Happy Reading*****Serta merta Risma bangit dari tidurnya. "Anakku ... anakku," teriaknya. Namun, bukan mendekati cucu Bu Hamdiyah, Risma berlari keluar kamar. Terus berteriak memanggil anaknya. Riswan mengejar dengan perasaan tak karuan. Dipeluknya sang istri dengan erat. "Jangan begini, Yang. Kamu mau ke mana?" tanya Riswan merangkul istrinya. Menuntun agar duduk di sofa. Beruntung lelaki itu bisa mengejar. Fadil dan Lutfi saling menatap. Seakan apa yang ada di pikiran mereka sama. Keduanya mengangguk bersamaan. Lalu, mendekati Hamdiyah. "Ibu mau pulang? Biar saya yang antar," kata Lutfi. Rini menyipitkan mata. Tumben, suaminya bersedia mengantar Hamdiyah. Sengaja, perempuan itu mencolek sang suami untuk mengikuti langkahnya. Sedikit menjauh dari orang-orang yang ada di kamar itu. "Ayah tumben mau ngantar Bu Hamdiyah?" tanya Rini setelah mereka berada di meja makan. Tempat itulah yang paling aman untuknya membahas keheranan sikap Lutfi. "Ayah nggak sendirian, Bu. Ada Fadil
Happy Reading*****Hamdiyah menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya berkata. "Baiklah, Pak, Bu. Saya nggak keberatan. Njenengan-njenengan boleh membawa dan mengasuh cucu saya untuk membantu Mbak Risma kembali seperti dulu. Semoga keputusan saya ini benar.""Alhamdulillah," jawab ketiganya serempak. "Kami nggak akan mengecewakan Bu Hamdiyah. Kami janji akan merawat cucu Ibu sama seperti cucu kami," kata Rofikoh.Hamdiyah tersenyum dan mengangguk."Besok, pagi-pagi sekali kami akan menjemput cucu Ibu. Siapa namanya?" tanya Fadil. "Belum saya kasih nama, Pak. Rencana setelah selamatan tujuh hari ibunya, baru saya ngadain acara sepasaran buat bayi ini. Cuma acara syukuran kecil sebagai pengganti acara akikah karena belum ada biaya. Sekali lagi, terima kasih sudah mau membantu," ucap Hamdiyah tulus. Mereka semua menganggukkan kepala, Rofikoh bahkan memeluk perempuan sepuh itu. Berharap dalam hati bahwa kesehatan Risma akan segera membaik dengan kehadiran cucu Hamdiy
Happy Reading*****"Yang, kamu?" kata Riswan melongo melihat adegan di depannya. Tanpa berkedip sama sekali. "Kenapa, Mas? Kok aneh gitu lihatnya? Dia nangis mungkin karena kehausan. Kasihan dari semalam belum aku kasih ASI," ucap Risma enteng. Seolah-olah bayi itu adalah anak mereka. Garis bibir Riswan terangkat, bukan bahagia, tetapi bingung harus menjawab apa. Bayi mungil yang sedang diberi ASI itu bukanlah anak mereka. Jika kelak lahir seorang bayi dari rahim Risma, mereka akan menjadi saudara sepersusuan. Padahal tak ada niat sama sekali hal ini akan terjadi. Ah, rasanya Riswan terlalu panjang memikirkan masa depan mereka, sedangkan dia saja belum tahu reaksi Bu Hamdiyah. Apakah perempuan sepuh itu akan menerima tindakan Risma atau malah sebaliknya? Dia akan menjauhkan cucunya dari sang istri."Mas, kok malah bengong. Katanya mau jalan-jalan. Kita ajak anak kita sekalian, setelah aku kasih ASI dia pasti tertidur karena kenyang. Jadi, gimana jalan-jalannya?""Hmm. Bentar, ya.
Happy Reading*****"Ibu apa kabar?" tanya Risma pada Hamdiyah. Perempuan sepuh itu mengusap air matanya. Entah mengapa, dia tak bisa membendung lelehan air itu ketika sapaan Risma menyapa rungu. Apalagi ketika melihat barang belanjaan yang dibawa sebuah kereta dorong bayi dan juga tempat tidur dipegang oleh Riswan. "Kabar Ibu baik, Mbak. Gimana keadaan Mbak Risma?" tanya balik Hamdiyah. Sepertinya memang Risma tak menginggat apa pun padahal semalam, Hamdiyah sudah menyapanya saat berpamitan pulang. Namun, memori itu seakan lenyap tak berbekas. "Baik. Ibu tahu nggak kalau saya sudah melahirkan. Bayiku cowok," jelasnya, "itu dia, si dedek yang digendong sama Ibu." Risma menunjuk bayi dalam gendongan Rini. Hamdiyah cuma bisa mengelus dada. Mengangguk walau mulutnya ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, wajah Risma yang penuh kebahagiaan mengurungkan semua niat perempuan sepuh itu. Memori Hamdiyah terlempar pada kejadian semalam saat wajah Risma tanpa ekspresi. Kosong, diam dan
Happy Reading*****Perkataan Hamdiyah terhenti. Risma berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Beberapa saat kemudian, Risma kembali membawa cucu perempuan sepuh itu dalam gendongannya. Tawa kecil perempuan itu perlihatkan, berbicara sendiri sambil menatap sang bayi. Sungguh, interaksi keduanya sudah seperti ibu dan anak."Sepertinya dia takut sendirian di kamar. Pas bangun tengok kanan kiri nggak ada orang, langsung nangis, deh. Ih, dedek bikin gemes aja." Risma menciumi bayi itu. Duduk di sebelah suaminya, lalu menatap pada Hamdiyah dan bertanha "Jadi, siapa nama yang Ibu sarankan untuk anak saya?""Ah, Mbak Risma masih inget saja." Hamdiyah mengibaskan tangannya di depan muka sendiri. Sedikit tawa kecil lolos. "Ya, ingetlah, Bu. Wong cuma beberapa menit yang lalu. Kalau bukan karena si kecil nangis mana mungkin percakapan kita tertunda. Jadi, siapa nama yang Ibu sarankan?" tanya ulang Risma. "Sudah nggak sabat pengen tahu."Hamdiyah memejamkan mata. Setelahnya mengembuskan napas pa
Happy Reading*****Setengah terkejut, Riswan melirik istrinya. Namun, kedua kelopak mata Risma masih terpejam dengan erat. Si lelaki mengelus dada. Ternyata perempuan itu cuma mengigau. "Kirain kamu beneran dengar omonganku tadi, Yang. Ternyata ngigau. Huh, sampai deg-degan."Lambat laun, Riswan pun ikut tertidur di sebelah Risma sambil memeluk pinggang yang semakin ramping saja. Malam ini, dia pasti akan tertidur pulas karena melihat kebahagiaan istrinya. Pagi menjelang, kediaman Riswan sudah dipenuhi kehebohan dengan tangisan Fattah. Baru sebentar ditinggal Risma untuk mandi, tangisnya sudah membahana. Candaan serta gendongan penuh kasih sayang dari para orang tua tak mampu menghentikannya. Riswan sendiri mulai panik, pasalnya sang istri belum juga keluar dari kamar mandi. Sekalipun dia sudah mengetuk pintu dan juga memanggil namanya. "Apa dia laper, ya?" tanya Rofikoh, "gimana kalau kita kasih pisang yang dikerok kayak jaman dulu itu?" "Hust!" kata Fadil memperingati. "Nggak
Happy Reading*****"Itu temen kita pas SMP dulu," jawab Zikri. Dia memutar keras otaknya agar Risma tak sampai curiga. Sementara Davian, menatap lelaki itu dengan aneh. Entah apa yang dipikirkan, tetapi setelah kepergian Risma nanti, Zikri akan menjelaskan semuanya. Sahabat Risma itu sudah diwanti-wanti agar tak menyinggung ataupun menceritakan hal sebenarnya oleh Riswan tadi. "Siapa, Zik? Kasihan banget anaknya meninggal," kata Risma. "Itu lho, si Nety. Inget nggak?""Nety yang mana, Zik?" Kali ini Davian makin tidak mengerti dengan perkataan sahabatnya. Makin dibuat bingung dengan nama yang Zikri sebutkan. "Kayaknya kamu lupa, Dav. Dia memang nggak sekelas sama kita, cuma kami sering makan bareng di kantin dulu. Iya kan, Ris?"Perempuan yang ditanya malah melongo. Pasalnya, Risma belum mampu mengingat nama Nety sebagai salah satu sahabatnya. "Au, ah. Aku nggak inget banget. Kali aja Intan tahu. Meninggal kenapa anaknya?"Dalam hati, Zikri merutuki kebohongannya. Apa yang harus
Happy Reading*****Lelaki dengan tinggi sekitar 170 cm, rambut ikal, kulit sawo matang, tengah mengambil sebuah jam tangan yang tergeletak di meja ruang tamu. Hamdiyah yakin, barang tersebut adalah milik Riswan. "Hey apa yang kamu lakukan?" tanya Hamdiyah sedikit membentak. Lelaki itu mendongakkan kepala dan tersenyum. Baru Hamdiyah sadari bahwa tamu itu adalah putra sulungnya. "Harun!" pekik Hamdiyah. Dia juga melototkan mata ketika melihat perbuatan putra sulungnya. "Kembalikan barang itu pada tempatnya!""Ibu kenapa, sih? Barang ini sudah nggak berguna bagi pemiliknya, maka ditaruh seenaknya saja. Dari pada gitu, kan, mending aku yang nyimpen. Lumayan kalau dijual bisa buat beli beras dan jajan anak-anak." Harun mencium arloji yang diperkirakan berharga fantastis itu. "Ibu nggak pernah ngajarin kamu mencuri. Kembalikan arloji itu sebelum Mas Riswan tahu." Hamdiyah berusaha merebut jam tangan yang berada di tangan putranya. Namun, karena tingginya yang tak seberapa dibanding pu
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw