“Apa? Arum kecelakaan?” Lututku lemas kala Bu Rina mengabari kalau Arum kecelakaan. Beliau bilang jika mantan istriku itu sudah dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Pun kondisinya sekarang sedang kritis. Cobaan apa lagi yang menimpa kami Ya Allah? Bagaimana bisa Arum kecelakaan?Gegas aku mengabari asistenku untuk mengalihkan pasien yang datang mengantre hari ini supaya pindah dokter. Aku tidak bisa menundanya lagi. Tidak mungkin menunggu semua pasien kuperiksa dalam keadaan genting seperti ini. Untunglah, tidak terlalu banyak pasien yang masih menunggu, sebab jam sudah mendekati waktu pulang. Kuharap mereka akan mengerti.Dengan secepat kilat kuambil kunci mobil. Di perjalanan, kendaraan ini melaju dengan kecepatan tinggi, sama sekali tak peduli dengan keselamatanku saat ini. Yang ada di dalam benak ini hanya terpikir bagaimana caranya agar cepat sampai tujuan. Aku harus melihat kondisi Arum. Tidak boleh terjadi sesuatu terhadapnya dan bayi kami. Setelah sampai di Rumah Sakit tempat dita
Setelah menyelesaikan segala administrasinya, teringat dengan Mama dan Papa yang belum kukabari. Kucari nomor ponsel beliau dan menghubunginya. Terdengar suara salam dari seberang sana lalu aku menjawabnya. Kuberitahu kalau Arum mengalami kecelakaan. Dia korban tabrak lari orang yang tidak bertanggung jawab. Mama terdengar syok dan terus saja mencecarku dengan segala pertanyaan. Sehingga, kuminta saja Mama dan Papa menyusul ke Rumah Sakit.Karena sudah terlalu lama menunggu dan memang ada keperluan pribadi masing-masing. Pak RT dan warga lainnya berpamitan untuk pulang. Tidak lama orang tuaku datang dengan tergesa. Mama datang langsung memelukku dan menangis dengan tersedu. Sedangkan Papa diam menunggu meski dapat kulihat raut panik dari wajah beliau. Papa memang pintar menyembunyikan isi hati. Terlihat kuat, tetapi sebenarnya aku tahu beliau rapuh. Beliau memang begitu, terkesan selalu dingin, tetapi hatinya begitu hangat. Papa pah yang pertama selalu membela Arum saat Mama sering
Aku termenung di samping pusara putraku. Mengusap-usap nisan yang bertuliskan namanya di sana. Dia pergi sebelum sempat kuberikan nama. Gaishan Raffasya Hafis itulah nama yang kuberikan untuk putra Kami. Nama yang sudah lama kupersiapkan bersama Arum ketika kami masih menjadi suami istri dulu. Setelah dokter mengatakan jenis kelamin putraku laki-laki, dengan antusias kucari nama bagus. Arum mengiyakan dengan senyum merekah saat kuberitahukan nama tersebut. Dia langsung setuju atas usulku tersebut, katanya namanya begitu bagus dan indah.Kembali Papa berjongkok di sebelahku, dia menepuk pundak beberapa kali.“Sebaiknya kita pulang, Ga. Ikhlaskan putramu. Insya Allah dia akan menolong kamu dan Arum agar masuk ke surga di akhirat kelak. Berikan doa di setiap salatmu. Terpenting sekarang ialah bagaimana cara menyampaikan berita duka ini kepada Arum. Dia pasti terguncang saat mendengarnya,” ujar Papa.Aku mengangguk mengiyakan, meski hubunganku dengan Arum telah berakhir, namun mantan ist
“Jangan gegabah kamu, Rum. Jahitan bekas operasi masih basah. Nanti saja kamu pikirkan kondisi bayimu. Yang terpenting kamu harus sembuh dulu,” jelas Bu Rina mencoba menenangkan. Namun, reaksi Arum di luar dugaan, dia tak menghiraukan ucapan kami. “Rum, jangan nekat. Lukamu masih belum sembuh. Nanti malah akan robek kembali,” cegahku sambil memegang pundaknya. Namun, Arum menepis dengan kasar tanganku.“Aku hanya mau bayiku, Mas. Aku mau lihat dia dan memastikan kalau putraku baik-baik saja,” Mantan Istriku itu memberontak. Terus menanyakan keberadaan putra kami. Hati ini bagai tersayat benda tajam, pedih melihat keadaan Arum saat ini. Dia meronta-ronta, begitu susah dikendalikan. Karena melihatnya belum pulih dan masih lemah, dengan segala cara mencoba meyakinkan mantan istriku itu untuk tetap tenang.Tidak lama, Dokter datang dan terpaksa memberikan obat tidur kembali untuk Arum. Sebagai seseorang yang masih mencintai Arum, aku sungguh hancur melihat kondisi dia sekarang. Bagaima
Aku bernapas lega ketika Satria tiba-tiba datang menjenguk Arum sebelum menjawab pertanyaan mantan istriku itu. Entah kenapa, ini pertama kalinya diriku bersyukur pria itu datang ditengah-tengah kami. Biasanya, dia datang di saat yang tidak tepat. Selalu menjadi penghalang usahaku untuk kembali mengambil hati Arum.Sengaja aku keluar dari ruangan rawat Arum dengan alasan ingin ke kantor polisi mencari tahu perkembangan kasusnya. Sekaligus bertemu Erika dan mendesak dia agar cepat mengaku.Baru sampai di kantor polisi tidak sengaja kulihat sesosok orang yang kukenal. Aku masih ingat dengan jelas kalau itu pacar Erika. “Bukankah dia Andra? Pacar Erika? Sedang apa laki-laki itu di sana?” Andra berdiri di pinggir jalan lalu mengobrol bersama seseorang di dalam sebuah mobil mewah. Dapat kulihat pula laki-laki itu bukan orang sembarangan. Pria dengan setelan jas dan kacamata hitam membuka kaca mobilnya. Laki-laki yang sangat dingin dimataku.Pacar Erika yang kutahu bernama Andra tersebut
Di hadapanku kini duduklah Erika yang terlihat lebih melunak. Tidak seangkuh saat dia kemarin masih memeras mantan suaminya ini. Mungkin dia tertekan berada di penjara ini. Lalu, aku bisa apa? Itulah hukuman segala keburukan yang telah dia lakukan. “Aku mohon jangan mempersulit penyidikan kasus ini. Perbuatanmu terhadap Arum dan putra kami tidak bisa kumaafkan,” geramku sebab dari tadi dia hanya menyangkal segala pertanyaan Polisi.“Mas, aku mohon percayalah. Aku sama sekali tidak mencoba membunuh Arum,” jelasnya kembali. Membuatku berdecap kesal. Bagaimana mungkin wanita ini terus saja berpura-pura tidak tahu apa pun walau kenyataannya dia bersalah. “Cukup. Kamu jangan berpura-pura lagi. Lantas kalau bukan kamu yang sudah merencanakan ini semua, siapa lagi? Arum dan Aku sama sekali tidak punya musuh kecuali kamu yang dengan jelas sudah berani mengancam sebelumnya.” Erika menggeleng tanda tidak terima atas apa yang telah kuucapkan. Dia terus saja membela diri serta berkata kalau d
“Kamu tega, Mas sudah membohongiku. Gara-gara Mas Arga bayiku meninggal. Kamu sudah membunuh putra kita!” teriak Arum. Tangganya gemetar dengan tatapan tajam menusuk saat memandangku.Aku diam mematung di tempat saat ini sambil berdiri. Terkejut dengan keberadaan Arum yang sudah berada di belakangku dengan menduduki kursi roda. Entah ke mana Bi Surmi meninggalkan Arum di sini.“Kamu mau ke mana, Rum?” tanyaku berharap obrolan kami teralihkan.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas. Kenapa kamu tega sekali membohongiku? Aku benci sama kamu, Mas,” ucapnya sambil berusaha membalikkan kursi roda. Namun, kutahan dengan tanganku agar dia tidak pergi. Aku berlutut di hadapannya berharap Arum akan luluh dengan yang kulakukan.“Rum, Maafkan, Mas. Kamu tahu, kan. Mas enggak mungkin mau membiarkan anak kita meninggal. Mas juga sayang sama putra kita,” jelasku berharap Arum akan mengerti.Arum memandangku dengan tatapan kecewa, sendu dan amarah bercampur.“Aku tahu, Mas enggak pernah melakukan apa
Berulang kali kutengadahkan kepala dan menyandarkan punggungku ke Jok mobil sambil menutup mata. Namun, ucapan Arum terus saja berkelebat di pikiran.“Aku benci kamu Mas. Mas Arga sudah membunuh anakku dan membuatku celaka,” kata-kata ini terus saja terngiang di dalam pikiran. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sudah tidak ada lagi harapanku untuk kembali padanya. Saat ini aku sudah kehilangan Arum selamanya.Kuhidupkan mesin mobil, jalan satu-satunya aku harus mencari ketenangan di luar sana. Akan tetapi, kulihat motor Andra melintas masuk ke tempat parkir motor di Rumah Sakit ini. Ada keperluan apa dia di sini?Mengapa tiba-tiba rasa curiga bergelayut dalam hati. Pun hati ini mulai tidak tenang dan gelisah. Apalagi baru tadi siang kupergoki pria itu melakukan hal-hal yang mencurigakan. Aku tidak tahu mengapa diriku merasa kalau akan ada sesuatu yang tidak baik dilakukan olehnya.Dengan mengendap-endap, aku turun. Sebelumnya, aku telah mengambil jaket, masker dan kacamata sepert
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal