Aku menilai pria yang lebih dulu sampai di tempat kami janjian bertemu. Dia selalu tampil sempurna, sangat pintar memadu padankan warna busananya. Wajahnya yang bersih, dengan kacamata berbingkai itu, membuat dia terlihat amat terpelajar dan berkelas."Maaf, saya terlambat," ucapku sambil menarik kursi di depan chef Budi. Dia tersenyum sekilas, menilai diriku dari atas sampai bawah. Aku bukan orang yang perfeksionis dalam berbusana, akan tetapi tetap mengedepankan kerapian, kalau berlomba dengan Chef Budi, tentu saja aku akan kalah. Pria itu, dari atas sampai ke bawah memakai pakaian bermerek, tentu saja sesuai dengan isi kantongnya, karena yang kutahu, gaji seorang chef cukup besar, apalagi jika bekerja di hotel bintang lima dan ditambah dengan punya usaha sendiri. Sedangkan aku hanya pegawai biasa yang bekerja di bagian keuangan dengan gaji di bawah sepuluh juta. Membeli baju kaos dengan harga satu juta, jelas saja buang-buang duit. Belum lagi rumah yang harus dicicil setiap bulan.
Mata tegas itu, menatap langit-langit kamar di atas kami. Bulu matanya bergerak, bulu mata lebat dan agak lentik itu, sungguh menarik perhatianku dan membuatku enggan untuk mengalihkan pandangan darinya. Ah, aku memang telah menyadari, bahwa Adit punya ketampanan yang tak diragukan. Dia pria matang yang amat mempesona, bahkan tanpa berniat banyak, dia mampu menarik perhatianku.Adit menjadikan lengannya sebagai bantal. Lengan berotot tapi tak berlebihan, lengan yang menjanjikan kekuatan untuk bersandar. Juga, seakan memanggilku untuk meringkuk memeluknya, aku tahu betul, betapa hangat dan nyamannya dekapan Adit, menghirup aroma maskulin dari tubuhnya sambil memejamkan mata pasti amat menyenangkan. Ah, sayangnya, tak ada keberanian sebesar itu padaku. Aku hanya bisa berkhayal dan membayangkan saja, tanpa berani bergerak lebih dulu. Aku tipe pasif, yang hanya bersifat menunggu. Menunggu keberuntungan, mana tahu dia berinisiatif memelukku lebih dulu. Ah, hayalanku."Dia pria yang tampan
Aku memandang punggung Adit yang menjauh. Pria yang semalam telah merayuku hingga kami hampir melakukan ritual suami istri itu, berangkat bekerja pagi-pagi sekali.Aku ingat, kami hampir saja melakukannya. Sayangnya, kenangan buruk menyadarkanku, aku menolaknya dengan keras, sehingga Adit cuma bisa pasrah menahan semua gejolak birahinya yang telah memuncak. Tidak, bukan aku tak mencintainya, akan tetapi bagiku, cinta tak harus melakukan hubungan suami istri, bukan? Jika Adit mencintaiku, pasti dia takkan memaksakan kehendaknya padaku. Seperti kata Pujangga November, cinta itu untuk memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Hubungan badan hanya akan membuatku semakin mengingat kenangan buruk dan seharusnya Adit tak perlu meminta itu.Tunggu! Cinta, tak pernah Adit mengatakan padaku bagaimana perasaannya. Sangat dangkal pikiranku, mengartikan semua perlakuan manisnya sebagai cinta. Adit perhatian, benar. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan cinta atau perasaannya padaku. Aku tersenyu
"Apa ini?" tanyaku mengangkat benda yang baru saja kutemukan. Entah dorongan dari mana, aku membuka laci meletakkan jam tanganku, malah menemukan benda tak biasa di sana. Wajah Yumi pucat pasi, dia mendekat dan berusaha merebut benda itu dari tanganku. Semakin dia ingin merebut, semakin tinggi rasa penasaranku. Sejujurnya benda itu belum kubuka untuk mengetahui apa isinya. Namun, wajah pucat Yumi seakan mengatakan sesuatu. Yumi terlihat cemas dan panik. Gelagatnya semakin membuatku penasaran."Berikan itu padaku, Adit!" serunya marah. Dia terlihat emosi karena aku terus saja mengelak sehingga benda itu tak berhasil didapatkannya. Setiap Yumi berjinjit, aku menghindar dan mengangkat benda itu lebih tinggi."Aku ingin tahu apa isinya." "Berikan benda itu padaku!" Dia membentak."Kenapa kau begitu takut? Apa ini amat berbahaya jika aku mengetahui isinya?" Kulihat amplop berbunga itu. Darahku langsung mendidih saat siapa pengirimnya. Ya Tuhan, inikah yang membuat Yumi panik? Selingkuha
Aku mengutuk diriku sendiri, yang tak mampu mencegah gerakan tangan Adit yang tengah mengemasi pakaiannya. Ingin rasanya berteriak untuk mencegahnya, namun suara seakan tersangkut di tenggorokan. Tidak, Adit tidak boleh pergi. Hatiku menjerit, namun mulut sialan ini malah tak mampu kugerakkan. Kami baru saja memiliki kemajuan, jika dia pergi, akan jadi apa diriku tanpa dia."Jaga dirimu!"Jantungku seakan terlepas dari rongga dada. Ucapan terakhir yang berhasil membuat duniaku runtuh seketika. Aku bahkan tak memiliki kekuatan mengejarnya dan menghalangi semua langkahnya. Tidak, bukan begini seharusnya. Kami hidup di masa sekarang, Adit tak perlu tahu perihal masa lalu, aku hanya tak ingin Adit mengetahui masa laluku terlalu banyak.Baru, setelah deru mobilnya terdengar, kurasakan tubuhku lunglai, merasa tak memiliki tulang. Aku memang pengecut dan bodoh, menyia-nyiakan beberapa detik kesempatan untuk mencegahnya.Tubuhku merosot ke lantai. Sedetik, dua detik ... Hanya sepi dan senyap.
Sebenarnya, aku mendengar suara percakapan di lantai bawah, yang awalnya didahului dengan suara deru mobil. Akan tetapi, sama sekali kutak tertarik untuk melihat tamu itu. Setelah aksi penamparan yang dilakukan Yumi, aku tak ingin berjumpa dengan semua orang. Suasana hatiku amat buruk.Aku merasa kegerahan, beberapa saat setelah minum obat demam. Walaupun malam terasa dingin, tak menyurutkan niatku untuk mandi. Bagaimanapun, tidur dalam keadaan berkeringat sangat tidak nyaman.Alangkah terkejutnya aku, saat melihat siapa yang tengah berdiri terpaku di depan sana. Wanita yang menatap dengan tatapan yang sulit kupahami. Dia bahkan kesusahan menelan air ludahnya sendiri. Kueratkan simpul handuk, saat kutangkap matanya mengarah ke sana. Oh, Yumi. Hatiku tak sedang dalam suasana ingin bermesraan.Sadar dengan situasi asing di antara kami. Aku mengendurkan wajah yang tegang. Masih terasa sakit di hati, saat mengingat bagaimana Yumi melayangkan tamparan padaku, hanya demi merebut sebuah sura
POV YumiAku mematut diriku di depan cermin yang berada di kamar mandi Adit. Tak percaya sekaligus geli dengan apa yang kulihat saat ini. Seumur hidup, tak pernah kurasakan situasi memalukan begini. Datang bulan yang tiba-tiba, tembus ke rok bahkan mengenai seprai Adit. Untung saja, kutemukan seprai bersih di lemari dua pintu miliknya. Saat Adit pergi, buru-buru kuganti dan meletakkan benda kotor itu ke dalam ember.Kupatut diriku sekali lagi. Benda pribadi milik laki-laki, bewarna hitam dengan karet pinggang abu-abu yang bermerek 'Calvin Klein' itu, sudah melekat sempurna. Tentu saja dengan kondisi aneh menggembung di depannya dan hanya berisi udara.Bayangkan, pembalut wanita yang direkatkan ke celana dalam laki-laki. Jelas saja desainnya tak mendukung.Sebagai seorang istri yang sudah lebih dari setahun mendampinginya, aku terbiasa mencuci, menjemur atau menyetrika pakaian dalamnya. Akan tetapi, tak pernah membayangkan akan memakainya. Ya ampun.Kuambil celana pendek yang dipinjamk
POV Adit Satu gelas kopi, dua gelas teh, serta tiga piring nasi goreng sudah tersedia di atas meja makan. Ibu dan Yumi sepaket untuk urusan dapur. Salah satu alasan Ibuku sangat menyukainya karena dia handal dalam pekerjaan rumah tangga, apa lagi memasak."Ayo, kita sarapan!" Ibu mengambil tiga sendok dan meletakannya di masing-masing piring.Kuamati wajah Yumi yang agak sembab, namun dia berusaha tampak baik-baik saja di depan ibu."Ibu mengira, akan mendapatkan kabar gembira dari kalian." Ibu menatapku dan Yumi bergantian. Aku mengerti, kabar gembira apa yang dimaksud ibu, apa lagi kalau bukan kehamilan Yumi."Belum boleh hamil, Bu. Tunggu empat bulan dulu. Kata dokter, rahim yang selesai dikuret, jangan diisi dulu sampai empat bulan." Aku berkata apa adanya. Melirik Yumi sepintas yang menunduk dalam."Dokter bilang begitu, ya?" "Iya, supaya rahim bersih dan normal kembali.""Oh, ya sudah. Yang jelas, kamu harus cukupi kebutuhan istrimu, persiapan kehamilan itu perlu, apalagi pas
Rujuk, dengan cara nikah kembali karena Yumi telah melewati masa Iddah. Rasanya seperti penganten baru lagi, sayangnya Yumi masih sama, tak menampakkan ekspresi berlebihan. Dia terlihat lebih tenang, dibanding aku yang gelisah.Para tetangga dan keluarga sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal aku dan Yumi yang sibuk membereskan sisa makan malam yang dihadiri oleh beberapa orang itu. Makan malam sekaligus doa selamatan atas rujuknya kami.Setelah pekerjaan selesai, Yumi duduk di sofa di sampingku, bersandar ke sisi sofa. Keringat mengalir di lehernya, sedangkan tanganku gatal ingin mengusapnya. Tanpa bisa kutahan, jemariku mendarat di sana, sementara Yumi terkesiap dan menjauh, pipinya merona."Maaf, aku hanya mengusap keringatmu," kataku, kurasakan tenggorokanku kering. Adegan ini, serasa menegangkan bagi kami.Yumi buru-buru mengambil tisu di depannya, lalu mengusap leher jenjangnya. Semua itu tak lepas dari pengamatanku. Wanita ini sungguh cantik."Melelahkan juga."Y
POV AditAku berulangkali ke kamar mandi menyelesaikan segala hajat yang menganggu itu. Perutku sangat mulas, sudah dari dua jam yang lalu, bolak-balik ke kamar mandi."Apa yang aku makan?"Aku bergumam sendiri, mengingat apa saja yang telah masuk ke dalam perutku.Ya, nasi bakar acar. Aku sempat memakannya. Apakah karena irisan cabe rawit dan nenas muda itu?"Sial!"Aku kembali kabur ke toilet. Beberapa menit lalu keluar lagi. Rasanya sangat menyebalkan.Aku butuh teh pahit, teh yang amat pekat untuk meredakan semua gangguan perutku. Hanya Yumi yang bisa membuatnya, karena dia sendiri yang menunjukkan resep obat itu padaku.Mencoba mengabaikan rasa mulas yang kembali mendera, kubuka pintu hotel. Mengetuk pintu kamar Yumi. Tak lama setelah itu, Yumi muncul. Rambut pendeknya diikat satu, sebagian lepas dari ikatannya dan membingkai cantik wajahnya."Yumi ... Toilet ...."Aku menorobos masuk ke dalam kamar Yumi, membuka pintu yang kuyakin adalah toilet. Setelah semua isi perut itu kelu
POV Adit Katakan saja aku tolol. Ketidak berdayaan Yumi menolak tawaranku begitu membuat hatiku bahagia. Wanita yang muncul dengan dress biru muda di bawah lutut itu, tengah berjalan menuju mobilku, setelah kulihat dia pamit pada Ibunya.Dia cantik, amat cantik, walaupun langkahnya belum cepat, kakinya sudah hampir sempurna. Dia semakin mempesona dengan sikapnya yang terlihat percaya diri.Kubuka pintu mobil untuknya, bahkan semasa kami menikah, sama sekali tak pernah kulakukan itu. Kami terbiasa mengurus diri masing-masing tanpa melibatkan pasangan. Lagi pula, Yumi bikan tipe wanita manja yang butuh bantuan. Dia bisa segalanya, dan jarang meminta tolong."Maaf, aku agak terlambat," katanya mencari posisi duduk yang pas. Sama sekali tak menatapku, khas Yumi yang cuek. Kuhirup aroma wangi lembut yang memenuhi Indra penciumanku. Wangi yang sama, yang kuhapal selama dua tahun terakhir."Mungkin aku yang datang terlalu cepat."Aku berusaha menyenangkan hatinya, seolah-olah ini adalah kes
POV YumiBulan ke tiga, semua terasa begitu menakjubkan. Kakiku sudah bisa dipijakkan pasca pembukaan pen satu bulan yang lalu. Walaupun belum bisa digunakan secara utuh, namun dia sudah mulai tampak normal layaknya sebelum kecelakaan itu terjadi. Banyak hal yang kusyukuri, setelah sempat putus asa dan ingin mati, lalu diberi kesempatan mati, malah aku berpikir ingin hidup. Tuhan akhirnya memberi kesempatan untuk hidup, bahkan untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala.Selama di sini, banyak hal yang kupelajari. Aku belajar dari apa yang kulihat, yang kudengar dan yang kurasakan.Aku lebih mencintai diri sendiri dari pada sebelumnya. Seperti kata Mamak, aku harus mengizinkan diriku untuk bahagia."Selamat sore, Yumi."Aku menoleh, Dokter Frans, yang selama ini menanganiku di rumah sakit, datang ke apartemen yang kami sewa. Begitu mendadak, bahkan tanpa memberi kabar terlebih dulu.Kata Ibu, kami berasal dari kampung yang sama. Ibunya Frans dan Ibuku adalah teman saat SMA dulu. Fran
POV Adit "Bagaimana keadaannya?" tanya Mutia padaku, kami tengah makan siang bersama di kantin kantor. Mutia tahu persis masalahku dengan Yumi. Dia juga selalu memberiku semangat dan nasehat."Dia baik, sudah kembali ke rumah. Aku yang menemani orang tuanya menjemputnya ke sana. Walaupun sempat terjadi drama dan perdebatan, akhirnya Yumi menurut juga.""Kau sendiri?""Maksudmu?""Ya, kau sendiri bagaimana? Apa kau baik? Bukankah bertemu dengan Yumi adalah impianmu, sekarang dia sudah ditemukan. Lalu apa langkah selanjutnya?"Aku terpaku, apa langkah selanjutnya, aku pun tak tahu. Aku senang Yumi kembali, tapi aku tak bisa memastikan perasaanku padanya, setelah kulihat dia berubah ... Secara fisik."Masih mau rujuk?"Mutia tetap saja menyodorkan pertanyaan padaku, aku malah kehilangan selera makan."Artinya kau tak serius mencintainya." Mutia meletakkan sendoknya. Nasi yang dimakannya sudah tandas dalam waktu cepat. Aku tahu, Mutia memang belum menikah, tapi dia memiliki pemikiran yan
POV Yumi"Makanlah!" Aku mengangguk. Ya, sehari berselang, Adit membawa ke dua orangtuaku ke tempat Mamak. Tak berdaya, aku terpaksa ikut dengan kedua orang tuaku, saat melihat Ibu pingsan ketika aku menolak keras. Jangan lupakan, ayah yang menatapku dengan penuh permohonan.Akhirnya, Mamak dan Pak Mukhsin, membujukku untuk lebih mematuhi orangtua. Aku tak berdaya, bahkan untuk melarikan diri dan menjauh dari semua orang.Di sinilah aku sekarang, di rumah yang selalu sepi. Entah kapan canda tawa terdengar di sini, aku tidak ingat. Banyak hal yang tidak kuingat. Ya, atau mungkin aku terlalu sibuk dengan diriku yang berlubang sengsara."Jangan terus menatapku, Bu. Aku merasa rendah diri, karena tak lagi memiliki wajah cantik." Aku menatap mangkuk yang berisi bubur jagung. Makanan kesukaanku, yang tak kuingat, kapan terakhir kali dia membuatkan untukku. Kenapa dengan keadaan begini, Ibu malah bersikap perhatian."Kenapa? Kau anakku, apa pun keadaanmu, kau tetap anakku. Menemukanmu dalam
POV Adit Wanita itu enggan melihatku. Tongkatnya telah disandarkan ke dinding, sedangkan dia duduk dengan posisi satu kaki ditekuk. Aku kembali melihat salah satu kakinya yang cacat. Kaki jenjang dulu, tak ada lagi.Yumi menariknya, seakan ingin menyembunyikannya dari pandanganku. Entah mengapa, aku belum terbiasa dengan wajah Yumi yang baru. Ada perasaan asing menelusup di hatiku, setiap menatap wajahnya. Dia bukan Yumi yang dulu. Dia tak lagi ... Cantik.Aku berusaha mengenyahkan perasaan tak nyaman itu. Tapi, tetap saja tak bisa kuhindari.Kami hampir dua tahun hidup bersama. Berbagi banyak hal. Namun, saat ini kami seperti kehabisan kata-kata. Aku sendiri merasakan amat canggung di depan Yumi."Ayo pulang!" Entah ajakan keberapa, yang jelas sejak beberapa menit yang lalu, Yumi masih berkelit dan menolak."Aku tidak mau."Aku menghela napas kasar. Dari dulu, Yumi memang keras kepala."Apa kau tak pernah berpikir dari sisi orang lain, Yumi? Bagaimana perasaan orang lain padamu?"
POV Adit Apakah ini termasuk tidak sopan? Ketika sang penghuni rumah pergi, aku malah berkeliaran di rumah mereka, naik ke lantai dua tanpa izin terlebih dulu. Ini bukan diriku, aku orang yang beretika dan penuh sopan santun, akan tetapi kali ini aku ingin melanggarnya. Melawan akal sehat karena hatiku sangat penasaran, siapa yang dipanggil dengan nama yang sama dengan nama mantan istriku itu.Hanya aku yang tinggal di sini. Semuanya mungkin tengah asik berpesta memanen buah durian, apalagi Mutia yang sangat menyukai buah itu. Wanita itu, jika sudah dihadapkan dengan makanan, maka akan lupa segala-galanya.Berhasil, kakiku menjejak ke lantai papan di lantai dua itu. Hanya ruangan sederhana yang memiliki satu kamar, dengan pintu kamar tertutup rapat. Ada jendela kecil yang menghadap ke matahari sore. Angin sore bertiup ke dalam, menghadirkan sensasi menyenangkan.Dinding rumah ini sama-sama terbuat dari papan, cukup bersih dan rapi. Ada kasur tipis dan bantal kecil di atas lantai, ser
POV Adit "Turun dulu! Mobil musti didorong," kataku pada empat orang penumpang yang berada di mobilku. Pantas saja menejer bersikeras menyuruhku mengantar mereka, setelah melewati jalan tol, kami bertemu dengan jalan aspal kasar yang memiliki panjang kira-kira tiga kilo. Setelah itu, jalan tanah yang cukup lebar, bisa dilalui kendaraan roda empat, tapi banyak lubang."Turun? Yaaaah, masa kami dandan cantik-cantik musti turun?"protes Jesika, anggota marketing yang hanya kukenal sekilas. Aku tak suka dengan wanita centil."Mobil masuk lubang.""Yusman, ayo dorong! Kamu kan laki," kata Jesika."Masa aku dorong sendiri?""Masa kami para cewek yang bantu dorong?" Jesika tak mau kalah.Aku gerah dengan perdebatan itu. Sedangkan, Mutia dan Yusuf telah pergi dengan motor lebih dulu. Kupastikan mereka pasti sudah sampai. Motor besar Yusuf sangat cocok untuk Medan seperti ini.Alangkah bahagianya Mutia. Senyumnya sangat lebar saat ditawari Yusuf. Sedangkan aku hanya geleng-geleng kepala."Jes,