Maya yang kini telah menjadi hantu menyerang siapa saja yang ada di hadapannya. Tentu paling banyak para londo, karena sebelum mati merekalah yang paling terakhir ia lihat. Hantu ciptaan nyai tabib teramat sangat ganas. Londo yang berhasil ia bawa terbang ditancapkan pada sebatang dahan yang telah dipatahkan dan meruncing di bagian ujung. Jelas penjajah itu mati mengenaskan. Kemudian tentara yang ada mengarahkan meriam ke arahnya. Maya terbang dan melintasi puri. Jelas saja tembakan api itu menyasar rumah sang adipati di mana istri dan anaknya sedang berlindung. Tidak, lebih tepatnya Sekar telah menjadi santapan londo juga. Maya terbang lagi dan menyambar londo yang menembaknya beberapa kali. Hantu perempuan itu membawa tangkapannya ke langit dan lehernya ia gigit dengan dua taring tajam hingga berlubang. Pada saat yang sama darah itu dihisap oleh Maya. Mayat tidak sendirian, melainkan banyak hantu lain yang ikut terbang. Kuku-kuku panjang hantu itu menembus tubuh semua yang ada d
Bagus berlari ketika sebentar lagi ia akan sampai ke rumahnya yang diberi perisai. Namun, langkah lelaki bermata kuning itu terhenti sejenak. Lehernya tergores sendiri dan darah mengucur deras dari sana. “Ana.” Kemudian harimau berwujud manusia itu lari lagi. Ketika ia terluka, Ana merasakan hal yang sama. Demikian juga sebaliknya. Semacam kutukan abadi yang diberikan oleh Damar untuknya. Bedanya Ana tidak bisa menyembuhkan diri. Semakin kencang ayah tiga orang anak itu berlari. Tak lama setelah itu ia sampai di rumah bagian belakang. Hal pertama yang ia temukan yaitu Ana terbaring di lantai dengan leher disayat pisau dapur. Lelaki berambut sebahu itu tak sempat bersedih. Hal pertama yang bisa ia lakukan membawa Ana ke ranjang, kemudian mengambil beberapa perlengkapan medis. Tangan manusia harimau itu dengan cekatan menutup dan menjahit luka di leher yang begitu dalam. Apa alasan Ana? Mungkinkah ia bunuh diri. Luka di leher Ana telah tertutup rapat. Setidaknya mereka berdua aka
“Nay, kamu mau ke mana?” Tepat waktu Mita menyusul pemetik bunga itu agar tak keluar dari perisai buatan Arya. “Mau cari makan,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalau cuman daging, di rumah ada, kok, yuk, naik ke atas, di sini bahaya kalau kamu sendirian. Nggak baik.” Mita menarik perlahan tangan Nay. Wanita itu menurut saja, padahal tadi dia melihat penampakan burung terbang. “Tapi aku lagi kepengen makan ayam sebenernya. Nggak tahu kenapa, udah tiga hari kepikiran, dialihkan pikiran juga nggak bisa. Aku nggak minta Tante nyariin, kok, aku cuman cerita aja.” “Iya, Tante ngerti, emang kalau ngidam, ya, gitu. Kalau nggak dapat kita bisa kepikiran terus.” “Tapi kan, Tante, normalnya orang hamil itu sembilan bulan, ya, ini, kok, perut Nay udah gede banget?” tanya Nay yang masih tak terima kenyataan. “Iyah, seperti kata Tante, kamu bukan manusia begitu juga dengan kami. Dibawa pun misalnya ke rumah sakit. Dokter mana yang sanggup periksa kamu. Terus malah kamu diburu sama wartawan penc
Laba-laba itu kembali setelah memeram seekor ular selama tiga purnama. Ia pikir ular itu akan melunak daging dan hilang bisanya. Dengan delapan kaki berbisanya laba-laba tersebut mengoyak jaring putih. Namun, setelah dibuka, ular itu justru menegakkan kepalanya. Lidah cabang tiga dengan suara desis menjadi pertanda kalau Sora sangat lapar. “Terima kasih karena telah menolongku,” ucap Sora.Laba-laba itu diam, ia tahu ular adalah binatang licik dan mematikan meski ia sama beracunnya. Kemudian dengan kecepatan delapan kaki berbulunya, binatang tersebut merayap ke dinding dan mencoba lari dari sarangnya sendiri. Dipikirnya tadi laba-laba itu bisa makan lezat. Siapa sangka ia bisa saja berubah menjadi makanan bagi siluman ular itu. Nyatanya, Sora memanjangkan lidahnya yang bercabang tiga, ia tangkap laba-laba itu dan tarik sekuat mungkin meski delapan kaki itu juga memiliki perekat alami. Dinding gua menjadi saksi dua siluman saling bertahan antara ingin makan dan tetap ingin hidup
Dua taring Agni, Alana, serta Mita muncul secara tak terduga. Ketakutan, menjadi alasan terbesar. Nay bangun ketika suara gedoran di pintu mengganggu telinganya. Cakar di masing-masing tangan perempuan penghuni rumah Arya juga sama. Semuanya menyiagakan diri kecuali Kanaya. “Siapa?” tanya Nay sambil memegang perutnya. “Alana, Agni, bawa Nay keluar dari sini!” perintah Mita. Duar! Suara gedoran di pintu berubah menjadi tendangan. “Nggak!” Kompakan dua anak gadis itu menjawab. “Cepat pergi!” tekan Mita, tapi Alana dan Agni bergeming. Mereka tak mau meninggalkan mamanya sendirian. “Kalau harus terluka atau mati, kita rasakan sama-sama. Tiga lawan satu masih ada kemungkinan menang.” Karena takut sampai ke ubun-ubun, Alan tak bisa melihat siapa yang datang. Suara ketukan di depan pintu berubah menjadi gedoran. Tak lama kemudian tendangan pun didaratkan. Satu demi satu kayu yang dipaku dan dipasang oleh Agni terlepas. Bahkan bongkahannya mengenai dahi Mita. “Oh, god, please, setea
Sora berhasil menemukan jejak Kanaya lebih dekat. Ada sebuah gunung yang sangat sedikit ditinggali manusia biasa. Sisanya binatang buas dan manusia harimau saja. Sudah lama Pangeran Arya berkuasa di sana walau bukan seperti raja di zaman dahulu, tapi aroma harimau jantan tercium sangat kuat. “Akan aku lihat dengan jelas bagaimana kau mati di tanganku, bedebah!” Sora memandang dari jauh. Mata hitamnya menembus pepohonan, dahan, ranting, rumput, kawanan burung, dan terakhir ia beradu pandang dengan seorang wanita yang berdiri di depan jendela. “Maya, aku datang. Aku berjanji tak akan kasar lagi padamu,” ujarnya sambil menghirup aroma bunga Nay. Sora melanjutkan perjalanannya. Ia senang setiap kali melihat binatang takut dan bersembunyi darinya. Dari dulu manusia harimau baik sendiri atau berkelompoklah yang berani menantangnya. Ketika akan memasuki lebih dekat lagi rumah Mita dan anak-anaknya, tersengat kulit lelaki itu hingga terbakar dan bau hangus tercium. Perisai milik Arya me
Darah di dalam tubuh Nay memanas berkali-kali lipat hingga serupa api yang berkobar. Hal demikian berakibat pada kulitnya yang mengering mendadak. Cipratan air dari danau tak mampu meredam panas. Alhasil pemetik bunga itu berganti kulit secara spontan. “Agh!” gumam Nay sambil memegang perutnya. Cakar di dalam sana semakin menjadi-jadi dan jabang bayi mendesak ingin keluar. “Mama gimana ini, Nay mau melahirkan.” Agni panik, dia takut melihat seekor ular beracun di depannya. “Sekarang?” tanya Mita yang juga ikutan panik. “Kenapa harus sekarang, sih!” Alana tambah menjadi takutnya. “Aduh, ini harus gimana?” “Pergi sejauh mungkin kalian bisa!” Sadam memutar tulang lehernya dan menggenggam jemari hingga tulang belulangnya berbunyi. “Tapi, Sadam!” Mita takut anaknya kenapa-kenapa. “Ini urusan sesama jantan, pergi selamatkan diri, Ma.” Tak lama kemudian Sadam mengubah wujudnya menjadi seekor harimau besar. Suara aumannya membuat air di dalam danau bergetar. “Ayo cepet, lari, lari, l
Arya membuka matanya. Sudah hampir tiga purnama ia berada di dalam Hutan Larangan. Rindu keluarga sudah pasti. Tapi, memang Andra sebaiknya ia temani. “Apakah mereka baik-baik saja?” gumam Arya di atas pohon. Di sana ia kerap memandang langit dan bulan ketika rindu dengan keluarganya. Suasana Hutan Larangan sepi. Gurunya lebih sering menyendiri dari dulu. Guru yang ia sangka baik sekali, nyatanya berwajah dua. “Seharusnya latihan Andra sudah selesai. Apa yang dia kerjakan di dalam sana. Kalau dia tak juga kembali aku terpaksa pulang duluan.” Sang pangeran melompat dan memperhatikan rerumputan yang begitu luas. Di sana terakhir ia melihat anak sahabatnya. “Sebentar lagi dia juga akan selesai.” Pawana datang tiba-tiba. “Di mana anak itu?” “Di bagian terdalam Himalaya. Tidak pernah ada manusia yang sampai ke sana. Kalau ada ya sudah jadi bangkai dan dimakan.” “Aku penasaran dengan kekuatan jenis apa yang akan dia dapatkan.” “Tergantung kebutuhan. Yang ia butuhkan sekarang mengha
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi