Bagian 32 Permintaan Ana Ana dibawa oleh Bagus ke rumah lama mereka. Wilayah sekitar rumah itu memang telah berubah menjadi kota yang padat penduduk. Namun, dulu saat ditinggalkan oleh Ana dan Andra, Arya membuat pandangan manusia biasa di rumah dan sekitar hutan di sana tak terlihat. Hingga sampai sekarang masih terjaga semuanya. Rumah itu masih sama besarnya, hanya cat saja yang diganti lagi oleh Ana. Dua buah mobil yang sudah terhitung zaman dahulu sekali masih bisa dinyalakan dan digunakan bepergian. Hanya saja, mereka berdua lebih suka berdiam diri di dalam rumah, sebab luka di leher Ana juga belum pulih benar, masih terasa perih sesekali. Hal demikian pula yang membuat Bagus sangat menjaga diri dari Ana. Ia tak berani menyentuh perempuan yang sudah memberikan anak untuknya terlalu jauh, takut terbawa perasaan dan Ana tak sembuh-sembuh juga. Mereka hanya tinggal berdua saja seperti biasa, dan berada dalam kekakuan. “Kenapa kamu menghindar terus dari dari aku? Bosan gitu sama a
Bagian 33 Jangan Ganggu Dua orang yang dulunya pernah mencoba melecehkan Nay tak puas dengan hasil kerja kepolisian yang dinilai terlalu lambat. Sebab tidak ada barang bukti lain yang tertinggal. Mayat temannya yang katanya mati dicakar Nay pun telah hilang tanpa ada keributan sama sekali, semuanya bersih tanpa sidik jari. Sebab ular tak memilikinya. Jadilah mereka memilih jalan lain, mendatangi orang yang katanya pintar. Berbekal dari keterangan serba setengah-setengah mereka memilih akan mendatangi Bukit Buas, sebab dukun itu hanya mengatakan banyak emas yang bisa didapatkan jika mereka berdua bisa menangkap Nay. Mereka tak tahu siapa yang ada disisi perempuan itu. Berbekal menyewa empat orang yang bisa menembak dua pemuda tak tahu diri itu pun berangkat. Nekat, bahkan kini mereka sudah ada di kota yang lebih dekat dengan desa itu. Kota di mana Andra dan Nay juga sedang duduk-duduk santai. “Apa coba gunanya kita mesen ginian?” Nay dari tadi mengaduk minuman rasa matcha dengan gun
Bagian 34 Jalan Masing-Masing Nay berbaring di sebelah Andra, baru saja mereka melewati malam yang sama seperti sebelumnya. Ya, keduanya seperti menemukan kesenangan baru yang sayang rasanya jika hanya berdiam diri ketika kabut yang turun membuat hawa semakin dingin, hingga mereka pun memilih saling menghangatkan di atas ranjang. Perempuan ular itu tak bisa tidur, ada hal yang sedang ia pikirkan. Bukan tak mungkin lama-lama ada yang tumbuh dalam rahimnya. Siluman tak pernah mengenal kata kontrasepsi atau menjaga jarak kehamilan, sedangkan ia masih ingin menikmati masa berdua saja bersama Andra. Bukan tak mau menjadi seorang ibu, hanya saja usianya masih terlalu muda. Nay pun berdiri, memakai dasternya yang jatuh ke lantai. Sebelum pergi ia memastikan kalau harimau di sebelahnya benar-benar terlelap dan tak akan mengikutinya dari belakang. Ia ingin berbicara empat mata dengan orang yang bisa ia percaya. Tak bergerak, harimau kuning itu tidur amat lelap. Gegas saja Nay keluar rumah
Candramayaa—ular dengan tujuh warna pelangi keluar dari telaga tempatnya tinggal. Binatang dengan panjang kurang lebih dua meter itu kemudian mengubah wujudnya menjadi seorang perempuan dengan kecantikan melebihi batas wajar manusia biasa. Dua bola mata dengan gradasi tujuh warna itu memandang ke kejauhan. Ia tahu tak jauh dari hutan ada sebuah rumah di mana sepasang makhluk gaib beda jenis telah tinggal di sana selama lima tahun lamanya. “Pergilah,” ucap Candramaya pada seekor ular kecil dengan warna sama dengannya. Ular itu melata mengikuti perintahnya. Lalu penjaga telaga itu pun melihat ke atas bukit. “Tuan Damar, sedang apakah kau di sana, bolehkah aku pergi ke atas tanpa panggilan darimu.” Wanita dengan bisa mematikan itu mengubah wujudnya menjadi ular lagi. Cadramaya melata menaiki bukit. Setiap harimau yang melihatnya langsung menyingkir karena ia merupakan makhluk kepercayaan pemilk Bukit Buas. *** Ular kecil kiriman Candramaya melata memasuki rumah milik Andra yang dul
Angin malam yang dingin berembus turun ke rumah warga masing-masing, termasuk pula ke kediaman Andra dan Kanaya. Tanpa mereka berdua sadari, sisa kulit Nay yang berganti terbang melalui celah jendela. Kulit yang mengering itu terus menjauh dari desa Bukit Buas dan terbawa angin ke satu tempat. Kemudian jatuh di air terjun dan terbawa angin lagi hingga terdiam di atas hamparan batu hitam. Bukan batu, melainkan dia adalah seekor ular besar berwarna hitam. Bukan ular biasa juga, tetapi mampu mengubah wujudnya menjadi manusia biasa. “Kulit ular betina.” Ular itu berubah menjadi seorang lelaki dengan pakaian serba hitam. Usianya jauh lebih tua dari Candramaya. “Cantik, wangi, kulit yang halus, dan ganas.” Siluman itu menelan sisa kulit Nay yang membuat pupil matanya terus membesar. Ia merasa panggilan itu merupakan ajakan memasuki musim kawin bagi makhluk berjenis melata, tak lama lagi. “Tunggulah, aku datang memenuhi panggilanmu. Siapa pun kau, Cantik, aku pasti akan mendapatkanmu.”
Pada malam yang sangat dingin, Candramaya—perempuan ular penghuni telaga naik ke atas bukit. Meski tanpa perintah sama sekali dari tuannya. Damar—manusia harimau putih dengan mata berwarna biru yang masih ia cintai bahkan sejak masih menjadi manusia biasa. Keduanya dulu adalah manusia biasa yang mudah terluka bahkan nyaris mati. Lalu takdir membuat mereka terpisah dan menjadi berbeda. Sayangnya Candramaya tak mampu melupakan Damar. Damar bagaimana? Dulu dia memiliki istri dan anak yang nasibnya … tak baik. Terdengar suara gesekan sisik ular dengan tanah dan dedaunan. Damar sebagai penguasa tunggal Bukit Buas lantas membuka matanya. Ia tak tidur, ia sedang memikirkan sesuatu. Hal yang tak bisa ia abaikan begitu saja. “Ada apa kau datang kemari? Aku tidak memanggilmu,” tanya Damar ketika ular tujuh warna itu semakin dekat ke arahnya. Ia tahu Candramaya begitu setia. Tapi bagi Damar wanita cantik itu hanya sebatas penunggu telaga atau mungkin ada perasaan yang enggan Damar akui. “T
“Sepertinya dia mencari sesuatu. Aku mencium wangi tubuh …” Candramaya mengendus hidungnya berkali-kali. “Kekasih harimau kuning itu. Kulitnya terbang sampai ke sini. Yang aku tahu Sora bukanlah ular yang baik hati,” ujar harimau putih yang memperhatikan Sora terus melata dan memangsa hewan di depan matanya. “Aku juga bukan ular yang baik. Aku pernah menelan orang yang aku belit sampai mati.” Candra memperhatikan arah kepergian Sora. “Sama, siluman mana ada yang baik. Mereka hanya terlihat baik di depan orang yang disayang. Sepertinya dia menuju Bukit Buas. Ayo, kita harus kembali.” Damar melompat dari atas pohon dan berjalan kaki menuju singgasananya. Sambil berjalan ia terus berpikir apakah harus mencegah Sora mengganggu kehidupan Andra dan Kanaya. “Tapi mereka berdua sudah sangat dewasa, dan bukan urusanku juga. Biarkah saja mereka menghadapinya sendiri. Kalau Sora sudah kelewat batas di Bukit Buas, baru aku yang turun tangan.” Lelaki berusia ribuan tahun itu berjalan tanpa sad
Kanaya dan Andra tertidur di tempat masing-masing. Tidak seranjang meski satu kamar bersama. Sebagai harimau, anak lelaki Bagus itu lebih suka merebahkan diri di lantai yang telah dikalipis karpet bulu sintetis. Sedangkan Nay atau yang sering dipanggil Maya oleh Candra, lebih suka di atas kasur. Sebab bagi Nay kapuk memberikannya cukup kehangatan, manalah sekarang tubunya jadi lebih sering dingin dari biasanya. Keduanya terlelap, sangat nyenyak setelah sibuk menjalani hari. Sampai-sampai sejoli itu tak lagi sempat bercengkrama bersama. Bahkan keduanya tak sadar ketika seekor ular tujuh warna dengan ukuran lebih besar dari biasanya masuk dari celah jendela dan terus turun ke kasur di mana Nay sedang tidur. Nay tak sadar sama sekali ketika binatang melata itu terus saja membeli tubuhnya dari betis sampai ke perut. Ia tak merasa terancam karena sejenis. Pun dengan Andra yang ilmunya jauh di bawah Candra, tak tahu kalau ada tamu tak diundang. Ular tujuh warna itu kini wajahnya telah b
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi