Selepas mengantarkan ibu mertuaku dari rumah sakit kami sengaja langsung pulang karena rasanha seharian ini sudah sangat melelahkan. Ada beberapa kejadian yang membuat emosi kita naik turun. Apalagi pertemuanku dengan Budhe Risma di rumah sakit tadi.Sungguh, dia benar-benar seperti sudah putus urat malunya. Bagaimana bisa, dia mengatakan hal itu kepada Zaki. Padahal ia sama sekali tak menganggapku sebagai saudara.Mungkin baginya, siapa yang kaya itu lah saudaranya. Namun sudahlah, aku tak perduli lagi. Yang terpenting rumah tanggaku dengan Zaki berjalan dengan lancar.Setidaknya aku juga senang karena kini satu persatu dari mereka yang kemarin menghina keluargaku mulai tumbang. Memang doa seorang yang sedang teraniaya itu sangat ampuh. Seketika keadaan berubah total."Mau makan malam apa, Sayang?" ucap Zaki mengagetkanku yang masih duduk di depan meja rias.Aku hanya meliriknya dari pantulan kaca di depanku. Sejak sore tadi, Zaki sibuk berolahraga di belakang, dan ia baru menemuiku.
Sesampainya di rumah Ayah, kulihat masih ada dua orang asing yang tengah duduk di ruang tamu. Mungkin kedua orang itulah yang dimaksud oleh Arum lewat sambungan telepon tadi. Kedatanganku ke rumah orangtuaku sengaja tak bersama Zaki karena dia sedang ada urusan pekerjaan di ladang.Jujur saja saat ini aku gemetar karena seumur hidup belum pernah berurusan dengan seorang penagih hutang. Urusan terberatku selama ini hanyalah dengan saudara-saudara ayahku saja, karena aku memang menjaga sikap baikku kepada orang-orang agar tak memiliki masalah dengan mereka.Begitu pula kedua orangtuaku, yang kutahu mereka pun juga demikian. Tak ingin mencari masalah dengan orang lain, terlebih mencari hutang seperti ini.Arum terlihat lega begitu aku melangkah masuk ke dalam rumah. Ia saling bertatapan dengan Ibu.Kuucapkan salam, lalu duduk di samping Ibu yang terlihat sangat gugup. Wajar saja, kedua orang yang menunggu mereka itu terlihat sangat garang dan sangar."Em, maaf, Pak. Boleh saya tahu apa p
Ayah masih terdiam meskipun aku berkata banyak hal mengenai hutang itu. Sedikitpun tak terpikirkan, bagaimana bisa Ayah bersedia memberikan namanya untuk pengambilan hutang sebesar itu. Apalagi saudaranya tidak bisa diandalkan, mereka sama sekali tak pernah menghargai kami.Dan sekarang benar adanya, bukan? Tante Gina hanya memanfaatkan Ayah saja. Sekalipun ia tak melakukan angsuran atas hutang yang diambilkan oleh Ayah. Apa itu bisa disebut sebagai saudara?"Yah, tolong jawab. Kenapa? Bahkan mereka selalu saja merendahkan kita, kenapa Ayah masih saja mau berbuat baik kepada mereka hingga seperti ini?" tuturku lagi ketika Ayah masih terdiam.Disudut kursi, kulihat Ibu menitikkan air mata. Mungkin ia juga sangat terpukul dengan kejadian ini."Dan lagi, yang Nana tahu, jika pengajuan hutang seharusnya melibatkan istri juga. Kenapa Ibu sampai tidak tahu perihal ini?"Dadaku benar-benar sangat panas, kedua bahuku pun niak turun seiring dengan emosi yang semakin bergejolak dalam dada. Sebe
Kami memutuskan pulang setelah menyetujui sebuah rencana yang akan dilakukan besok. Bisa atau tidak bisa, Tante Gina harus membayarkan hutang yang ia ambil, tidak malah membebankan kepada keluarga kami yang hanya ingin membantu.Sepanjang perjalanan aku dan Zaki saling terdiam. Selain memikirkan keadaan keluargaku, aku juga merasa sangat malu padanya. Bagaimana tidak, memiliki seorang istri seharusnya bisa lebih tenang dan damai. Tidak seperti ini yang justru semakin menambah beban pikirannya saja.Ada sedikit penyesalan dalam diriku karena aku mau menerima pinangannya. Diluar sana, pasti ada banyak orang yang menggunjingku. Selain mereka membicarakan mengenai aku yang hanya ingin mengeruk hartanya, mereka pasti juga sangat iri denganku karena aku yang tak memiliki kedudukan apapun ini bisa bersanding dengan Zaki, si tampan dan kaya ini"Sayang, kenapa diam?" ucap Zaki ketika aku masih saja terdiam bahkan saat hampir sampai di rumah kami.Aku hanya meliriknya sekilas, lalu tersenyum.
Tak kusangka, perkataanku membuat Tante Gina dan Om Burhan gelagapan. Terlebih setelah aku mematikan video dalam ponselku. Saat mereka berdebat dengan Ayah, aku sengaja merekam mereka secara sembunyi-sembunyi. Bukankah ini ide yang sangat cemerlang? Dengan begini mereka akan dengan mudah mengaku."Bagaimana, Tante, Om? Ingin kejadian ini kuviralkan, atau kalian mengaku dan membayarkan uanh yang telah Tante Gina pinjam atas nama ayahku itu?" Lagi, aku berkata demikian ketika saudara Ayah beserta suaminya itu terdiam dengan raut wajah terkejut.Zaki juga menatapku dalam. Sepertinya dia sangat tak menduga ide yang keluar dari otak istrinya ini. Mereka boleh saja merendahkan dan meremehkanku, tapi mereka harus tahu jika aku tak sebodoh itu. "Lancang kamu Nana! Hapus atau ....""Atau apa, Om? Anda pikir saya takut? Sekarang saya sudah memiliki suami yang siap membelaku, mana mungkin aku takut. Silahkan tampar, Om. Atau perlu pukul sekalian, biar jadi bukti pada orang-orang jika perkataank
Apapun yang terjadi, aku selalu menanamkan dalam hati bahwa perbuatan jahat sekecil apapun pasti akan mendapatkan balasan dari Allah. Sedari dulu aku selalu memiliki prinsip, bahwa tak akan menyakiti orang lain jika orang itu tak membuat masalah terlebih dulu kepadaku.Jujur, aku pun sebenarnya enggan mencari masalah dengan saudara-saudara Ayah. Ketika kemarin Ayah telah memutuskan untuk tidak ingin lagi ikut campur mengenai mereka, aku pikir masalah akan selesai dan kehidupan kami akan jauh lebih baik lagi. Namun apa nyatanya? Mereka tetap saja mengganggu kami, bahkan ternyata mereka juga memiliki masalah lain sebelum ini.Sepertinya mereka sangat tidak ridho jika kami sekeluarga bahagia dan terbebas dari segala derita. Selalu saja ada masalah baru yang mereka timbulkan, atau bahkan mereka tetap menghujat karena kemiskinan yang pernah menimpa kami.Tak hanya Budhe Risma, ternyata Tante Gina jauh lebih parah dari apa yang kupikirkan. Dia dan suaminya memiliki sifat yang sangat buruk,
Selama pesta aku merasa sangat tidak tenang setelah Arum memperlihatkan unggahan Laras. Apa yang dia maksud? Seingin itu kah mereka untuk menjatuhkan kebahagiaanku? Padahal aku ingin sekali menjalani hidup yang normal tanpa gangguan dari mereka.Sebenarnya apa yang mereka inginkan dariku ataupun keluargaku? Seandainya kami merugikan mereka, apa yang kami rugikan? Bahkan status saja lebih tinggi mereka."A, aku gugup. Semoga saja keluargaku tidak menghancurkan pesta ini," ucapku pelan pada Zaki ketika kami baru saja menyalami beberapa tamu undangan.Zaki melirikku, lalu tersenyum. "Kamu tenang saja, Sayang. Aku sudah mengaturnya," ujarnya dengan percaya diri, tapi aku sama sekali tidak bisa tenang hanya dengan perkataan Zaki itu.Yang kutahu, keluarga ayahku tidak akan main-main jika sudah membenci seseorang. Dan itu sudah pernah terjadi.Dulu, ada seorang perempuan setengah baya yang menjadi tetangga Tante Gina. Menurutku tetangga itu tak pernah membuat masalah dengan keluarga Tante G
"Aku tak tahu, yang terpenting adalah mereka tidak menggangu dan merusak pesta kita, kan?" ucap Zaki dengan mengerlingkan sebelah matanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, lalu berdiri dari tempatku duduk. "Bagaimana kalau kita cepat kembali ke rumah? Aku sudah penat sekali, A," kataku setengah merengek.Memang benar, pesta ini membuatku benar-benar lelah. Menjadi pengantin orang kaya itu ternyata sangat menguras energi, dan sekarang aku harus lebih terbiasa akan hal itu."Baik, ayo kita pulang pengantinku. Mari siap-siap untuk honeymoon."Astaga, bahkan aku melupakan hal itu. Seketika dadaku berdegup kencang saat Zaki mengatakan mengenai honeymoon. Bukan aku tak siap, hanya saja aku masih sedikit gugup untuk bersamanya. Seperti janjiku pada diriku sendiri, bahwa aku ingin belajar menerima dan membuka hati untuk Zaki ketika kami honeymoon. Bagaimanapun juga kami ini sudah menjadi sepasang suami istri, dan itu artinya aku harus memberikan haknya."Eh, kenapa malah diam? Ayo?" tu
Aku mundur begitu Alex berkata demikian. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kemarin dia memintaku untuk kembali dan rujuk dengannya. Aku kira, itu artinya dia juga akan mau menerima bayi ini dengan senang hati."Alika. Kamu bohong, kan?" Lagi, pertanyaan itu diajukan oleh Alex.Namun kali ini aku sudah tidak kuasa menjawabnya. Kulangkahkan kakiku mundur dari hadapannya dan berjalan ke teras.Satu persatu ingatanku soal Gibran terulang. Ia memakiku karena aku bisa secepat ini percaya lagi pada Alex. Bukan perkara mudah, aku melakukan semua ini karena ada janin di dalam rahimku. Aku pikir, dengan adanya bayi ini maka Alex akan semakin baik. Dan juga, aku tidak mungkin egois dengan tetap mengajukan perceraian karena di dalam rahimku ada darah dagingnya.Lantas sekarang, saat semua sudah berubah seperti ini aku bisa apa?"Alika. Jawab! Kenapa kamu justru pergi?"Aku menghela nafas panjang, lalu menatapnya. "Aku? Bohong? Lalu kamu pikir ini anak siapa?"Kali ini dia mengalihkan pand
"Dia itu jahat, Alika. Jahat." Entah sudah kata keberapa yang diucapkan Gibran kali ini.Hari ini tiba-tiba saja dia mengajakku bertemu dan tanpa kuduga dia justru berkata demikian. Ini masih soal orang yang sama, Alex.Kali ini bukan aku yang mengatakan jika Alex jahat, tapi justru Gibran. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dia katakan, tapi ketika dia menyodorkan sebuah foto dihadapanku anggapanku sedikit berubah."Tapi, dia sangat baik di depanku, Gibran. Aku yakin dia sudah berubah. Siapa tahu ini hanya temannya, atau kebetulan bertemu saja dan kamu beranggapan lain," ujarku masih berusaha membela Alex.Gibran mengacak rambutnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Terserah jika kamu tidak percaya. Yang terpenting aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, bahwa Alex itu masih sama jahatnya." Dia seperti sudah menyerah, tapi aku memang sudah percaya lagi dengan Alex. Aku yakin dia sudah berubah."Tidak. Buktinya dia sekarang tidak pernah main tangan kepadaku. Bahkan
Rasa penasaranku masih tinggi saat Alex tak kunjung menyahut panggilanku. Entah karena dia tak mendengar atau sengaja tak menjawab."Alex ...." ucapku lagi dengan setengah berteriak agar dia mendengar panggilanku.Aku masih menunggu di luar kamar, karena jujur saja aku takut jika dia marah ketika aku bertanya banyak soal yang dia lakukan di dalam. Terlebih aku sangat takut jika dia kembali memukuliku ketika aku berusaha masuk tanpa seijinnya.Namun sepertinya dugaanku salah, beberapa saat setelah aku meneriakinya, Alex menyembulkan kepalanya di pintu dengan senyuman lebar. Hal itu benar-benar di luar dugaanku."Ya, ada apa? Kamu tadi memanggilku?" ucapnya dengan lantas membuk pintu kamar lebar-lebar."Em, iy-iya. Kamu sedang apa?" tanyaku dengan hati-hati."Oh, aku sedang memasang foto pernikahan kita kembali. Maaf, seingatku dulu aku melepasnya dari dinding."Ya, saat itulah yang membuatku sekarang sangat trauma. Saat itu aku memaksa masuk dan bertanya perihal ia yang melepas beberap
Kedua mata kami bertemu, rasanya di dalam relung hati sana masih ada getaran untuknya. Meski yang bagaimanapun dia tetap ayah dari janin yang kukandung dan kami pernah saling mencintai dengan sangat dalam."Aku sudah pernah mencintaimu dengan sangat, begitu juga sudah pernah kecewa dengan sikapmu. Rasanya aku hampir tak bisa mengenali kata-katamu lagi. Apakah itu serius, atau tidak," jawabku dengan mengatur nafasku, karena sejujurnya saja aku takut jika dia akan melayangkan pukulan atau tamparan kepadaku.Bukan karena apa, aku hanya takut jika bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa. Meskipun dia belum tahu, tapi aku wajib melindunginya sampai dia lahir di dunia.Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menjambaki rambutnya. "aarrghh! Sudah cukup Alika. Aku memang pernah bersalah, dan kedatanganku sekarang ingin menebusnya. Tolong, percaya lah."Dia berjalan menjauh dariku dengan memakai baju yang ia ambil dengan kasar. Aku tak tahu harus percaya dengan kata-katanya atau
Kehamilanku sudah masuk usia ke empat, jika diperhatikan perutku sudah mulai menyembul. Namun semenjak hamil aku selalu menggunakan baju yang lebih longgar dari biasanya.Bukan karena apa, aku hanya takut orang-orang mengejekku karena hamil dan ditinggalkan oleh suamiku. Namun, tak kusangka jika Alex akan kembali ke rumah ini malam ini.Entah untuk tujuan apa, padahal dia sudah pernah mengirimiku pesan bahwa ia akan meninggalkanku. Dan malam ini dia seakan lupa dengan semua yang sudah ia perbuat selama ini.Bahkan aku sudah sempat akan mengejar cinta lamaku setelah kepergiannya. Bagiku Alex sudah benar-benar meninggalkanku, dan tak menginginkanku lagi. Namun ternyata dia justru datang lagi ke dalam hidupku.Apapun itu aku akan tetap mengajukan perpisahan dengannya. Sikapnya selama menjadi suamiku benar-benar membuatku tak nyaman, terlebih sikap tempramentalnya. Aku bahkan sudah pernah menginap di IGD rumah sakit karena kekerasan yang ia perbuat.Malam sudah larut, aku memutuskan untuk
Kisah AlikaBagian 2Perkataan Dea masih mengganggu pikiranku meski sudah sampai di rumah. Dea mengatakan jika tempo hari ia bertemu Alex dan Alex pun berniat mengajakku keluar negeri. Apa itu benar? Namun, bahkan kita sudah tak saling berhubungan lagi. Jadi bagaimana bisa Alex berkata jika ia akan membawaku keluar negeri. Lagipula untuk apa?Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku. Sampai pukul setengah sebelas aku belum berhasil memejamkan mata meski segala cara telah kulakukan. Pertemuanku dengan Dea siang tadi benar-benar membuatku berfikir keras.Saat ini aku tinggal disebuah rumah yang memang sudah kutinggali dengan Alex dari awal menikah. Ini merupakan rumah yang kami beli hasil dari uang tabungan kami sewaktu masih bujang. Namun entah kenapa selang beberapa saat setelah menikah Alex justru berubah, suka memukuliku, dan sekarang dia pergi dari rumah ini tanpa kabar.Tokk tokk tokkSayup kudengar suara pintu depan di ketuk oleh seseorang. Seketika jantungku berdebar, karen
MENJADI BUDAK SUAMIKUBagian 1"Kamu serius mau nyusulin mereka ke Bali?"Kata-kata itu yang kuingat keluar dari mulut Erina ketika aku mengutarakan niatku untuk mengikuti Zaki dan istrinya ke Bali. Ya, Zaki mantan pacarku dulu yang sampai saat ini aku belum bisa move-on dibuatnya.Kisah cintaku dengan Zaki benar-benar membuatku mabuk kepayang. Namun sayang, semua harus berakhir karena kebodohanku sendiri.Aku bodoh dengan meninggalkan Zaki demi lelaki lain. Dan sekarang aku menyesal, benar-benar menyesal. Rasanya aku ingin sekali memutar waktu dan tak akan kulakukan kebodohan itu lagi.Namun sayang, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, dan aku hanya perlu menikmatinya saja. Saat seperti ini aku merasa tak pantas menyalahkan Tuhan, karena rupanya aku sendiri yang bodoh.Awalnya aku berfikir bahwa menikah dengan Alex akan membuat hidupku jauh lebih bahagia ketimbang bersama Zaki. Dia adalah pria penguasaha, hidupnya sama-sama mapan seperti Zaki. Namun ada satu nilai plus ya
Detak jantungku bertalu-talu ketika sampai di kediaman Tuan Muh, orang yang dulu sama sekali tak kusangka akan menjadi mertuaku. Mereka sangat baik kepadaku, bahkan jika kurasakan mereka sudah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.Meskipun beliau adalah orang kaya tapi sikap rendah hati dan penyayangnya jelas terlihat. Buktinya mereka tak segan mengangkatku menjadi menantunya meski aku datang dari keluarga yang tak sepadan dengan mereka.Namun, semakin jauh aku melangkah dan mengarungi bahtera rumah tangga dengan Zaki. Aku merasakan ada begitu banyak kepribadian Zaki yang tak kuketahui. Orangtuanya boleh baik kepadaku, tapi jika sikap Zaki saja berulang kali menyakitiku, maka kebahagiaan yang kudapatkan kemarin seakan sirna begitu saja.Kulihat Zaki tengah menunggu seseorang karena ia tak langsung masuk ke dalam rumah. Sudah kupastikan ia sedang menunggu Alika. Ada rasa panas di dalam hatiku sana, tapi aku tak bisa berbuat banyak karena rasa-rasanya semua sudah percuma.Sekuat
Hatiku berbunga setelah bertemu dengan Adit. Bukan karena Adit, tapi karena ia bersedia untuk bertemu dengan Zaki dan keluarganya untuk memberikan saksi bahwa apa yang dikatakan Alika adalah suatu kebohongan. Jika memang Alika masih mencintai Zaki, seharusnya ia tak menerima pernikahannya dengan Adit, karena jika sudah seperti ini semua juga pasti terluka.Kuparkirkan mobilku dengan manis, lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan bahagia. Semoga saja, orangtua Zaki pun bersedia bertemu dengan Adit sehingga masalah ini akan cepat selesai."Lho, kok kamu udah di rumah, A?" tanyaku ketika melihat Zaki sudah membaca koran di ruang tamu.Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu tersenyum. "Sudah, urusanku tidak banyak jadi cepat pulang. Sini, duduk," jawabnya dengan menepukkan sebelah tangannya ke sofa kosong di sampingnya.Meskipun hatiku sedikit retak akibat masalah yang datang pada kami, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Terlebih jika aku belum mengetahui kebe