Share

Dia Datang

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Dua taring Agni, Alana, serta Mita muncul secara tak terduga. Ketakutan, menjadi alasan terbesar. Nay bangun ketika suara gedoran di pintu mengganggu telinganya.

Cakar di masing-masing tangan perempuan penghuni rumah Arya juga sama. Semuanya menyiagakan diri kecuali Kanaya.

“Siapa?” tanya Nay sambil memegang perutnya.

“Alana, Agni, bawa Nay keluar dari sini!” perintah Mita.

Duar!

Suara gedoran di pintu berubah menjadi tendangan.

“Nggak!” Kompakan dua anak gadis itu menjawab.

“Cepat pergi!” tekan Mita, tapi Alana dan Agni bergeming. Mereka tak mau meninggalkan mamanya sendirian.

“Kalau harus terluka atau mati, kita rasakan sama-sama. Tiga lawan satu masih ada kemungkinan menang.” Karena takut sampai ke ubun-ubun, Alan tak bisa melihat siapa yang datang.

Suara ketukan di depan pintu berubah menjadi gedoran. Tak lama kemudian tendangan pun didaratkan. Satu demi satu kayu yang dipaku dan dipasang oleh Agni terlepas. Bahkan bongkahannya mengenai dahi Mita.

“Oh, god, please, setea
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Series Hutan Larangan    Danau

    Sora berhasil menemukan jejak Kanaya lebih dekat. Ada sebuah gunung yang sangat sedikit ditinggali manusia biasa. Sisanya binatang buas dan manusia harimau saja. Sudah lama Pangeran Arya berkuasa di sana walau bukan seperti raja di zaman dahulu, tapi aroma harimau jantan tercium sangat kuat. “Akan aku lihat dengan jelas bagaimana kau mati di tanganku, bedebah!” Sora memandang dari jauh. Mata hitamnya menembus pepohonan, dahan, ranting, rumput, kawanan burung, dan terakhir ia beradu pandang dengan seorang wanita yang berdiri di depan jendela. “Maya, aku datang. Aku berjanji tak akan kasar lagi padamu,” ujarnya sambil menghirup aroma bunga Nay. Sora melanjutkan perjalanannya. Ia senang setiap kali melihat binatang takut dan bersembunyi darinya. Dari dulu manusia harimau baik sendiri atau berkelompoklah yang berani menantangnya. Ketika akan memasuki lebih dekat lagi rumah Mita dan anak-anaknya, tersengat kulit lelaki itu hingga terbakar dan bau hangus tercium. Perisai milik Arya me

  • Series Hutan Larangan    Jalan Lahir

    Darah di dalam tubuh Nay memanas berkali-kali lipat hingga serupa api yang berkobar. Hal demikian berakibat pada kulitnya yang mengering mendadak. Cipratan air dari danau tak mampu meredam panas. Alhasil pemetik bunga itu berganti kulit secara spontan. “Agh!” gumam Nay sambil memegang perutnya. Cakar di dalam sana semakin menjadi-jadi dan jabang bayi mendesak ingin keluar. “Mama gimana ini, Nay mau melahirkan.” Agni panik, dia takut melihat seekor ular beracun di depannya. “Sekarang?” tanya Mita yang juga ikutan panik. “Kenapa harus sekarang, sih!” Alana tambah menjadi takutnya. “Aduh, ini harus gimana?” “Pergi sejauh mungkin kalian bisa!” Sadam memutar tulang lehernya dan menggenggam jemari hingga tulang belulangnya berbunyi. “Tapi, Sadam!” Mita takut anaknya kenapa-kenapa. “Ini urusan sesama jantan, pergi selamatkan diri, Ma.” Tak lama kemudian Sadam mengubah wujudnya menjadi seekor harimau besar. Suara aumannya membuat air di dalam danau bergetar. “Ayo cepet, lari, lari, l

  • Series Hutan Larangan    Petir

    Arya membuka matanya. Sudah hampir tiga purnama ia berada di dalam Hutan Larangan. Rindu keluarga sudah pasti. Tapi, memang Andra sebaiknya ia temani. “Apakah mereka baik-baik saja?” gumam Arya di atas pohon. Di sana ia kerap memandang langit dan bulan ketika rindu dengan keluarganya. Suasana Hutan Larangan sepi. Gurunya lebih sering menyendiri dari dulu. Guru yang ia sangka baik sekali, nyatanya berwajah dua. “Seharusnya latihan Andra sudah selesai. Apa yang dia kerjakan di dalam sana. Kalau dia tak juga kembali aku terpaksa pulang duluan.” Sang pangeran melompat dan memperhatikan rerumputan yang begitu luas. Di sana terakhir ia melihat anak sahabatnya. “Sebentar lagi dia juga akan selesai.” Pawana datang tiba-tiba. “Di mana anak itu?” “Di bagian terdalam Himalaya. Tidak pernah ada manusia yang sampai ke sana. Kalau ada ya sudah jadi bangkai dan dimakan.” “Aku penasaran dengan kekuatan jenis apa yang akan dia dapatkan.” “Tergantung kebutuhan. Yang ia butuhkan sekarang mengha

  • Series Hutan Larangan    Darah Segar

    “Tolong, tolong, tolong, ini gimana?” Agni mendekati Nay. Panik anak kedelapan Arya. Ia memang bisa menyembuhkan orang sakit. Tapi berurusan dengan ibu hamil baru kali ini. “Tenang dulu, tenang jangan panik.” Mita datang mendekat. Basah baju Mita karena barusan tercebur ke dalam air. Dua orang perempuan beda generasi itu sebenarnya sama-sama bingung harus apa. Dulu saat Mita lahiran, yang membantunya ya Arya sendirian. “Alan, tolong mereka. Biar Mas yang jaga-jaga di sini.” Sadam, meski ia kalah dengan Sora, tapi ia tak mau menyerah. Pantang bagi pejantan sepertinya mengemis kemenangan dari musuh. Alana meragu, tapi terlihat Agni serta Mita kepayahan menangani Nay yang terus menggeliat karena kesakitan. Bersusah payah anak ketujuh Arya itu menghilangkan taring dan cakarnya. Ia pun mendekat. Sadam berjaga di baris depan, sama seperti fungsinya saat menjadi tentara dalam kehidupan manusia. Sora menegakkan kepala dan membuka mulutnya lebar-lebar. Si sulung kembali mengubah wujud me

  • Series Hutan Larangan    Mata Pembunuh

    Mita membawa Nay berbaring di atas lantai kayu rumah mereka. Selanjutnya ia menyerahkan semuanya pada Agni. Ia sendiri mempersiapkan air hangat, kain bersih, dan baju bayi yang anggap saja diperlukan. Untung saja semua benda itu disimpan dalam plastik bening dan tak basah dihantam air. “Mah, tolongin, ini gimana?” Agni panik dibuatnya. “Kalau kamu nggak tahu, apalagi Mama. Tapi dulu Mama nggak sampai dirobek gini perutnya.” Mita menelan ludah melihat jemari bayi dalam perut Nay keluar lebih cepat. Hingga dua harimau betina itu tak tahu harus melakukan apa. Mita memegang handuk bersih dan Agni hanya diam saja. Ditolong juga terlambat, dibiarkan saja tidak mungkin. Robekan di perut Nay semakin menjadi dan membesar. Darah yang mengalir tak lagi berwarna merah, melainkan campuran tujuh warna yang membuat keduanya keheranan. “Ada, ya, darah kayak gini,” ucap Agni sambil menahan napas. Ia takut tergoda dengan darah segar. “Mama dulu pernah jumpa sama yang warnanya hitam dan baunya k

  • Series Hutan Larangan    Rencana ke Depan

    “Anakku hebat sekali, kecil-kecil sudah bisa mempengaruhi isi kepala orang.” Bagus kembali menutup dua mata Batari yang sangat berbahaya. Dia tahu tadi ada pertarungan dahsyat di atas gunung. Kalau dengan cara seperti itu saja Sora tak mati, maka ia memilih menggunakan Batari sebagai senjata terakhir. Bagus kemudian berjalan kaki sambil menggendong Batari. Ia tahu Andra, Nay, dan yang lain ada di sana. Namun, Ana ia tinggal sebentar sendirian. Ia memutuskan kembali dan masih bisa ke sana suatu hari nanti. “Jadi itu maksud kamu, nggak mungkin tentang Sora tadi?” Sadam dan Alan mengawasi Bagus dan Batari dari tadi. Mereka lihat bagaimana ular berumur ribuan tahun tak berdaya menatap mata seorang bayi. “Iya, gitu kurang lebihnya. Itu kemampuan berbahaya, bayangin kita mandang mata dia terus disuruh makan daging sendiri. Pantas matanya ditutup kain,” ucap Alan dari kejauhan. “Ya, gitu deh, hidup di dunia ini. Banyak yang aneh-aneh. Ayo kita balik ke rumah, mereka pasti udah di sana s

  • Series Hutan Larangan    Sayur Pakis

    Ana bangun mendengar suara berisik di sebelahnya. Luka di leher telah mengering sepenuhnya. Hanya saja menyisakan bekas bahwa ia pernah terluka dua kali di sana. “Dari mana?” tanya Ana pada lelaki yang menggendong putrinya. “Wilayah kekuasaan Arya.” “Ngapain?” “Jalan-jalan dengan Batari.” “Kenapa aku nggak diajak?” “Ya, kau sedang tidur. Untuk apa diganggu.” “Padahal aku kangen dunia luar. Pengen ke sana sebentar. Rumah orang tuaku gimana, galeri lukisanku juga. Terus rumah di Bukit Buas, puluhan tahun aku di sana.” “Cucumu sudah lahir,” ucap Bagus yang paham kalau Ana rindu kehidupannya sebagai manusia biasa. “Anak Andra? Kapan hamilnya?” “Bukan Andra, tapi Nay.” “Iya, aku tahu, Gus, nggak mungkin anak kita yang hamil. Pasti hamilin anak orang, kan?” “Ya, terus masalahnya apa, Ana? Anak pertama kita sudah besar sekali. Aku saja tak pernah merawatnya dari dulu. Padahal dulu anak pertamaku juga lelaki yang hilang. Sepertinya takdirku tak baik kalau berurusan dengan anak le

  • Series Hutan Larangan    Me Time

    Terlalu banyak bicara, Andra kemudian memasukkan sesendok lontong sayur dalam mulut Nay. Jelaslah ular itu memuntahkannya kembali. Dulu saat jadi manusia rasa makanan tersebut memang enak, tapi sekarang terasa getir seperti besi karatan. “Huuueeks!” Muntah-muntah pemetik bunga itu dibuatnya seperti saat hamil. Andra santai aja sambil makan sayur di depan matanya. Makanan di zaman modern sudah enak tidak seperti masa lalu yang ia datangi dan tinggal selama beberapa bulan. “Enak?” tanya Andra.“Enak matamu!” jawab Nay agak ketus. Rasa micin membuat lidahnya nyaris mati rasa. Ana mendengar keributan dua orang itu sampai tutup telinga. Tak berubah rasanya sejak lima tahun bertemu seperti itu saja. Sedangkan ia sekarang lebih banyak bersama cucunya, disambil melukis. Jika ada orang yang ia rindukan untuk betemu, jawabannya adalah Mita. Sudah lama sekali, terakhir berjumpa belasan tahun lalu dan semua hidup dengan jalannya masing-masing. “Jadi kangen waktu kita buka galeri sama-sama.

Latest chapter

  • Series Hutan Larangan    Bunga Es

    Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai

  • Series Hutan Larangan    Harus Ke Mana?

    “Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal

  • Series Hutan Larangan    Diusir

    Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi

  • Series Hutan Larangan    Tersiksa

    Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita

  • Series Hutan Larangan    Perpisahan

    Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a

  • Series Hutan Larangan    Harapan

    Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak

  • Series Hutan Larangan    Kebun Bunga

    Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema

  • Series Hutan Larangan    Tak Sama Lagi

    Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun

  • Series Hutan Larangan    Nama Baru

    Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi

DMCA.com Protection Status