Raditya Pambudi menghentikan ucapannya, membuat seluruh peserta rapat menjadi tegang dengan ekpresi gugup. Yang paling terlihat kegugupannya adalah Dody Setiawan dan Nagita. Keduanya adalah seorang manajer juga dalam perusahaan itu. “Saya minta maaf kepada Saudara Dody Setiawan, karena posisi Anda akan digantikan oleh beliau, Bu Ningrum.” Kalimat Raditya Pambudi itu membuat semua wajah terangkat lalu hening sesaat sebelum tepuk tangan pecah. “Saya terima, dan saya maklumi, mengapa saya diganti,” tiba-tiba Dody Setiawan berdiri. “Ini tentu berkenaan dengan urusan pribadi antara saya dengan Anda.” “Raditya Pambudi hanya tersenyum dan menjawab, “Anda salah besar, Pak Dody. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan di luar perusahaan, tetapi menyangkut keberlanjutan perusahaan saya ini.” “Apa maksud Anda?” “Banyak maaf, Pak Dody, biarkan pihak kepolisian nantinya yang akan menjelaskannya. Security, buka pintunya.” Semua wajah langsung m
Apa yang dikatakan oleh Radit akhirnya terbukti beberapa hari kemudian. Pihak penyidik melakukan penyitaan terhadap rumah yang dibelikan oleh Dody Setiawan. Pada hari itu juga Nagita diminta untuk mengosongkan rumah. Tak ada yang mampu dilakukan oleh Nagita selain pasrah. Ia hanya mengambil barang-barang yang sangat diperlukannya dari dalam rumah itu. Saat itu ia merasakan bahwa dirinya tak ubahnya hanyalah seonggok sampah yang telah disingkirkan, dan ia tak tahu lagi apa yang bisa ia perbuat selanjutnya. Umpama ia besok atau lusa memasukkan lamaran ke sebuah perusahaan, bisa jadi Mas Radit mengirimkan ‘balck list’ tentangnya ke perusahaan-peruasaan yang tersebar di Jabodetabek. Bukankah ia adalah putra mahkota dari sebuah konglomerasi yang cukup besar? “Ya Tuhan, aku benar-benar terkena prank rumah tangga laki-laki itu. Andaikata aku bisa sedikit bersabar dan menghormatinya sebagai suamiku, tentu akan menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini. Ukh, betapa bod
Nagita langsung menaikkan kaca mobilnya. “Tidak, aku tidak boleh menyalahkan siapa pun! Ini murni kesalahanku sendiri!” ucapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun terisak. Ada perasaan menyesal yang mulai merasuk ke dalam ruang batinnya. Hanya saja, saat itu bukan waktunya untuk dia lebih larut dalam sebuah penyesalan. Yang dibutuhkannya saat ini adalah uang untuk mengontrak rumah atau sebuah apartemen sederhana. Itu saja. Maka satu-satunya miliknya yang berharga yang bisa dia jual adalah mobil yang sedang dikendarainya. “Ya terpaksa, mobil ini harus kujual,” desahnya sembari mengusap air matanya. “Mungkin sebagian dari harganya aku bisa membeli sebuah mobil second yang murah,” batinnya pula. Dua jam kemudian, ia terlihat keluar dari sebuah showroom mobil second hand. Tujuan Nagita selanjutnya adalah kembali ke apartemen yang tadi pernah didatanginya dengan naik taksi. Sembari menunggu taksi di pinggir trotoar ia menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya.
Nagita melangkah di halaman bekas rumahnya dengan hati-hati. Rumah itu terlihat sepi dan pintunya pun tertutup. Sebuah mobil BMW terparkir di halamannya. Berarti si pemilik baru rumah itu ada di dalam. Tiba-tiba pintu rumah terbuka bersamaan dengan munculnya seorang wanita yang berusia mungkin empat puluhan tahun dan langsung menatap ke arah Nagita dengan tatapan agak curiga. Mungkin pemilik baru rumah itu. “Maaf, Anda siapa dan mau bertemu siapa?” tanya wanita itu. “Sa-saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini, ada?” sahut Nagita. Wanita itu tak menjawab tetapi membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam. Sesaat kemudian muncul wanita lain yang lebih muda dan tampak berkelas. “Maaf, Jeng siapa?” “Oh, Jeng pemilik baru rumah ini?” Nagita balik bertanya. “Ya, benar, kenapa?” “Oh iya, perkenalkan, nama saya Nagita, bekas pemilik rumah ini,” sahut Nagita. “Oh iya, terus gimana?” “Begini, Jeng. Cincin nikah saya tiba-tiba menghila
Untungnya, tak jauh dari komplek itu ada sebuah rumah sakit swasta yang cukup ternama. Noni langsung ditangani di ruang ICU. “Tolong Bapak tunggu saja di luar sini, putri bapak akan kami tangani dulu,” ucap Pak Dokter yang menangani Noni ketika Radit hendak ikut masuk ke dalam ruang ICU. Radit duduk di bangku panjang di depan ruang rawat itu. Suara tangisnya harusnya keluar, namun hanya air matanya saja yang tak mampu ia tahan. Ia hanya berharap, sang buah hatinya akan baik-baik saja. “Kamu harus menghubungi Nagita, Nak Radit,” ucap Bu Ratri sembari mengambil tempat duduk di samping Radit. “Karena bagaimana pun, Nagita tetaplah ibunya Noni, dan Noni tentu saja sangat butuh kehadiran mamanya. Beberapa hari ini, ia selalu bertanya tentang mamanya. Bahkan ia suka menangis sambil memanggil-manggil mamanya.” “Nomornya tak lagi aktif, Bu. Mungkin ia telah mengganti nomornya,” jawab Radit pelan, tanpa melihat pada Bu Ratri. “Harusnya kamu tahu, Dit, karena k
Suara itu membuat Radit sontak mengangkat wajahnya. Sekilas ia menoleh dan melihat Nagita yang terisak dengan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca. “Iya,” jawab Radit singkat. Nagita dengan ekspresi merasa sangat bersalah mengambil tempat duduk di samping Radit. “Maafkan aku, Mas. Jika ini hukuman bagi aku, aku rela melakukan apa pun demi kesembuhan Noni.” Radit tertawa pendek. “Jangan khawatir. Aku sebagai papanya akan mengobati Noni hingga sembuh. Bila perlu, aku akan membawanya berobat ke rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu.” “Bagaimana kata dokter yang menanganinya, Mas?” “Normatif. Saat ini leukemia yang diderita Noni sudah hampir stadium dua.” “Ya Allah,” desah Nagita lalu kembali terisak. “Noni ... maafkan Mama ....” Radit menghela nafas panjang dan menghembuskannya, “Kasihan, Noni,” gumamnya, “dia sangat kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Orang tuanya lebih memilih untuk melakukan kesibukan palsunya
Pada hari kedua Noni tiba-tiba mengalami kondisi drop dan tak sadarkan diri. Suasana menjadi panik. Bukan saja kedua orang tuanya yang tak panik, bahkan Pak Abdul Karim Pambudi yang kebetulan sedang ada di rumah sakit menunjukkan ekspresi takut kehilangan yang luar biasa. “Tolong Pak Dokter, lakukan penanganan yang intensif terhadap cucu saya? Itu cucu saya satu-satunya, tolong Pak Dokter, berapa pun biayanya, tak masalah bagi saya,” ucap Pak Abdul Karim dengan wajah nyaris menangis. “Insha Allah, Pak. Kami akan memberikan perawatan terbaik pada pasien,” sahut Dokter Ediman. “Yang dibutuhkan oleh pasien saat ini adalah transfusi sel darah merah. Kadar sel darah merah pada pasien sangat rendah. Apakah di antara keluarganya yang memiliki golongan darah B positif?” “Ya Allah, golongan darah saya AB,” ucap Radit, sama dengan golongan darah papanya. “Saya yang golongan darahnya B positif, Dok,” ucap Nagita. “Baik, Ibu harus dicek dulu. Silakan, Bu, i
“Iya, Mas. Saya telah menarik kembali, itu seminggu yang lalu,” ucap Nagita dengan suara pelan seolah-olah kepada jari jemari tangan yang sedang dimaininya. “Alasannya?” “Tak tahu, Mas. Tapi yang jelas bukan karena aku berharap rumah tangga kita utuh kembali, sebab aku tahu, itu tak mungkin.” “Ya terserah kamulah,” ucap Radit tanpa ekpresi. “Urusan rumah tanggaku, telah aku pasrahkan dan kembalikan sepenuhnya kepada Allah. Karena dulu saat ijab qobul pun disaksikan oleh Allah dan para malaikatnya.” Nagita tak menyahuti. Ia membuang wajahnya ke kaca jendela mobil di sampingnya. Bulir-bulir air matanya ia biarkan saja untuk mengalir melewati kedua pipinya. Kamar kosong di rumah masih ada beberapa, baik di lantai bawah maupun di lantai atas. Radit mempersilakan Nagita untuk memilih sendiri di antara kamar-kamar tersebut untuk ia tempati. “Boleh nggak Mas saya satu kamar dengan Noni saja?” “Ya dibicarakan sama Ibu, karena selama ini Ibu ya
Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d
Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg
Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca
Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c
Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s
Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit
“Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu
Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit
“Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak