani deketin calon Mbak Iklima, aku akan mengadukan kelakuan busukmu pada Ibu. Masih ingat, gimana ancaman ibumu saat itu?" bisik Risma tak mau kalah. "Nggak usah macam-macam kalau masih pengen hidup enak. Ibu bisa kapanpun mencoret namamu dari daftar warisan dan kartu keluarga. Nggak pengen, kan, kehilangan warisan yang lumayan banyak?"Yustina segera menegakkan badan. "Kita lihat saja nanti, Ris. Apa yang bisa aku lakukan untuk mendapatkam Far
Happy Reading*****Melihat bundanya berkacak pinggang dengan mata melotot penuh amarah. Riswan yang masih di ambang kesadaran, menggaruk kepala bingung. Dua pasangan itu belum menyadari apa kesalahan mereka. "Ada apa, Nda? Kenapa teriak-teriak gitu? Masih subuh juga," kata Riswan tanpa rasa bersalah. Memang benar keadaan masih subuh dan azan sedang berkumandang saat ini. Dia sama sekali tak menyadari keadaannya yang sungguh memalukan jika dilihat oleh orang lain. "Maass," teriak Rofikoh sekali lagi, "lihat keadaanmu? Apa pantas melakukannya di rumah sakit dengan keadaan Mbak Risma yang masih sakit seperti ini?"Riswan melirik ke samping dan juga tangannya yang sedang memegang suatu benda lembut dan kenyal. Pakaian atasnya juga sudah hilang entah ke mana. Setelah menyadari apa yang sedang dipegangnya dan melihat bagian atas sang istri. Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah. Bakal dihajar habis-habisan dirinya setelah ini. 'Duh, kok bisa kelepasan gini? Padahal semalam cuma gr
Happy Reading*****"Kamu kenapa, Mbak?" tanya Risma. Iklima makin terisak ketika mendengar pertanyaan Risma. Perempuan itu tak menghiraukan kehadiran Riswan, malah menjatuhkan pelukannya pada Risma yang tengah duduk bersandar pada ranjang. "Yustina, lho," adu Iklima. Riswan bertanya dengan menggerakkan dagunya pada sang istri. Seolah dengan gerakan itu, dia bertanya ada apa dengan sahabatnya. Masih merangkul Iklima, Risma meletakkan jari telunjuk pada bibirnya agar Riswan tak menanyakan apa pun. "Yang, Mas keluar dulu. Mau beli camilan," pamit Riswan sengaja memberi ruang bagi sahabatnya untuk menumpahkan seluruh isi hati. Setelah Riswan keluar, Risma mengurai pelukan ibu muda itu. "Udah nggak ada Mas Riswan. Sekarang cerita, kenapa sama Yustina?"Iklima mengusap air mata. Memencet hidung dan menarik napas panjang. "Dia tadi datang ke rumahku pagi-pagi banget sebelum aku berangkat ke rumah sakit.""Terus?""Dia nyuruh aku buat mundur. Katanya ibunya Farel lebih setuju putranya m
Happy Reading*****"Riswan apa-apaan kamu! Nggak bisa didik isttimu, ya," teriak Yustina. Dia memutar bola mata saat melihat kehadiran Farel di sana. Mata yang semula membulat, sekarang berubah sok manis. "Ada apa?" tanya Riswan tenang."Kenapa istrimu memfitnah aku? Masalah dia apa, sih? Segitunya benci sama aku.""Fitnah?" tanya Farel. Seketika wajah si dokter berubah menakutkan. "Tolong jelaskan apa yang dimaksud fitnah? Apakah seperti ini?" Dia menunjukkan foto yang dikirim Yustina pada Iklima. "Dari mana kamu dapat foto itu?" kata Yustina terbata, tetapi detik berikutnya dia sudah menampakkan wajah tak bersalahnya. "Pasti ada orang yang sengaja mengabadikan momen kita kemarin. Tega sekali orang itu. Kalau sampai Iklima tahu kan kasihan. Aku telpon Iklima, ya, buat jelasin semuanya."Tangan Farel terkepal sementara Riswan makin jengah dengan tingkah laku perempuan di depannya. Andai bukan seorang wanita, dipastikan satu bogeman melayang pada Yustina. Sayang, baik Farel maupun R
Happy Reading*****Iklima mendorong tubuh sahabatnya, lalu melayangkan satu tamparan keras. "Tega kamu, Yus. Kamu tahu sejak kata-kata dan foto yang kamu kirimkan, aku menuduh Farel lelaki nggak bener.""Maafin aku, Ma.""Apa dengan kata maafku kamu akan berubah?" Tatapan Iklima tajam. "Lihat ibumu? Berapa lama lagi kamu akan menyiksa bathinnya?"Yustina meluruhkan tubuh ke lantai ketika inderanya bertemu dengan indera perempuan sepuh yang telah melahirkannya. "Tolong, maafkan aku, Ma. Aku janji nggak akan mengganggu hubungan siapa pun lagi. Cukup kata-kata Farel dan Riswan yang begitu keras menamparku hari ini. Jangan ucapkan lagi keburukan tentangku." Dia tergugu dalam tangisannya. Iklima melirik pada ibu Yustina. Isyarat mata yang diberikan perempuan itu syarat permohonan. Hatinya luluh seketika, Iklima juga seorang ibu tentu bisa merasakan kesakitan dan sorot mata wanita di depannya."Berdirilah, Yus. Aku memaafkanmu, hanya karena Ibu. Jika sampai kamu mengulangi lagi perbuatanm
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw