Sebenarnya aku ingin tertawa sekarang, hanya saja aku tak akan setega itu meskipun mereka sudah jahat kepadaku dan keluargaku. Rencananya setelah dari rumah Tante Gina, aku ingin ke rumah Ayah. Namun di sini saja aku justru bertemu dengan Budhe Risma."Eh, Nak Zaki. Kok tiba-tiba muncul, dimana mobilnya?" tanya Tante Gina yang aku tahu hanya ingin memastikan jika kami tidak mendengar pembicaraannya dengan Budhe Risma."Ada di depan, Tante. Maaf jika kedatangan saya dan istri menganggu," tutur suamiku lembut."Ah, tidak. Kedatanganmu sama sekali tidak menganggu, apalagi jika datang sendiri," ujar tanteku itu membuatku muak."Mana mungkin saya datang sendiri, Tante. Ini kan keluarga istri saya. Oh iya, kebetulan ada Budhe Risma juga. Sekalian saja kalau begitu," kata Zaki padahal kami belum dipersilahkan duduk.Sepertinya suamiku itu tahu jika aku sudah tidak nyaman berada di sini. Bagaimana tidak, aku ada tapi tak dianggap ada oleh mereka.Tak apa, aku ke rumah ini pun hanya untuk meny
Aku masih tak bisa berfikir, apa yang sebenarnya diinginkan oleh Budhe Risma. Bukankah sebelumnya ia menghina kami? Bahkan terang-terangan Ayah sudah memutuskan untuk tidak ingin berurusan dengan mereka lagi. Lalu kenapa dia masih datang ke rumah? Padahal biasanya Budhe Risma sama sekali tidak mau menginjakkan kaki ke rumah kami."Astaghfirullah, perbuatan Budhe Risma sudah keterlaluan, Nana," ujar Zaki membuyarkan lamunanku."Bu, tak biasanya orang itu mau datang ke rumah kita. Kenapa tiba-tiba dia datang kemari?""Kita masuk dulu, Sayang. Tidak enak jika sampai ada yang mendengar pembicaraan kita. Ayo Nak Zaki kita masuk dulu, kita temui Ayah juga," kata Ibu tanpa menjawab pertanyaanku.Tanpa berkata-kata lagi kami lantas masuk ke dalam rumah. Memang rasanya tak pantas jika harus berbincang di depan rumah seperti itu.Ibu sepertinya memanggilkan Ayah, karena ia masuk ke dalam kamar. Sedikit banyaknya hatiku sedikit tersentuh, karena kini aku tak tinggal lagi di rumah ini. Sejak keci
Aku dan Zaki saling berpandangan ketika Pakde Irwan bertanya perihal uang kepadaku. Rupanya ia belum tahu jika istrinya baru saja merampas uang ayahku."Jangan dengarkan dia, Pa," ucap Budhe Risma terlihat gugup."Kenapa, Budhe? Aku kemari hanya ingin mengambil hak ayahku yang Budhe rampas."Suaminya itu terlihat lebih terkejut. Bagus saja, jika memang Pakde Irwan tidak tahu. Ia pasti akan marah pada Budhe Risma karena Pakdhe Irwan tak memiliki sifat seperti istrinya."Nana, jelaskan padaku.""Kemarin, Budhe datang ke rumah. Kata Ayah, Budhe meminta jatah warisan lagi. Padahal bukankah dulu warisan sudah di bagi rata? Dan bahkan Ayah hanya mendapatkan rumah itu saja? Lalu kenapa Budhe masih bersikeras memintanya? Dan lagi, Budhe juga merampas uang pemberian mertuaku, Pakde. Tanyakan saja padanya," ujarku dengan berapi-api.Pakde Irwan terlihat sedikit marah, ia menatap istrinya tajam. "Benarkah, Bu?"Kakak kandung ayahku itu terlihat pias, sepertinya perbuatannya itu juga tak diketahu
"Tidak, aku tidak setuju. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" racau Budhe Risma."Pakde, bagaimana jika rumah ini tidak usah di lelang? Kalau di lelang, kalian mau tinggal dimana?" ucap Zaki tanpa memperdulikan teriakan-teriakan Budhe Risma.Aku menatap Zaki, rupanya dia masih peduli dengan saudaraku itu. Wajar saja, kalau orang normal pasti akan iba jika melihat saudaranya kesusahan. Namun entah apa yang ada di pikiran saudara-saudara Ayah, mereka justru senang jika keluargaku kesusahan."Tidak, Nak Zaki. Biarkan rumah ini di lelang. Aku yakin biaya Huda tidak sedikit. Setelah ini biarkan kami mencari kontrakan kecil, yang penting bisa untuk berteduh.""Jika memang itu keputusan Pakde, biarkan Zaki segera mengurus semuanya agar biaya rumah sakit Huda segera terbayarkan," sambungku, karena aku pun juga tidak tega melihat Huda berada di rumah sakit tanpa biaya. Terlebih menurut kabar yang kudengar, dia berada di ruang ICU. Aku yakin biayanya akan sangat mahal."Diam kamu! Ngga
"Assalamualaikum," ucap Zaki membuat mereka lantas menghentikan pembicaraannya.Aku berdiri di samping Zaki, sedang seorang polisi yang baru saja dihubunginya masih di perjalanan. Semoga saja, nanti Pakde Irwan juga segera sampai di rumah.Mereka tak ada yang menjawab salam yang diucapkan Zaki. Apalagi Tante Gina, dia melihatku dengan tajam."Maaf, Budhe, Tante. Apa Pakde Irwan ada? Kami ingin mengantarkan uang yang beliau sebutkan kemarin sebagai tanda pembayaran tanah," kata Zaki lagi meskipun mereka tak menanggapi kami."Mas Irwan tidak ada, ke rumah sakit," jawab Budhe Risma ketus."Oh, kalau begitu kita tunggu Pakde Irwan saja, A. Lagipula hari ini kita tidak ada jadwal lain, kan?" ujarku kepada suamiku.Zaki mengangguk, lalu duduk di hadapan saudara-saudara ayahku itu. Sedangkan aku, memang ditugaskan oleh Zaki untuk membawa sebuah tas kecil berisi uang lima ratus juta yang diminta oleh Pakde Irwan."Apa yang kamu bawa? Uang?" kata Budhe Risma lagi ketika kami baru saja duduk. M
"Sudahlah, Bu. Jangan mempersulit keadaan, cepat berikan sertifikatnya. Anak kita lebih penting dari apapun, kan?" ucap Pakde Irwan kepada istrinya.Budhe Risma tampak geram, ia berulang kali menatap adiknya. Mungkin ia berharap jika adiknya itu bisa membantunya. Namun apa daya, Pakde Irwan semakin mendesaknya agar segera menyerahkan sertifikat itu."Bu, ingin lihat Bapak marah? Uang bisa dicari, tapi nyawa anak kita tidak akan bisa dicari. Jika Ibu tetap bersikeras ingin mempertahankan aset-aset itu, biarkan Bapak pergi dan semua prosedur rumah sakit Huda juga akan Bapak cabut," kata Pakde Irwan lagi menggertak istrinya.Kakak ayahku itu pun terlihat terkejut dengan perkataan suaminya. Aku tahu jika sejak awal ia hanya berbohong saja dan ingin mengelabui kami. Namun untung saja Zaki sangat cerdik sehingga kami tak mudah tertipu seperti ini."Baik, akan Ibu ambilkan."Senyum merekah di bibir kami semua, terkecuali Tante Gina. Ia melirikku tajam, sepertinya sebuah dendam memuncak di ha
Wajah pias Sofia masih terlihat jelas ketika Zaki dan suaminya datang. Ia tampak sangat terkejut ketika Zaki menyebutku sebagai istrinya. Ya, meskipun semua itu memang benar adanya. Aku sekarang adalah istri dari Zaki, anak pemilik ladang terbesar di daerah ini."Aku sudah kenal, A. Bahkan dari kecil," ujarku membuat Zaki juga terkejut."Benar kah?""Lho, bukannya ini saudaramu, Sayang. Anak Pakde Tohir. Siapa ya namanya, aku lupa," kata suami Sofia dengan menatapku lekat seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.Sofia terlihat malas, ia mendekati suaminya. "Nana namanya. Itu lho Sayang, yang kemarin ke pernikahan Tari dan sekeluarga pakai seragam lusuh bekas waktu pernikahan kita," tandas Sofia ketus. Aku yakin, dia sengaja mengatakan hal itu untuk menjatuhkan harga diriku.Suaminya hanya terdiam, dia terlihat tak bersifat sama dengan istrinya. Lagipula mana mungkin ia akan ikut mengataiku, pasti dia tak enak karena di depan Zaki."Kamu ingat kan, Yang? Bahkan kemarin dia kan marah-mar
'Bagaimana mungkin aku akan minta maaf padanya? Sedangkan dia saja selalu ada di bawahku.'Sebuah unggahan status Sofia kudapati ketika aku sedang menunggu Zaki membeli minuman di sebuah kedai. Aku tahu, siapa yang dimaksud oleh Sofia, pasti ditujukan kepadaku.Aku hanya tersenyum tipis ketika membaca pesannya. Tak masalah bagiku, karena tanpa dia dan keluarganya kini aku sudah mulai bangkit dan bisa berdiri tegak."Kenapa senyum-senyum?" ucap Zaki mengagetkanku."Oh, tidak. Aku baru baca unggahan status Sofia di media sosial, A.""Coba lihat," kata Zaki dengan meraih ponselku dan membacanya.Dia tak memberikan respon apapun selain tersenyum. "Biarkan saja, tidak usah di tanggapi. Kesombongan akan membawanya jatuh dengan sendirinya."Benar kata Zaki,. Kesombongan yang sekalu dielu-elukan olehnya beserta keluarganya aku yakin akan membawanya pada jurang kehancuran. Bagaimana tidak, mereka selalu menyombongkan harta miliknya. Padahal semua orang harusnya tahu jika hal itu tidaklah abadi
Aku mundur begitu Alex berkata demikian. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kemarin dia memintaku untuk kembali dan rujuk dengannya. Aku kira, itu artinya dia juga akan mau menerima bayi ini dengan senang hati."Alika. Kamu bohong, kan?" Lagi, pertanyaan itu diajukan oleh Alex.Namun kali ini aku sudah tidak kuasa menjawabnya. Kulangkahkan kakiku mundur dari hadapannya dan berjalan ke teras.Satu persatu ingatanku soal Gibran terulang. Ia memakiku karena aku bisa secepat ini percaya lagi pada Alex. Bukan perkara mudah, aku melakukan semua ini karena ada janin di dalam rahimku. Aku pikir, dengan adanya bayi ini maka Alex akan semakin baik. Dan juga, aku tidak mungkin egois dengan tetap mengajukan perceraian karena di dalam rahimku ada darah dagingnya.Lantas sekarang, saat semua sudah berubah seperti ini aku bisa apa?"Alika. Jawab! Kenapa kamu justru pergi?"Aku menghela nafas panjang, lalu menatapnya. "Aku? Bohong? Lalu kamu pikir ini anak siapa?"Kali ini dia mengalihkan pand
"Dia itu jahat, Alika. Jahat." Entah sudah kata keberapa yang diucapkan Gibran kali ini.Hari ini tiba-tiba saja dia mengajakku bertemu dan tanpa kuduga dia justru berkata demikian. Ini masih soal orang yang sama, Alex.Kali ini bukan aku yang mengatakan jika Alex jahat, tapi justru Gibran. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dia katakan, tapi ketika dia menyodorkan sebuah foto dihadapanku anggapanku sedikit berubah."Tapi, dia sangat baik di depanku, Gibran. Aku yakin dia sudah berubah. Siapa tahu ini hanya temannya, atau kebetulan bertemu saja dan kamu beranggapan lain," ujarku masih berusaha membela Alex.Gibran mengacak rambutnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Terserah jika kamu tidak percaya. Yang terpenting aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, bahwa Alex itu masih sama jahatnya." Dia seperti sudah menyerah, tapi aku memang sudah percaya lagi dengan Alex. Aku yakin dia sudah berubah."Tidak. Buktinya dia sekarang tidak pernah main tangan kepadaku. Bahkan
Rasa penasaranku masih tinggi saat Alex tak kunjung menyahut panggilanku. Entah karena dia tak mendengar atau sengaja tak menjawab."Alex ...." ucapku lagi dengan setengah berteriak agar dia mendengar panggilanku.Aku masih menunggu di luar kamar, karena jujur saja aku takut jika dia marah ketika aku bertanya banyak soal yang dia lakukan di dalam. Terlebih aku sangat takut jika dia kembali memukuliku ketika aku berusaha masuk tanpa seijinnya.Namun sepertinya dugaanku salah, beberapa saat setelah aku meneriakinya, Alex menyembulkan kepalanya di pintu dengan senyuman lebar. Hal itu benar-benar di luar dugaanku."Ya, ada apa? Kamu tadi memanggilku?" ucapnya dengan lantas membuk pintu kamar lebar-lebar."Em, iy-iya. Kamu sedang apa?" tanyaku dengan hati-hati."Oh, aku sedang memasang foto pernikahan kita kembali. Maaf, seingatku dulu aku melepasnya dari dinding."Ya, saat itulah yang membuatku sekarang sangat trauma. Saat itu aku memaksa masuk dan bertanya perihal ia yang melepas beberap
Kedua mata kami bertemu, rasanya di dalam relung hati sana masih ada getaran untuknya. Meski yang bagaimanapun dia tetap ayah dari janin yang kukandung dan kami pernah saling mencintai dengan sangat dalam."Aku sudah pernah mencintaimu dengan sangat, begitu juga sudah pernah kecewa dengan sikapmu. Rasanya aku hampir tak bisa mengenali kata-katamu lagi. Apakah itu serius, atau tidak," jawabku dengan mengatur nafasku, karena sejujurnya saja aku takut jika dia akan melayangkan pukulan atau tamparan kepadaku.Bukan karena apa, aku hanya takut jika bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa. Meskipun dia belum tahu, tapi aku wajib melindunginya sampai dia lahir di dunia.Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menjambaki rambutnya. "aarrghh! Sudah cukup Alika. Aku memang pernah bersalah, dan kedatanganku sekarang ingin menebusnya. Tolong, percaya lah."Dia berjalan menjauh dariku dengan memakai baju yang ia ambil dengan kasar. Aku tak tahu harus percaya dengan kata-katanya atau
Kehamilanku sudah masuk usia ke empat, jika diperhatikan perutku sudah mulai menyembul. Namun semenjak hamil aku selalu menggunakan baju yang lebih longgar dari biasanya.Bukan karena apa, aku hanya takut orang-orang mengejekku karena hamil dan ditinggalkan oleh suamiku. Namun, tak kusangka jika Alex akan kembali ke rumah ini malam ini.Entah untuk tujuan apa, padahal dia sudah pernah mengirimiku pesan bahwa ia akan meninggalkanku. Dan malam ini dia seakan lupa dengan semua yang sudah ia perbuat selama ini.Bahkan aku sudah sempat akan mengejar cinta lamaku setelah kepergiannya. Bagiku Alex sudah benar-benar meninggalkanku, dan tak menginginkanku lagi. Namun ternyata dia justru datang lagi ke dalam hidupku.Apapun itu aku akan tetap mengajukan perpisahan dengannya. Sikapnya selama menjadi suamiku benar-benar membuatku tak nyaman, terlebih sikap tempramentalnya. Aku bahkan sudah pernah menginap di IGD rumah sakit karena kekerasan yang ia perbuat.Malam sudah larut, aku memutuskan untuk
Kisah AlikaBagian 2Perkataan Dea masih mengganggu pikiranku meski sudah sampai di rumah. Dea mengatakan jika tempo hari ia bertemu Alex dan Alex pun berniat mengajakku keluar negeri. Apa itu benar? Namun, bahkan kita sudah tak saling berhubungan lagi. Jadi bagaimana bisa Alex berkata jika ia akan membawaku keluar negeri. Lagipula untuk apa?Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku. Sampai pukul setengah sebelas aku belum berhasil memejamkan mata meski segala cara telah kulakukan. Pertemuanku dengan Dea siang tadi benar-benar membuatku berfikir keras.Saat ini aku tinggal disebuah rumah yang memang sudah kutinggali dengan Alex dari awal menikah. Ini merupakan rumah yang kami beli hasil dari uang tabungan kami sewaktu masih bujang. Namun entah kenapa selang beberapa saat setelah menikah Alex justru berubah, suka memukuliku, dan sekarang dia pergi dari rumah ini tanpa kabar.Tokk tokk tokkSayup kudengar suara pintu depan di ketuk oleh seseorang. Seketika jantungku berdebar, karen
MENJADI BUDAK SUAMIKUBagian 1"Kamu serius mau nyusulin mereka ke Bali?"Kata-kata itu yang kuingat keluar dari mulut Erina ketika aku mengutarakan niatku untuk mengikuti Zaki dan istrinya ke Bali. Ya, Zaki mantan pacarku dulu yang sampai saat ini aku belum bisa move-on dibuatnya.Kisah cintaku dengan Zaki benar-benar membuatku mabuk kepayang. Namun sayang, semua harus berakhir karena kebodohanku sendiri.Aku bodoh dengan meninggalkan Zaki demi lelaki lain. Dan sekarang aku menyesal, benar-benar menyesal. Rasanya aku ingin sekali memutar waktu dan tak akan kulakukan kebodohan itu lagi.Namun sayang, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, dan aku hanya perlu menikmatinya saja. Saat seperti ini aku merasa tak pantas menyalahkan Tuhan, karena rupanya aku sendiri yang bodoh.Awalnya aku berfikir bahwa menikah dengan Alex akan membuat hidupku jauh lebih bahagia ketimbang bersama Zaki. Dia adalah pria penguasaha, hidupnya sama-sama mapan seperti Zaki. Namun ada satu nilai plus ya
Detak jantungku bertalu-talu ketika sampai di kediaman Tuan Muh, orang yang dulu sama sekali tak kusangka akan menjadi mertuaku. Mereka sangat baik kepadaku, bahkan jika kurasakan mereka sudah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.Meskipun beliau adalah orang kaya tapi sikap rendah hati dan penyayangnya jelas terlihat. Buktinya mereka tak segan mengangkatku menjadi menantunya meski aku datang dari keluarga yang tak sepadan dengan mereka.Namun, semakin jauh aku melangkah dan mengarungi bahtera rumah tangga dengan Zaki. Aku merasakan ada begitu banyak kepribadian Zaki yang tak kuketahui. Orangtuanya boleh baik kepadaku, tapi jika sikap Zaki saja berulang kali menyakitiku, maka kebahagiaan yang kudapatkan kemarin seakan sirna begitu saja.Kulihat Zaki tengah menunggu seseorang karena ia tak langsung masuk ke dalam rumah. Sudah kupastikan ia sedang menunggu Alika. Ada rasa panas di dalam hatiku sana, tapi aku tak bisa berbuat banyak karena rasa-rasanya semua sudah percuma.Sekuat
Hatiku berbunga setelah bertemu dengan Adit. Bukan karena Adit, tapi karena ia bersedia untuk bertemu dengan Zaki dan keluarganya untuk memberikan saksi bahwa apa yang dikatakan Alika adalah suatu kebohongan. Jika memang Alika masih mencintai Zaki, seharusnya ia tak menerima pernikahannya dengan Adit, karena jika sudah seperti ini semua juga pasti terluka.Kuparkirkan mobilku dengan manis, lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan bahagia. Semoga saja, orangtua Zaki pun bersedia bertemu dengan Adit sehingga masalah ini akan cepat selesai."Lho, kok kamu udah di rumah, A?" tanyaku ketika melihat Zaki sudah membaca koran di ruang tamu.Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu tersenyum. "Sudah, urusanku tidak banyak jadi cepat pulang. Sini, duduk," jawabnya dengan menepukkan sebelah tangannya ke sofa kosong di sampingnya.Meskipun hatiku sedikit retak akibat masalah yang datang pada kami, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Terlebih jika aku belum mengetahui kebe