Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya.
Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu.
Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera makanya pun padam seketika. Ia melemparkan begitu saja garpu dan pisau yang dipegangnya di atas piring kepiting di hadapannya.
Ningrum dibuat kaget dan spontan menatap wajah Radit. Dan spontan pula ia mengikuti arah pandangan matanya Radit. Ia melihat si pria meraih kedua tangan si wanita dan memain-mainkan jari jemarinya.
“Siapa mereka, Pak Radit ...?”
Raditya bukannya menjawab tetapi langsung berdiri dan melangkah ke arah kasir, untuk membayar makanan. Kemudian kembali lagi sambil berkata, “Ayo kita keluar dari restoran ini. Keluar lewat pintu kanan itu saja.”
Ningrum yang masih diliputi keheranan cepat-cepat mengahiri makannya dengan menyedot pipet oranye juice-nya.
“Maafkan saya atak ketidaknyamanan ini, Bu Ningrum,” ucap Radit ketika keduanya telah berada dalam kendaraan.
“Iya, tak apa-apa, Pak Radit,” sahut Ningrum. “Hanya saya saya masih merasa heran, mengapa Pak Radit tiba-tiba seperti menahan emosi saat melihat pasangan pria dan wanita tadi. Siapa mereka?”
“Dia Nagita, istri saya,” jawab Radit santai sembari memutar kunci kontak.
Namun jawaban itu tak urung membuat Ningrum terperangah. “Jadi barusan ... istrinya Pak Radit? Lalu yang laki-laki siapa?”
“Entah, Bu.”
Tak ada lagi yang bersuara. Ningrum pun tak berani mengeluarkan komentar apa-apa selain menyandarkan kepadalnya pada sandaran sofa mobilnya lalu memejamkan matanya. Hanya saja, ia bisa merasakan bagaimana perasaan laki-laki di sampingnya saat itu. Di sisi lain, rasa kagumnya pun tumbuh atas kematangan mental bawahannya sehingga mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal apa pun dan lebih memilih untuk menghindarinya.
Radit tiba-tiba ingat, bahwa pria yang bersama Nagita di restoran itu adalah laki-laki yang pernah ia lihat di gerai perhiasan di sebuah mega mall di kawasan Senayan tempo hari.
“Jangan-jangan kalung berliontinkan safir biru itu buat nagita ...? Oh tidak! Jika laki-laki benar kalung mewah itu buat Nagita, maka Nagita benar-benar telah bermain api di belakang aku!” geramnya.
Dari kantor Raditya langsung pulang ke rumahnya. Ia sudah merasa hilang mood untuk menerima order dari calon penumpang ojengnya. Bahkan ia off-kan aplikasinya.
Sesampai di rumah, tanpa banyak bicara ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Dengan masih menyimpan kecurigaan yang tinggi, ia langsung membuka laci-laci meja rias milik Nagita. Ia tak menemukan apa yang dicarinya di situ.
Selanjutnya ia mengangkat kasur siapa tahu di disimpan di situ, tapi juga tak ada. Saat ia menoleh ke lemarinya sang istri, kecurigaannya ada di situ. Lemari itu tertutup dan terkunci, namun anak kuncinya masih terpasang. Mungkin Nagita lupa mencabut dan membawanya seperti biasanya.
Lemari besar yang terbuat dari kayu jati itu dibuka lalu mengangkat satu per satu lipatan pakaian pada tiap-tiap tingkatnya. Tak ada. Namun saat ia menyingkirkan bagian bawah pakaian di gantung di bagian sebelahnya, Radit melihat sebuah kotak perhiasan. Kotak itu dikeluarkannya dan di buka. Ada banyak perhiasan Nagita di situ, dan sudah pernah ia lihat. Di situ juga ada sebuah wadah merah berbentuk hati . Ia mengambilnya dan membukanya.
Ketika melihat isinya, mata Radit langsung terbelalak. Ia pun geram, terlebih saat dilihat surat pembelian barang mewah itu, tanggal pembelian, serta tempat membelinya.
“Keparat! Dia benar-benar telah bermain api di belakang aku!” teriaknya. Dan ...
Bugghk ....!!
Satu pukulan keras ia hantamkan pada tembok rumah. Sesaat kemudian ia mendengar ibu mertuanya, Bu Ratri, mengetuk pintu kamarnya sembari memanggil namanya berkali-kali.
Radit memutar anak kunci dan membuka pintu kamar. Ibu mertuanya langsung bertanya, “Ada apa, Dit? Kamu lagi marah-marah, ya?”
“Nagita telah menghianati aku, Bu!” ucap Radit tanpa melihat wajah ibu mertuanya. “Di luar dia bermain gila dengan laki-laki lain.”
“Apa ...??” Kedua mata Bu Ratri membuklat sempurna. “Kamu jangan asal menuduh, Dit, tak baik! Menuduh istri berbuat curang itu dosanya sangat besar!”
“Aku tidak menuduh, Bu, tapi melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri! Tadi di restoran pas aku makan siang, dia datang ke tempat itu bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu melap wajah Nagita dengan tisu dan mereka saling berpegangan tangan! Apakah itu perbuatan yang wajar bagi seorang wanita yang sudah bersuami, Bu!”
Baru kali ini Bu Ratri melihat Radit emosi seperti itu. Selama ini sang menantu itu selalu tenang dan sabar menghadapi sikap Nagita yang terkadang memang suka semena-mena terhadapnya. Ia tentu tidak bisa menafikan sifat baik sang menantu itu. Jika ia sampai emosi begitu, berarti kebenarannya tidak boleh ia abaikan. “Mungkin ada hal penting yang sedang mereka lakukan saat itu, Dit. Jadi, apa kenyataannya tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan. Terlebih kita sedang berada di sebuah restoran seperti yang kaubilang. Apakah itu masuk kategori berselingkuh atau semacamnya itu?” “Aku ini laki-laki dan seorang suami, Bu, tentu bisa membedakan mana perilaku wajar dan tak wajar istrinya! Nih, Ibu lihat ini. Beberapa hari yang lalu kalung ini saya ingin membelinya buat Nagita. Tapi pada saat yang sama, laki-laki yang saya lihat bersama Nagita tadi lebih dahulu meminta kalung ini pada penjaga gerainya. Tanggal dan tempat pembelian pun persis sama.” Bu Ratri mengambil
Melihat buah hatinya terlihat ketakutan seperti itu, Radit segera memeluk dan mencium Noni berkali-kali. Ia memejamkan kedua matanya dan mengucapkan istighfar berkali-kali. Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melepaskan pelukannya dan berdiri. Selanjutnya tanpa meninggalakan kalimat apa-apa, ia langsung keluar dari kamar dan pergi dari rumah dengan sepeda motornya. Di sebuah taman publik di daerah Menteng ia duduk merenung seorang diri. Saat itu a merasakan sakit yang sangat menghujam ulu hatinya. Kata-kata Nagita baginta laksana sebilah meteor yang menyayat malam. Tajam dan menikam. Berkali-kali pula ia menyeka kedua sudut matanya dengan sisi ujung telunjuknya. Ia tak nyaris tak mampu membedakan, saat itu air matanya keluar akibat apa? Akibat sakit ataukah karena sebuah penyesalan? Oh, tidak. Ia sama sekali tidak merasa menyesal dengan pilihannya. Mungkin hanya karena sakit dan kecewa saja. Radit teringat wajah Papanya, dan tiba-tiba ia sangat merindukannya. I
Selama seminggu Radit tak pulang ke rumah dan lebih menginap di hotel. Hatinya begitu sakit dan kecewaan. Andaikata ibu mertuanya tak mengirimkan pesan WA yang memberitahu bahwa Noni sakit, mungkin ia tak akan kembali dalam wkatu dekat. “Ya Tuhan, pesan itu terkirim sejak semalam!” desahnya panik saat membaca pesan itu. Memang, sejak ia memutuskan tak pulang ke rumah, ia tak mengaktifkan nomor yang biasa dipakai, tetapi menggunakan nomor perdana. Benar juga, suhu tubuh sang buah hatinya begitu tinggi. “Sejak kapan ia sakit, Bu?” tanyanya pada Bu Ratri sembari membelai rambut Noni yang saat itu sedang tertidur, ketika ia telah sampai di rumah. Ia melihat sang buah hati tertidur pulas dengan wajah yang memang sangat pucat. “Sejak semalam. Dia selalu memanggil-manggil namamu. Ibu menelepon kau tapi nomormu tak pernah aktif beberapa hari.” “Oh iya, Bu, maaf, memang aku sengaja tak aktifkan nomor itu. Trus kenapa Mamanya nggak membawa Noni ke rumah sakit?”
Keesokan harinya Noni sudah terlihat sehat dan ceriah kembali, sehingga pada sore hari pihak rumah sakit sudah memperbolehkan pasien untuk chek-out. Saat melihat Nagita sudah ada di rumah, Radit tidak merasa kaget lagi. Ia berusaha untuk tak mengajaknya bicara apa pun. Ia tak ingin dari pembicaraan itu akan berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Sekarang ia lebih mengutamakan perasaan Noni daripada perasaan siapa pun, terutama perasaan Nagita. Buat apa ia memikirkan perasaan wanita yang berstatus sebagai istrinya itu sementara perasaannya sama sekali tak dianggap oleh wanita itu. Dan malam itu ia hanya ingin segera istirahat dengan memeluk tubuh mungis sang buah hatinya, Noni, di kamarnya Noni. Pagi hari, di meja makan, ketika Noni sudah ke sekolah bersama Bik Ipah, Nagita berusaha mengajaknya bicara. “Maaf, kemarin aku pulang lebih awal karena memikirkan kondisinya Noni.” Radit hanya menatap wajah ibu dari putrinya itu sesaat dan menjawab singkat, “Iya.”
Radit tak ambil peduli dengan keterperangahan Nagita. Ia mencium tangan ibu mertuanya. “Bu, saya pamit mau ke kantor dulu.” “Iya, Nak Dit, yang hati-hati di jalan, ya?” “Baik, Bu. Assalamualaikum.” “Walaikumsalam.” Ketika Radit telah pergi, Nagita masih terpaku di tempat duduknya. Dia tidak hanya tertegun pada jumlah tranfer Radit ke rekeningnya yang dua kali lipat dari yang ditransfernya pada ibunya, Bu Ratri, tetapi pada dua hal lain yang dikatakannya barusan. “Dari mana dia mendapatkan semua informasi itu?” gumamnya, tanpa ditujukan pada siapa pun. Bu Ratri menatap wajah Nagita sembari duduk kembali di kursi yang tadi didudkinya. “Git, jawab Ibu, apakah benar semua apa yang dikatakan oleh Nak Radit barusan?” Nagita hanya sesaat menatap wajah ibunya sebelum ia bangkit dan berjalan ke arah kamarnya. “Nagita ...!!” teriak Bu Ratri. “Jika benar apa yang Radit katakan barusan, berarti kamu telah berubah jauh! Kamu bukan saja telah membohongi s
Ningrum disambut oleh Radit di depan ruang rawat dan mengajaknya duduk di bangku besi panjang. “Tadi saya cek di kantor jika Pak Radit ijin tak masuk hari ini. Jadi saya langsung ke mari. Mertuanya Pak Radit sakit apa dan bagaimana kondisi beliau sekarang?” “Terima kasih, Bu Ningrum,” ucap Radit. “Iya, kata dokter beliau ada gangguan pada jantungnya, dan alhamdulillah sekarang sudah siuman. Hanya saja belum diperbolehjkan untuk dibesuk.” “Oh, mudah-mudahan beliau segera pulih kembali, Pak. Oh ya, barusan saya berpapasan dengan istrinya Pak Radit kayaknya?” “Iya, Bu Ningrum. Dia sedang padat tugasnya di kantornya, jadi harus gantian nunggunya.” “Oh ...!” hanya itu yang keluar dari bibir Ningrum. Dia tak mau berkomentar lebih, walau seharusnya seorang ibu harus menjadi prioritas dulu dari hal apa pun. Terlebih ketika seorang ibu sedang sakit. Tanpa disadari oleh keduanya, saat itu Nagita mengintai di sudut lorong rumah sakit. Tampaknya wanita itu mera
Nagita dan Bu Ratri yang saat itu kebetulan sedang duduk di beranda depan rumah, melihat sebuah mobil mewah baru masuk di halaman rumah mereka hanya mengira bahwa itu tamu mereka atau tamunya Radit. Tetapi ketika mereka melihat justru Radit yang keluar dari mobil, spontan keduanya berdiri. Dan Noni yang sempat melihat dari dalam rumah langsung berlarian keluar sembari memanggil papanya. “Ini mobil baru Papa, ya?” Radit tersenyum dan mengangkat tubuh Noni dan menggendongnya, “Iya, dong, Sayang, ini mobilnya Papa dan juga Noni.” “Aseeek, Papa punya mobil baruuu!” seru Noni senang. “Papa, Noni pengen rasain naik mobil baru Papa.” “Oh, boleh, hayuk!” Tanpa basa-basi, Radit pun langsung membukakan pintu depan kiri mobilnya untuk sang buah hati. Sebelum ia sendiri masuk di pintu kanan, ia melaihat ke arah ibu mertuanya dan pamit untuk berkeliling komplek sebentar, namun sama sekali tak melirik kepada Nagita. Lalu tanpa menunggu sahutan dari ibu mertuanya, dia
Tentang keberadaan mobil mengintai itu sama sekali tak disadari oleh Nagita maupun Dony. Bahkan setelah Dony dan Nagita masuk ke dalam rumah itu, laki-laki dalam mobil Xpander itu sempat mengambil gambar rumah mewah itu sebelum pergi dari komplek itu. Sementara itu, Dony sedang membanggakan rumah itu kepada Nagita, dan Nagita menanggapinya dengan wajah binar bahagia. “Jadi, rumah ini akan Mas atas-namakan namaku?” tanya Nagita. “Tentu, Honey. Tapi tentu saja setelah Honey memenuhi sebuah syarat yang kukatakan itu, yaitu ...?” “Aku harus mengajukan gugatan cerai pada suamiku yang lemah dan tak berguna itu!” lanjut Nagita. “Pintar!” tandas Dony Setiawan, lalu keduanya tertawa bersama sambil berpelukan dan berciuman sesaat. “Tentu, Honey. Aku memang sudah terlalu bosan hidup penuh kepura-puraan dengan dia,” ucap Nagita lagi sambil menatap wajah Dony yang masih dalam pelukannya. “Tapi Honey harus sedikit bersabar. Aku sedang merencanakan suatu ha
Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d
Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg
Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca
Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c
Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s
Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit
“Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu
Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit
“Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak