Happy Reading*****Hari-hari Riswan dan Risma makin membahagiakan. Usaha warung satenya juga melejit. Cabang yang dikelola bersama Fatiya juga sudah berjalan dengan baik. Bahkan sebentar lagi, mereka berencana membuka cabang baru. Sementara Risma, sejak satu bulan lalu membuka sebuah toko kue. Sebuah toko dengan konsep yang telah diimpikan selama ini. Bisa dipakai bersantai sambil menikmati cemilan yang tidak mengenyangkan. Awalnya si suami tak mengijinkan karena mereka ingin fokus memiliki momongan. Namun, Risma beralasan jenuh jika di rumah terus. Setiap hari setelah selesai berberes, perempuan itu cuma berbaring dan menonton televisi. Sebuah ruko kecil di dekat warung sate pertama milik Riswan, disewa oleh Risma. Letaknya yang strategis dengan perkantoran dan beberapa sekolah membuat toko kue itu cepat berkembang. Risma cukup bangga dengan pencapaiannya saat ini. Dia sudah memiliki dua karyawan. Satu untuk bagian membuat adonan kue bersama dirinya dan satu lagi bertugas melayan
Happy Reading*****"Kok bisa tahu aku di sini?" tanya Iklima heran. Dua sahabat itu tersenyum berbarengan. Riswan lebih dulu mendekati sang istri. Mendaratkan satu kecupan pada kening. Baru beberapa jam tak bertemu sudah membuat rasa rindu di hatinya menggunung. "Dia nyariin kamu dari tadi, Ma. Dikira kami datang ke warung sate. Negatif aja pikiran calon suamimu itu," ujar Riswan. Dia segera duduk di sofa kosong sebelah Dara tertidur. Menatap wajah polos bocah kecil itu yang begitu menenangkan hati. "Bukan negatif, Wan. Yayangku ini kan paling deket sama kamu. Setiap ada masalah atau apa pun itu, pasti kamulah tempatnya bercerita." Farel memberi alasan. Dia juga menatap penuh tanda tanya pada calon istrinya."Itu dulu, sebelum dia kenal sama istriku. Sekarang, mana ada cerita ke aku. Sudah diduakan aku ini. Bener nggak, Yang?" Lelaki itu terkekeh dengan tangan yang melingkar pada pinggang istrinya. Bibirnya sudah menempel erat walau masih ada dua sahabatnya. Tak ada rasa malu lagi
Happy Reading*****"Kamu siapkan mobil, Wan. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja. Di sana lebih lengkap peralatannya," saran Farel. "Ya, kamu benar. Kalau ke klinik walau jaraknya dekat, tapi belum memadai untuk pemeriksaan lebih lanjut." Iklima menambahkan. "Ya, sudah," kata Riswan. Dia mengeluarkan ponsel dan terlihat menghubungi seseorang. "Tolong ambil kunci mobil, bawa ke tokonya Mbak Risma," suruhnya pada seseorang itu. Sambil menunggu seseorang yang ditelepon tadi, Riswan memapah sang istri ke luar ruangan diikuti dua sahabatnya. "Bun, sebaiknya hubungi dokter Irma. Beliau masih bertugas di sana, kan?" perintah Farel. "Mbak, aku nggak papa sebenarnya. Sakit perut gini sudah biasa. Nanti juga hilang sendiri. Mungkin mau datang bulan." Risma menatap Iklima penuh permohonan. Pasalnya, dia tidak mau melihat orang-orang di sekelilingnya panik seperti sekarang. "Jangan menyepelekan penyakit. Aku nggak bisa ngomong kamu sakit apa sebelum ada data. Nggak berani juga memperki
Happy Reading*****Riswan terdiam, merasa bersalah dan membenarkan semua ucapan mertuanya. Sebagai kepala keluarga dia memang abai dengan kesahatan sang istri. Harusnya, ketika Risma sering mengeluh nyeri di bagian perut. Riswan segera memeriksakan kesahatan perempuan itu. Namun, dia lebih percaya dan menuruti perkataan Risma bahwa semua akan kembali membaik. 'Sudah biasa. Bentar lagi juga membaik, Mas.' Begitu yang sering Riswan dengar dari Risma. Parahnya, lelaki itu tidak menaruh curiga sedikit pun dan puncaknya hari ini. Pada rahim Risma terdapat kista endometrium yang lumayan besar. "Mas, jawab. Jangan diam saja. Putri Ibu sakit apa?" Rini mengguncang pelan lengan menantunya. Tak sabar mengetahui apa pemyakit si sulung. "Ada kista pada rahim Risma, Bu," jawab si lelaki, lemas. "Astagfirullah," ucap Rini dan Lutfi bersamaan. Kedua orang tua itu terkejut. "Apakah hal itu yang menyebabkan kalian sulit mendapat momongan? Lalu, gimana keadaan Risma sekarang? Kenapa nggak dari du
Happy Reading*****Ruangan warna putih dengan kelambu hijau muda terlihat oleh keluarga Riswan. Seorang perawat tengah merapikan letak infus dan Risma masih terlihat memejamkan mata. Setelah mendapat injeksi tadi, Risma memang tampak lebih tenang. Memejamkan mata dan tak lagi mengeluhkan tentang nyeri di bawah perut. Wajah pucat perempuan itu membuat hati Riswan tersayat. Mengapa dan mengapa harus istrinya yang merasakan kesakitan ini. Bukan dia saja yang memang terlalu banyak kesalahan. Di sudut lain, tepat di sofa depan ranjang Risma. Dua perempuan paruh baya tengah duduk dengan gelisah. Sama gelisahnya dengan Riswan."Mbak, sebenarnya Mbak Risma sakit apa? Mengapa njenengan mengatakan hal nggak ngenakin seperti itu. Ingat, lho. Setiap ucapan adalah doa." Rofikoh berbisik pada besannya karena masih penasaran. "Ada kista pada rahim Mbak Risma," ujar Rini. Pandangannya menerawang, lalu teringat perkataannya tadi. "Astagfirullah, aku nggak sadar ngomong seperti tadi saking paniknya
Happy Reading*****"Ayah," teriak Rini. "Biar saja, Bu. Mungkin dengan memberikannya pukulan kesadarannya bisa pulih. Seenaknya saja kalau ngomong. Sakitmu itu masih bisa diupayakan penyembuhannya. Mbak, itu bukan divonis mandul atau mati. Ngerti kamu!" bentak Lutfi penuh amarah. Entah mengapa lelaki yang telah membesarkan Risma bisa khilaf dan memukul putrinya. Walau pelan, tetapi hal seperti itu tak pernah sekalipun dilakukan oleh Lutfi. Sampai putrinya berusia dewasa, dia tak sekalipun pernah main tangan. Rini berusaha memegangi lengan suaminya agar amarah lelaki itu tak meledak kembali. Sementara Riswan masih sedikit syok. Belum pernah dia melihat kemarahan ayah mertuanya seperti sekarang. "Sabar, Yah. Kenapa mesti emosi seperri ini," bisik Rini, tetapi masih mampu di dengar oleh semua yang ada di ruangan itu. "Mbak Risma butuh dukungan kita, bukan amarah seperti ini."Rofikoh juga masih terdiam. Bingung harus berkata apa untuk meredakan situasi yang tak diinginkan seperti in
Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, Riswan menyempatkan diri ke toko milik istrinya. Sudah saatnya jam tutup dan biasanya Risma yang akan membawa kunci. Kali ini, lelaki itu harus memberikan tanggung jawab pada salah satu karyawan untuk memegang kunci dan mengelola toko selama istrinya sakit. Mau tak mau, Riswan harus melakukannya. Risma tak lagi bisa bekerja keras seperti sebelumnya. Lelaki itu masuk ke toko dengan wajah galau. "Sebelum kalian pulang, saya mau ngobrol sebentar. Tolong setelah beberes temui saya di ruangan Mbak Risma," pinta Riswan saat melihat karyawan istrinya sedang beres-beres."Baik, Pak," jawab keduanya bersamaan. Salah satu karyawan yang tak berjilbab dan yang paling muda, berbisik, "Ada apa, ya, Mbak? Tumben kita dipanggil sama Pak Riswan.""Kurang tahu, Ran. Mungkin terkait dengan keadaan Mbak Risma. Tahu sendiri tadi beliau kesakitan dan dibawa ke rumah sakit," kata perempuan berjilbab yang bernama Hamimah. "Oh, ya. Bisa juga karena itu." Pemili
Happy Reading*****"Suami macam apa kamu, hah?" teriak lelaki itu yang tak lain adalah Zikri. Melihat sikap manja perempuan di samping Risma, dia tersulut amarah. Sepertinya sahabat Risma itu mulai emosi. Sejak tadi, dia sudah mengamati gerak-gerik perempuan yang bergelayut manja pada suami sahabatnya. Kemarahannya juga tersulut karena perempuan itu adalah orang sama yang pernah ditemuinya di mal beberapa bulan lalu. Perempuan yang mendapat perhatian lebih dan dibelanjakan banyak susu hamil oleh Riswan. Sahabat mana yang tidak akan marah, jika mengetahui temannya dizolimi. Begitulah pikiran Zikri apalagi keadaan Risma yang sedang sakit saat ini. "Apa-apaan kamu?!" kata Yustina tak terima Riswan dipukul mendadak seperti tadi. Zikri menatap nyalang pada perempuan di depannya. "Diam! Kamu perempuan nggak punya malu. Sudah tahu, dia ini punya istri masih saja mepet kayak perangko. Dasar nggak punya otak! Memangnya kamu nggak laku sampai terus nempelin Mas Riswan?""Zik, tenang dulu! K
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw